|
REPUBLIKA,
15 Juli 2013
Memasuki
Ramadhan tahun ini, kehidupan mayoritas rakyat Indonesia makin susah. Bulan
Ramadhan yang penuh berkah dan ditunggu-tunggu kedatangannya, ternyata muncul
bersamaan melambungnya harga kebutuhan pokok, barang-barang lain, dan biaya
transportasi. Hal ini terjadi karena wacana kenaikan harga BBM sampai eksekusinya
berlangsung berbulan-bulan sehingga pasar telah meresponsnya jauh sebelum
kenaikan harga BBM itu sendiri.
Kenaikan
harga kebutuhan hidup yang lebih dari 30 persen itu diantisipasi pemerintah
dengan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang jumlahnya
Rp 150.000 per orang selama empat bulan. Kita bisa membayangkan: cukupkah nilai
BLSM untuk menutupi kenaikan harga kebutuhan pokok itu? Persoalannya,
sebandingkah BLSM dengan utang pemerintah sendiri untuk memenuhi kebutuhan gaji
pegawai negeri (PNS), pembangunan infrastruktur (yang minim), dan belanja
negara yang lain?
Jawabannya: simak gambaran berikut.
Jumlah
utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) kini mencapai 243,18 miliar
dolar AS atau Rp 2.371 triliun. Dari jumlah itu, Rp 2.023,72 trili- un (85
persen) merupakan utang pemerintah. Jika mengacu pada APBN 2013, utang pemerintah
menjadi Rp 2.160 triliun atau bertambah Rp 137 triliun. Komposisi utang
pemerintah itu terdiri atas utang luar negeri, utang dalam negeri, dan surat
berharga negara. Kalau kita hitung berapa utang pemerintah itu dibandingkan
dengan jumlah penduduk Indonesia (247 juta jiwa), tiap kepala orang Indonesia
sesungguhnya sudah punya utang sekitar Rp 8,7 miliar. Lalu, apa artinya BLSM
yang hanya Rp 150 ribu selama empat bulan itu?
Dengan
utang per kapita rakyat Indonesia Rp 8,7 miliar, kapan utang itu terselesaikan?
Boro-boro akan selesai, bahkan bisa jadi tiap tahun akan bertambah. Indonesia
sudah masuk negara yang terseret `lumpur utang'. Makin berusaha melepaskan diri
dari jebakan lumpur, maka makin dalam lumpur itu
menenggelamkannya. Patricia Adams mengistilahkan utang semacam ini sebagai
odious debt atau utang najis. Mengapa
utang itu menjadi najis? Ini terjadi, tulis Adams, karena utang luar negeri itu
digunakan bukan untuk kepentingan negara, melainkan untuk memperkuat rezim
berkuasa.
Dalam
konteks Indonesia, bisa juga untuk `menggelembungkan' birokrasi dan memberikan
fasilitas berlebihan kepa- da para pejabat negara, elite politik, dan pengusaha
kroni. Utang najis semacam ini seharusnya bukan menjadi beban negara dan
rakyat, melainkan beban rezim bersangkutan.
Di
samping utang najis, menurut Adams, besarnya utang negara juga bisa terjadi karena
utang kriminal. Utang najis berbeda dengan utang kriminal, walaupun semua utang
kriminal dapat dikategorikan sebagai utang najis. Namun sebaliknya, tidak semua
utang najis adalah utang kriminal. Perbedaan utamanya adalah utang najis hanya
berhubungan dengan utang luar negeri suatu negara, sedangkan utang kriminal
dapat juga termasuk utang dalam negeri.
Dalam
kaitan ini, Indonesia terjebak pada kedua jenis utang ini. Utang luar negeri
kini telah menjadi utang najis karena dihambur-hamburkan untuk berbagai
pembiayaan program-program pemerintah yang boros dan penuh penyelewengan.
Sedangkan, utang kriminal bisa terlihat dari kasus dana rekapitulasi Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 1.400
triliun.
BLBI
merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia pada bank-bank yang mengalami
masalah likuiditas ketika Indonesia diterpa krisis moneter tahun 1998. Skema
tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dan IMF untuk mengatasi
krisis. Indonesia saat itu menurut saja kepada IMF karena terkotori utang
najis.
Selanjutnya,
utang najis itu berubah menjadi utang kriminal yang jumlahnya amat sangat
besar, yaitu Rp 1.400 triliun. Celakanya bank-bank yang mendapat bantuan
likuiditas itu sebagian besar mengemplang atau merekayasa utang-utangnya
sedemikian rupa sehingga seolah-olah lunas. Tragisnya, pemerintah pun tidak
bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi utang kriminal ini.
Akibat
utang kriminal BLBI, setiap tahun pajak rakyat dipakai untuk mencicil utang
BLBI sebesar Rp 60-Rp 80 triliun. Beban utang yang menyandera APBN itu
menyebabkan negara kehilangan kemampuan untuk mendanai dan membiayai sektor
publik untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
Jika kini
pemerintah mengklaim kemiskinan dan pengangguran makin berkurang, klaim
tersebut jelas harus dipertanyakan. Sebab, klaim itu hanya berdasarkan
statistik yang mudah direkayasa. BLSM salah satu tujuan `udang di balik
batu'-nya adalah merekayasa statistik tersebut dalam rangka menampilkan postur
palsu untuk memperlihatkan berkurangnya pengangguran dan kemiskinan. Padahal,
apa arti uang Rp 150 ribu selama empat bulan untuk memperbaiki ekonomi rakyat
dibandingkan beban utang tiap penduduk yang jumlahnya Rp 8,7 miliar itu?
Pertanyaannya:
mengapa pemerintah mau berutang sedemikian besar untuk hal-hal yang tidak
urgen? Jawabnya: keserakahan. Keserakahan telah menyebabkan manusia tidak
mampu melihat dirinya sendiri. Akibatnya, manusia akan terjerat dan jatuh
akibat keserakahannya. Keserakahan akan membunuh diri kita sendiri. Untuk
itulah, pemerintah harus mencoba bangun dan berdiri pada kaki sendiri.
Indonesia mempunyai sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusia yang
berkualitas sehingga menurut Bung Karno, Indonesia pantas untuk menjadi pemimpin
dunia. Syaratnya, jangan terjebak pada utang, hindari pemborosan, dan
keserakahan.
Dalam
perspektif inilah, kita menghayati urgensi puasa. Puasa adalah sebuah pembelajaran
manusia untuk menghindari keserakahan. Selama bulan Ramadhan, umat Islam
dididik untuk belajar hidup sederhana, menahan nafsu, menahan lapar, dan
menahan amarah untuk mencegah munculnya keserakahan dan perbuatan maksiat. Jika
makna puasa Ramadhan ini bisa diinternalisasi kita semua, terutama para
penguasa negeri, niscaya problem-problem yang bisa menghancurkan negara bisa
teratasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar