|
SUARA
MERDEKA, 01 Juli 2013
"Entah, saya
merindukan romansa kecerdasan komplet dari sosok polisi di
tengah perempatan di kota saya"
TIAP hari saya berangkat dan pulang sekolah melewati
“perempatan bangjo” satu-satunya di kota saya di Grobogan, pada dekade 1970-an.
Di tengah perempatan itu tergantung lampu bangjo yang bisa dilihat dari empat
sisi jalan. Di bawah bangjo diletakkan tong bekas aspal yang dipotong dan
setengahnya diisi semen. Pada jam-jam sibuk, saya selalu melihat seorang polisi
lengkap dengan seragam versi lama —cokelat susu dan ikat pinggang putih— serta
peluit yang siap di mulutnya.
Belakangan saya tahu, uniform itu seragam polisi lalu
lintas. Pak polisi dengan sigap mengatur lalu lintas, yang pada tahun-tahun itu
masih semrawut, Motor, mobil, bus, truk, becak, sepeda, dokar, juga sepeda
bermuatan bronjong untuk bakulan, semua melewati perempatan itu. Meskipun sudah
ada bangjo menggantung di atas perempatan, rupanya masyarakat masih sulit
menerjemahkan maknanya, mana yang harus jalan terlebih dalu. Yang sudah
paham pun bingung ketika mereka patuh, tetapi semua orang jalan bersamaan, dan
akhirnya semrawut.
Pak polisi berdiri di atas bekas tong aspal di tengah
perempatan itu. Dengan tegas, luwes, dan cermat, ia mengatur: menggerakkan
tangan, meniup peluit, memutar badan ke empat penjuru mata angin untuk melihat
situasi kepadatan arus lalu lintas. Tak lekang oleh panas, tak lapuk kena
hujan. Masihkah kenangan tentang integritas sosok polisi itu mewujud dalam
realitas masa kini?
Kecerdasan
Komplet
Saya menyebut kecerdasan komplet, karena polisi pengatur
lalu lintas itu tentu harus mengerahkan seluruh kecerdasan. Kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional. kecerdasan sosial, sekaligus kecerdasan
spiritual.
Dia harus pada kondisi prima, baik fisik maupun pikiran; selalu
menyinkronkan pikiran dan tindakan. Antara gerakan tangan tiupan peluit dan
perintah pikirannya, semua harus sinergis, konsisten, dan tepat agar tidak
terjadi kesalahan perintah dan gerakan yang berakibat fatal bagi pengendara.
Kecerdasan komplet itu menimbulkan sikap segan dan hormat dari masyarakat. Pada
waktu itu saya melihat dengan “kasihan dan kagum”: betapa mulia tugas polisi,
di tengah panas dan hujan setia berdiri di tengah perempatan mengatur lalu
lintas. Setiap hari, selama bertahun-tahun!
Kecerdasan komplet itulah yang bagi saya menjadi romansa
blue print tentang tugas polisi. Dia rela berpanas-panas dan berhujan-hujan
demi keterciptaan keteraturan berkendara. Betapa seorang polisi mempunyai
ketangguhan fisik dan intelektual luar biasa. Bagaimana dia menjaga konsistensi
gerak pikiran dan perintah pada anggota tubuhnya.
Era Digital
Tentu sekarang saya tidak berharap ada Pak polisi yang
selalu berdiri di tengah perempatan sambil mengatur lalu lintas dengan
kecerdasannya. Pada era digital, lalu lintas di sejumlah daerah dapat dipantau
melalui CCTV yang dipasang di tiap sudut perempatan dan jalan.
Lantas di mana Pak polisi cerdas nan konsisten yang masih
selalu lekat di benak saya tiap melewati keramaian?
Belakangan saya tahu, Pak polisi masih setia memantau
keramaian jalan, kepadatan lalu lintas, bahkan bisa memantau seluruh daerah
kota-kota besar sambil duduk dikitari alat-alat canggih, monitor-monitor besar
yang merekam gambar di berbagai tempat. Di sebagian sudut kota yang lain saya
juga melihat polisi mengatur kendaraan di tempat-tempat rawan dan sibuk pada
jam berangkat-pulang kerja serta jam sekolah.
Ada sesuatu yang hilang dari relung hati dan ingatan saya.
Entah mengapa saya merindukan romansa kecerdasan komplet dari sosok polisi di
tengah perempatan di kota saya. Saya ingin kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual itu muncul lagi pada era
digital ini.
Tentu kita tak menginginkan Pak polisi kembali ke era jadul
dan primitif. Kita harus bangga dengan kemajuan peralatan dan sarana yang
dimiliki saat ini, yang serbacanggih, serbamodern, serbaberbau teknologi tinggi
untuk membantu tugas-tugas Polri. Melacak tersangka yang tidak dikenal
sekalipun bisa lewat sinyal telepon seluler.
Kecerdasan Pak polisi pun seharusnya makin terasah. Namun
entah kenapa saya kehilangan romansa kecerdasan komplet itu. Yang berkembang
justru jargon-jargon aneh di seputar masyarakat. Misalnya, “Polisi tidur saja
membuat masalah, apalagi yang tidak tidur”. Atau, “Yang masih jujur tinggal
patung polisi”.
Masyarakat seolah-olah kehilangan rasa sungkan dan hormat.
Begitu anomalinya pemahaman masyarakat tentang sosok polisi, sampai polisi
perlu membuat patung polisi di sudut-sudut jalan untuk “membuat segan”
masyarakat. Lalu ke mana sosok polisi yang memiliki kecerdasan komplet itu?
Bukankah kemajuan teknologi seharusnya makin melengkapinya?
Rasa hormat seperti yang tumbuh di hati masyarakat seperti
pada masa kecil saya, seharusnyalah menjadi penyemangat bagi institusi Polri
untuk serius mereformasi mental. Berbagai sorotan kepada polisi sekarang
—kompleksitas perilaku dan berbagai kasus korupsi— jelas jauh dari impian
tentang sosok Pak polisi komplet yang dedikatif itu.
Dan, untuk menjadi cerdas, tentu tidak harus jadul dan
berdiri di tengah perempatan di atas tong aspal bukan? Dirgahayu Polisi Republik Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar