|
SUAR
OKEZONE, 01 Juli 2013
Keputusan paripurna DPR yang mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun
2013 ternyata belum juga meredakan suhu politik antara partai-partai koalisi
pemerintahan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keputusan PKS yang
sesungguhnya juga merupakan partai koalisi pemerintahan untuk berseberangan
sikap dengan partai-partai koalisi lain terkait kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Dalam Sidang paripurna DPR pengesahan RAPBN-P tahun
2013, 51 legislator asal PKS bergabung dengan barisan oposisi untuk menolak
kenaikan harga BBM bersubsidi.
Sikap penolakan PKS terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tentu menarik untuk dicermati lebih jauh. Apalagi PKS merupakan salah satu partai politik koalisi pemerintahan. Alih-alih memberikan dukungan politik kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, PKS justru mengambil sikap balik badan.
Sikap penolakan PKS terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tentu menarik untuk dicermati lebih jauh. Apalagi PKS merupakan salah satu partai politik koalisi pemerintahan. Alih-alih memberikan dukungan politik kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, PKS justru mengambil sikap balik badan.
Penolakan PKS terhadap rencana pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi pun ditenggarai sarat dengan muatan politik. Sulit dimungkiri
penolakan terhadap rencana kenaikkan harga BBM bersubsidi dijadikan sebagai
sarana bagi partai dakwah tersebut untuk memulihkan kembali citra mereka yang
tengah merosot di mata publik pasca badai hebat kasus korupsi impor daging
sapi.
Sebagaimana diketahui bersama, dalam beberapa bulan terakhir ini PKS tengah dilanda badai hebat kasus korupsi impor daging sapi. Setelah Januari lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka kasus korupsi impor daging sapi, kini satu per satu elite partai dakwah tersebut mulai menghadapi panggilan KPK untuk dimintakan keterangan sebagai saksi. Ketua Dewan Syuro PKS ustadz Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta tidak luput dari pemanggilan tersebut.
Kasus korupsi impor daging sapi jelas menjatuhkan citra PKS di mata publik jelang pemilu tahun 2014. Apalagi selama ini PKS dikenal sebagai partai bersih karena tidak ada satu pun kader mereka yang tersangkut kasus korupsi. Merujuk pada hasil survei terbaru Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dilakukan pada tanggal 9-16 April 2013, tingkat elektabilitas PKS saat ini hanya sebesar 2,7 persen.
Dalam konteks itu, PKS membutuhkan sebuah momentum politik untuk memulihkan kembali citra mereka yang tengah merosot tajam di mata publik. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi kemudian dilihat sebagai peluang untuk melakukan pemulihan citra di mata publik.
Sikap berbeda PKS dalam masalah kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut mengundang reaksi Partai Demokrat dan partai-partai koalisi (Partai Golkar, PAN, PKB, dan PPP) lain sehingga menimbulkan kegaduhan politik di jajaran koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Partai-partai koalisi mendesak PKS segara angkat kaki dari koalisi.
Akan tetapi, desakan itu tidak diindahkan oleh PKS. Alih-alih menarik kader-kader mereka yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, PKS justru terus mempertahankan sikap medua. Di satu sisi, PKS menunjukkan sikap berseberangan jalan dengan partai-partai koalisi lain. Namun, di sisi lain PKS tidak menarik dan tetap mempertahankan kader-kader mereka yang menjabat sebagai menteri di KIB II.
Keberanian dan ketegasan SBY kembali diuji. Apakah SBY akan mengeluarkan PKS dari koalisi dan mencopot tiga menteri asal PKS di KIB II. Sebagai pimpinan tertinggi koalisi SBY memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Namun, sampai dengan saat ini keberanian dan ketegasan sikap SBY tidak kunjung datang.
Boleh jadi hal itu lantaran saat ini ada beberapa pertimbangan yang berkecambuk di hati SBY. Pertama, SBY mengetahui strategi politik yang sedang dimainkan PKS untuk memperoleh kesan terdzalimi jika dikeluarkan dari koalisi. Kedua, ada kekhawatiran SBY dengan kekuatan politik di parlemen jika PKS dikeluarkan dari koalisi.
Dilema yang dihadapi SBY dalam menentukan nasib PKS memang tidak mudah. Namun, SBY tidak punya pilihan banyak kecuali menetapkan suatu ketegasan sikap demi soliditas kolaisi. Dua hal di atas sesungguhnya tidak perlu terlalu dipertimbangkan oleh SBY.
Hal itu dikarenakan secara politik SBY yang menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan elektabilita partai yang terus melorot akibat perilaku korup elite-elite mereka dalam kasus wisma atlet dan pembangunan pusat olahraga Hambalang. Dengan mengambil sikap tegas dan keberanian untuk mengeluarkan PKS dari koalisi paling tidak SBY akan mendapatkan penilaian positif dari publik yang tentu akan juga berdampak pada pemulihan elektabilitas Partai Demokrat. ●
Sebagaimana diketahui bersama, dalam beberapa bulan terakhir ini PKS tengah dilanda badai hebat kasus korupsi impor daging sapi. Setelah Januari lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka kasus korupsi impor daging sapi, kini satu per satu elite partai dakwah tersebut mulai menghadapi panggilan KPK untuk dimintakan keterangan sebagai saksi. Ketua Dewan Syuro PKS ustadz Hilmi Aminuddin dan Presiden PKS Anis Matta tidak luput dari pemanggilan tersebut.
Kasus korupsi impor daging sapi jelas menjatuhkan citra PKS di mata publik jelang pemilu tahun 2014. Apalagi selama ini PKS dikenal sebagai partai bersih karena tidak ada satu pun kader mereka yang tersangkut kasus korupsi. Merujuk pada hasil survei terbaru Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dilakukan pada tanggal 9-16 April 2013, tingkat elektabilitas PKS saat ini hanya sebesar 2,7 persen.
Dalam konteks itu, PKS membutuhkan sebuah momentum politik untuk memulihkan kembali citra mereka yang tengah merosot tajam di mata publik. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi kemudian dilihat sebagai peluang untuk melakukan pemulihan citra di mata publik.
Sikap berbeda PKS dalam masalah kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut mengundang reaksi Partai Demokrat dan partai-partai koalisi (Partai Golkar, PAN, PKB, dan PPP) lain sehingga menimbulkan kegaduhan politik di jajaran koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Partai-partai koalisi mendesak PKS segara angkat kaki dari koalisi.
Akan tetapi, desakan itu tidak diindahkan oleh PKS. Alih-alih menarik kader-kader mereka yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, PKS justru terus mempertahankan sikap medua. Di satu sisi, PKS menunjukkan sikap berseberangan jalan dengan partai-partai koalisi lain. Namun, di sisi lain PKS tidak menarik dan tetap mempertahankan kader-kader mereka yang menjabat sebagai menteri di KIB II.
Keberanian dan ketegasan SBY kembali diuji. Apakah SBY akan mengeluarkan PKS dari koalisi dan mencopot tiga menteri asal PKS di KIB II. Sebagai pimpinan tertinggi koalisi SBY memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Namun, sampai dengan saat ini keberanian dan ketegasan sikap SBY tidak kunjung datang.
Boleh jadi hal itu lantaran saat ini ada beberapa pertimbangan yang berkecambuk di hati SBY. Pertama, SBY mengetahui strategi politik yang sedang dimainkan PKS untuk memperoleh kesan terdzalimi jika dikeluarkan dari koalisi. Kedua, ada kekhawatiran SBY dengan kekuatan politik di parlemen jika PKS dikeluarkan dari koalisi.
Dilema yang dihadapi SBY dalam menentukan nasib PKS memang tidak mudah. Namun, SBY tidak punya pilihan banyak kecuali menetapkan suatu ketegasan sikap demi soliditas kolaisi. Dua hal di atas sesungguhnya tidak perlu terlalu dipertimbangkan oleh SBY.
Hal itu dikarenakan secara politik SBY yang menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan elektabilita partai yang terus melorot akibat perilaku korup elite-elite mereka dalam kasus wisma atlet dan pembangunan pusat olahraga Hambalang. Dengan mengambil sikap tegas dan keberanian untuk mengeluarkan PKS dari koalisi paling tidak SBY akan mendapatkan penilaian positif dari publik yang tentu akan juga berdampak pada pemulihan elektabilitas Partai Demokrat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar