Kamis, 04 Juli 2013

Membela Perusahaan Yes, Membela Rakyat No!

Membela Perusahaan Yes, Membela Rakyat No!
Firdaus Cahyadi ;  Knowledge Manager for Sustainable Development,
Oneworld-Indonesia
KORAN TEMPO, 04 Juli 2013


"Perusahaan harus kita bela," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, seperti ditulis Koran Tempo, 1 Juli 2013. Pembelaan sang menteri itu terkait dengan kebakaran lahan di Riau yang diduga dilakukan oleh perusahaan di sektor kehutanan dan perkebunan. Salah satu dasar pembelaan itu adalah karena perusahaan yang diduga terlibat dalam pembakaran lahan di Riau merupakan pembayar pajak. 
Tampaknya sikap pembelaan Menteri Kehutanan terhadap perusahaan yang diduga terkait dengan pembakaran lahan itu dilakukan secara konsisten. Sebelumnya, sang menteri di berbagai media menyebutkan bahwa kebakaran lahan di Riau adalah bencana alam, bukan sengaja dilakukan. Dapat dikatakan, pembelaan Menteri Kehutanan tersebut adalah kelanjutan dari pernyataan sebelumnya.
Jika pernyataan yang menyalahkan alam itu kemudian keliru, hampir bisa dipastikan masyarakat yang bakal menjadi pihak yang dikambinghitamkan. Masyarakat dianggap memiliki budaya yang buruk, sehingga mereka membakar lahan. Jarang, bahkan mungkin tidak pernah, diinvestigasi lagi apakah masyarakat yang membakar lahan itu karena inisiatif sendiri atau sekadar menjalankan pesanan atau suruhan perusahaan tertentu.
Entah bagaimana perasaan jutaan warga Riau yang selama ini menjadi korban karena menghirup asap dari kebakaran lahan, ketika membaca pernyataan Menteri Kehutanan di Koran Tempo itu. Padahal, jika dasar pembelaannya adalah karena perusahaan membayar pajak, jutaan warga Riau juga selalu patuh membayar pajak kepada negara. Bahkan di dalam konstitusi secara jelas disebutkan bahwa salah satu tugas negara adalah melindungi keselamatan rakyatnya, bukan membela perusahaan.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menuding delapan perusahaan sawit asal Malaysia terlibat dalam pembakaran lahan di Riau. Bahkan Ketua Unit Kerja Presiden dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) pernah mengungkapkan bahwa dua perusahaan besar juga turut bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran lahan.
Pernyataan Menteri Lingkungan hidup dan Ketua UKP4 tentu merupakan sebuah pernyataan yang didasari data-data yang cukup kuat. Sebagai institusi negara, akan berisiko berat jika kedua institusi itu mengeluarkan pernyataan yang tidak didasari data dan fakta di lapangan. Kredibilitas mereka sebagai institusi pemerintah akan tergerus jika mengungkapkan pernyataan yang tidak didasari data dan fakta yang benar.
Bukan hanya Menteri Lingkungan Hidup dan Ketua UKP4 yang mensinyalir adanya keterlibatan perusahaan dalam kebakaran lahan di Riau. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pun mengungkapkan hal yang sama. Data Walhi, seperti yang ditulis sebuah media daring, mengungkapkan bahwa 90 persen titik api kebakaran hutan di Riau terjadi di dalam wilayah konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan, yang sebagian dari perusahaan tersebut bermarkas di Singapura.
Pembelaan Menteri Kehutanan terhadap perusahaan yang diduga berkaitan dengan kebakaran lahan tampaknya juga sejalan dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seiring dengan permohonan maafnya kepada negara Malaysia dan Singapura akibat kabut asap kebakaran lahan di Riau beberapa waktu yang lalu, Presiden SBY juga mengingatkan jajaran menterinya untuk tidak menyebut nama perusahaan yang diduga ikut berperan dalam kebakaran lahan di Riau. 
Setelah muncul larangan Presiden SBY tersebut, nama-nama perusahaan yang diduga terkait dengan kebakaran lahan pun seperti hilang ditelan bumi. Hanya beberapa LSM yang masih menyatakan bahwa perusahaan di sektor kehutanan dan perkebunan terkait dengan kebakaran lahan di Riau.
Sulit untuk tidak memaknai pembelaan Menteri Kehutanan, yang juga sejalan dengan pernyataan Presiden SBY, itu merupakan sebuah pernyataan individual. Pembelaan itu dapat dimaknai sebagai sikap pemerintah. Dalam berbagai persoalan lingkungan hidup lainnya, pemerintah memiliki sikap yang sama, yaitu membela perusahaan dan membiarkan rakyatnya berjuang sendiri dalam memperjuangkan hak-haknya yang hilang. 
Sebelumnya, dalam kasus semburan lumpur Lapindo, pemerintah juga secara konsisten meyakini semburan lumpur itu sebagai bencana alam. Keyakinan itu membuat hak-hak warga Sidoarjo atas lingkungan hidup terabaikan. Hingga kini, tidak ada yang secara jelas pihak yang bertanggung jawab atas rehabilitasi ekologi yang telah hancur di kawasan itu akibat semburan lumpur itu.
Ada sebuah pelajaran yang dapat diambil dari posisi yang selama ini diambil oleh pemerintah ketika terjadi persoalan lingkungan hidup yang diduga melibatkan perusahaan. Pertama, jika terjadi kasus lingkungan hidup yang diduga terkait dengan perusahaan besar, masyarakat tidak bisa menggantungkan harapan kepada pemerintah untuk dapat memberikan solusi kebijakan yang lebih adil. Menggantungkan dan menunggu pemerintah untuk berpihak kepada masyarakat dalam kasus seperti itu hanya membuang waktu dan akan berakhir pada kekecewaan.
Lebih baik masyarakat segera melakukan konsolidasi untuk membela sendiri hak-hak lingkungan hidup yang terampas karena bencana ekologi. Aksi masyarakat dalam membela sendiri hak-haknya tersebut dapat diwujudkan dalam gugatan hukum atau aksi kampanye secara meluas.
Kedua, dalam banyak hal, pemerintah kita lebih mudah menerima masukan dari masyarakat internasional daripada dari rakyatnya secara langsung. Politik pencitraan pemerintah seperti ini harus dimanfaatkan oleh masyarakat yang menjadi korban kasus lingkungan hidup untuk membangun solidaritas dengan masyarakat internasional. Saat ini, secara internasional, isu lingkungan hidup tengah menjadi perhatian di samping isu hak asasi manusia.

Tekanan secara internasional ini memang berisiko akan memalukan negeri ini. Namun itu adalah konsekuensi yang harus diterima pemerintah yang lebih memilih membela perusahaan daripada rakyatnya sendiri ketika terjadi kasus lingkungan hidup. Kini pemerintah tidak bisa lagi bersembunyi dengan topeng nasionalisme sempit untuk membela perusahaan perusak lingkungan, meskipun perusahaan itu milik orang Indonesia sendiri. Pertanyaannya, apakah nantinya pemerintah akan tetap berlindung di balik topeng nasionalisme sempitnya itu seraya membiarkan rakyatnya menjadi korban perusakan lingkungan oleh perusahaan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar