|
JAWA
POS, 04 Juli 2013
KEBUTUHAN manusia yang elementer, yang instingtif, yang sangat
primitif, adalah makan dan minum. Kebutuhan manusia yang tertinggi, yang harus
dipelajari di atas segala-galanya, adalah filsafat. Kebutuhan lain berada di
antara makan dan filsafat.
Begitulah pandangan Prof Dr dr Djohansjah Marzoeki. Arek Suroboyo guru besar Universitas Airlangga lulusan Groningen, Belanda, yang juga dicatat sebagai ahli bedah plastik pertama yang dimiliki Indonesia.
Mengenali kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan di antara makan dan filsafat seperti yang dimaksud Prof Djo, bisa dilakukan lewat inventarisasi jenis-jenis kebutuhan itu secara pelan-pelan. Didaftar dulu, lalu tempatkan secara berurutan sesuai dengan tingkat kepentingannya. Kualitas hidup kita akan sangat ditentukan oleh urutan penempatan aneka kebutuhan itu tadi.
Sebagai panduan, sedikit di bawah kebutuhan tertinggi, yaitu kebutuhan filsafat, silakan menempatkan kebutuhan akan seni. Disusul kebutuhan estetika, baru setelah itu Anda bebas memprioritaskan kebutuhan lain berikutnya yang berjuta jumlahnya. Kalau Anda ingin baik hati seperti Ahmad Fathanah atau ingin perkasa seperti Hercules, tinggal setel saja sesuai keinginan.
Kita bisa bayangkan, betapa bahayanya jika seorang ahli bedah plastik seperti Prof Djo, misalnya, tidak menempatkan estetika dan seni sebagai kebutuhan yang diprioritaskan dalam hidupnya. Sementara pekerjaannya adalah memermak wajah orang.
Berikut ini sekadar gambaran betapa krusialnya urusan estetika untuk urusan sepele dalam hidup keseharian. Karena ukuran badan saya pendek, ketika membeli celana baru, seringkali saya harus ke tukang permak guna merombak ukuran celana biar fit. Problemnya, sangat tidak gampang menemukan tukang permak celana yang menjunjung tinggi estetika.
Para tukang jahit yang sering menyebut dirinya sebagai dokter jins itu cenderung tidak cermat ketika memilih warna benang. Kainnya berwarna krem, dipasang benang warna cokelat. Serampangan ketika memegang gunting dan asal hajar ketika menginjak pedal mesin jahit. Apalagi saat banyak order seperti pada hari-hari menjelang Lebaran. Hasilnya, motongnya tidak lurus, jahitannya kayak cacing teler pula. Oh, Prof Djo... Bagaimana kita tidak merana?
Lagi, soal tata kota, misalnya. Tidak mudah untuk menemukan wali kota seperti Tri Rismaharini, wali Kota Surabaya yang begitu baik pemahaman estetikanya. Tapi, menyangkut kebutuhan fungsional dan visi masa depan kota, kita perlu meragukan kekuatan lapangan semua wali kota. Soalnya, selalu ada tuntutan pemenuhan kebutuhan politik dan kepartaian di atas kebutuhan estetika, seni, apalagi filsafat.
Kalau urusan paling primitif menyangkut makan dan minum belum tercukupi, memang sebaiknya kita tidak terlalu banyak berfilsafat. Selain potensial membuat gila, juga bisa membuat hidup terbalik-balik. Rambut bisa gondrong, kurus, lapar, kerjanya melamun melulu. Betapa mantapnya!
Butet, Djaduk, Susilo, Hasmi, dan Goenawan Mohamad adalah orang-orang yang boleh disebut khusus. Dulu, saat kebutuhan makan dan minumnya belum tercukupi dengan baik, mereka sudah sanggup dan kuat mengurus kebutuhan filsafat dan seni. Hasmi bahkan sampai lupa kawin karena terlalu banyak menggambar komik.
Pertanyaannya, apakah saat ini kebutuhan primitif Anda sudah terpenuhi? Kalau sudah, tonton Gundala Gawat. Menteri BUMN Dahlan Iskan bahkan memaksa seluruh Dirut perusahaan BUMN untuk nonton pentas teater jenaka dari Jogja ini. ''Biar hati mereka baik dan tidak korupsi. Daripada saya yang ceramah, mulut capek. Saya suruh mereka nonton teater saja biar Butet dan kawan-kawan yang ceramah,'' kata Dahlan.
Untuk pentas Gundala Gawat yang berdurasi dua jam, Goenawan Mohamad dan awak Gandrik harus menyiapkan naskah, berlatih, kira-kira setengah tahun lamanya. Selama setengah tahun para pekerja seni itu pekerjaannya hanya berlatih. Padahal, tidak ada orang yang sudi menggaji pemain teater yang sedang latihan.
Nilai-nilai estetis, filsafat, budaya-budaya baik banyak disisipkan di panggung teater. Karena itu, mari budayakan untuk mengonsumsi pertunjukannya. Kalau enggak, kasihan diri kita. Kasihan Goenawan Mohamad, juga Butet dan kawan-kawan. ●
Begitulah pandangan Prof Dr dr Djohansjah Marzoeki. Arek Suroboyo guru besar Universitas Airlangga lulusan Groningen, Belanda, yang juga dicatat sebagai ahli bedah plastik pertama yang dimiliki Indonesia.
Mengenali kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan di antara makan dan filsafat seperti yang dimaksud Prof Djo, bisa dilakukan lewat inventarisasi jenis-jenis kebutuhan itu secara pelan-pelan. Didaftar dulu, lalu tempatkan secara berurutan sesuai dengan tingkat kepentingannya. Kualitas hidup kita akan sangat ditentukan oleh urutan penempatan aneka kebutuhan itu tadi.
Sebagai panduan, sedikit di bawah kebutuhan tertinggi, yaitu kebutuhan filsafat, silakan menempatkan kebutuhan akan seni. Disusul kebutuhan estetika, baru setelah itu Anda bebas memprioritaskan kebutuhan lain berikutnya yang berjuta jumlahnya. Kalau Anda ingin baik hati seperti Ahmad Fathanah atau ingin perkasa seperti Hercules, tinggal setel saja sesuai keinginan.
Kita bisa bayangkan, betapa bahayanya jika seorang ahli bedah plastik seperti Prof Djo, misalnya, tidak menempatkan estetika dan seni sebagai kebutuhan yang diprioritaskan dalam hidupnya. Sementara pekerjaannya adalah memermak wajah orang.
Berikut ini sekadar gambaran betapa krusialnya urusan estetika untuk urusan sepele dalam hidup keseharian. Karena ukuran badan saya pendek, ketika membeli celana baru, seringkali saya harus ke tukang permak guna merombak ukuran celana biar fit. Problemnya, sangat tidak gampang menemukan tukang permak celana yang menjunjung tinggi estetika.
Para tukang jahit yang sering menyebut dirinya sebagai dokter jins itu cenderung tidak cermat ketika memilih warna benang. Kainnya berwarna krem, dipasang benang warna cokelat. Serampangan ketika memegang gunting dan asal hajar ketika menginjak pedal mesin jahit. Apalagi saat banyak order seperti pada hari-hari menjelang Lebaran. Hasilnya, motongnya tidak lurus, jahitannya kayak cacing teler pula. Oh, Prof Djo... Bagaimana kita tidak merana?
Lagi, soal tata kota, misalnya. Tidak mudah untuk menemukan wali kota seperti Tri Rismaharini, wali Kota Surabaya yang begitu baik pemahaman estetikanya. Tapi, menyangkut kebutuhan fungsional dan visi masa depan kota, kita perlu meragukan kekuatan lapangan semua wali kota. Soalnya, selalu ada tuntutan pemenuhan kebutuhan politik dan kepartaian di atas kebutuhan estetika, seni, apalagi filsafat.
Kalau urusan paling primitif menyangkut makan dan minum belum tercukupi, memang sebaiknya kita tidak terlalu banyak berfilsafat. Selain potensial membuat gila, juga bisa membuat hidup terbalik-balik. Rambut bisa gondrong, kurus, lapar, kerjanya melamun melulu. Betapa mantapnya!
Butet, Djaduk, Susilo, Hasmi, dan Goenawan Mohamad adalah orang-orang yang boleh disebut khusus. Dulu, saat kebutuhan makan dan minumnya belum tercukupi dengan baik, mereka sudah sanggup dan kuat mengurus kebutuhan filsafat dan seni. Hasmi bahkan sampai lupa kawin karena terlalu banyak menggambar komik.
Pertanyaannya, apakah saat ini kebutuhan primitif Anda sudah terpenuhi? Kalau sudah, tonton Gundala Gawat. Menteri BUMN Dahlan Iskan bahkan memaksa seluruh Dirut perusahaan BUMN untuk nonton pentas teater jenaka dari Jogja ini. ''Biar hati mereka baik dan tidak korupsi. Daripada saya yang ceramah, mulut capek. Saya suruh mereka nonton teater saja biar Butet dan kawan-kawan yang ceramah,'' kata Dahlan.
Untuk pentas Gundala Gawat yang berdurasi dua jam, Goenawan Mohamad dan awak Gandrik harus menyiapkan naskah, berlatih, kira-kira setengah tahun lamanya. Selama setengah tahun para pekerja seni itu pekerjaannya hanya berlatih. Padahal, tidak ada orang yang sudi menggaji pemain teater yang sedang latihan.
Nilai-nilai estetis, filsafat, budaya-budaya baik banyak disisipkan di panggung teater. Karena itu, mari budayakan untuk mengonsumsi pertunjukannya. Kalau enggak, kasihan diri kita. Kasihan Goenawan Mohamad, juga Butet dan kawan-kawan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar