Selasa, 23 Juli 2013

Penyidikan TPPU dari Perspektif HAM

Penyidikan TPPU dari Perspektif HAM
Widyopramono  ;  Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum
SUARA KARYA, 22 Juli 2013


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (UU No 8/2010) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang untuk memenuhi kepentingan nasional, adalah mengembalikan aset hasil korupsi yang dirasa belum optimal. Karena, masih terdapat ruang timbulnya penafsiran yang berbeda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya beban pembuktian secara maksimal, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan para pelaksana UU.

Peran penyidik, tindak pidana asal, maksud pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU), penyitaan harta kekayaan TPPU dan HAM, sesuai ketentuan Pasal 75, UU No 8/2010 yang merupakan pengganti UU No 15/2002 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. "Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan TPPU dan memberitahukan kepada PPATK."

Makna penyidik (polisi), jaksa atau penyidik predicate crime sebagai penyidik TPPU, hal ini merupakan langkah terobosan dalam proses penegakan hukum. Artinya, apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi, jaksa selaku penyidik menemukan adanya TPPU, maka jaksa penyidik atau penyidik predicate crime tidak perlu menyerahkan hasil penyidikan kepada penyidik Polri, sehingga tidak akan terjadi proses saling menunggu dalam penyelesaian penyidikannya.

Dengan dilakukan penyidikan sendiri oleh jaksa penyidik predicate crime terhadap TPPU, bersamaan dengan penyidikan tindak pidana korupsi, hal ini sangat mendukung proses penanganan perkara secara cepat (speedy investigation). Berkas perkara hasil penyidikan gabungan antara tindak pidana asal atau predicate crime dan TPPU, sebagai konsekuensi logis oleh jaksa penuntut umum (JPU) dapat langsung disatukan dakwaannya dalam bentuk dakwaan kumulatif, hal mana menciptakan terselenggaranya proses penuntutan yang cepat (speedy prosecution).

Dengan penyidikan di satu tangan, maka JPU dapat mendakwakan secara kumulatif antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dan melimpahkannya secara bersamaan ke pengadilan. Hal demikian secara tidak langsung akan menciptakan peradilan yang cepat (speedy trial), karena cukup disidangkan oleh satu majelis hakim.

Dapat juga memberikan kepercayaan kepada penyidik asal penyidik dimaksud selalu menambah sikap profesionalisme dalam penanganan kasus yang bersifat kompleks, multi-dimensi. Pasal 74 ketentuan UU No 8/2010 menyebutkan, penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik pidana asal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU ini. Lebih lanjut, dalam Pasal 74 dijelaskan bahwa yang dimaksud 'penyidik tindak pidana asal' adalah pejabat dari instansi yang oleh UU diberi kewenangan melakukan penyidikan, selain Polri yang selama ini menangani penyidikan TPPU diberikan juga kepada, antara lain Kejaksaan, KPK, BNN, serta Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai, Kemenkeu RI, di mana penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan TPPU apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

Beberapa pakar hukum memandang, pemberian wewenang penyidikan TPPU oleh kejaksaan merupakan sebuah kemunduran karena seolah kembali era Herziene Indische Reglemen (HIR). Pada waktu HIR masih berlaku sebagai hukum acara pidana di Indonesia, penyidik dipandang sebagai bagian dari penuntutan di mana dengan kewenangan yang demikian menjadikan jaksa sebagai koordinator penyidikan, bahkan jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan.

Namun dengan berlakunya UU No 8/1981 tentang KUHAP, maka terjadi suatu diferensiasi dan kompartemensasi. Diferensiasi, yaitu pembedaan tugas dan wewenang tingkatan pemeriksaan sejak dari penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan. Sedangkan kompartemensasi adalah memberikan sekat terhadap tugas dan wewenang penyidik dan penuntut umum, tetapi tidak boleh mengganggu usaha adanya satu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang merupakan kerja bersama dalam proses peradilan pidana.

Untuk itu, pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penegakan hukum dapat menjadi fokus, sehingga tidak terjadi duplikasi kewenangan, namun tetap terintegrasi karena institusi penegak hukum yang satu dengan lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa dalam proses peradilan pidana di mana pola dikenal dengan integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu).

Dalam perkembangannya, karena pertimbangan pengalaman, jaksa masih tetap dipercaya dan diberi kewenangan penyidik dalam tindak pidana korupsi (UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001), seperti diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat (UU No 26/2000, sebagaimana diatur dalam UU Peradilan HAM yang Berat). Kewenangan tersebut lebih ditegaskan lagi dalam UU No 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU (Pasal 30 ayat 1 huruf d UU No 16/2004).

Dalam KUHAP, definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal menurut cara yang diatur dalam UU ini, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP).


Kegiatan mengumpulkan bukti ini berhubungan erat dengan kegiatan pembuktian dalam penuntutan di mana pada hakikatnya kegiatan penyidikan adalah dalam rangka mendukung kegiatan penuntutan. Sehingga, apabila penyidik dan penuntut umum dalam satu persepsi, maka penanganan perkara dapat lebih optimal. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar