|
SUARA
KARYA, 23 Juli 2013
Keberingasan massa di berbagi
penjuru tanah air semakin mewarnai konflik yang bernuansa perbedaan agama,
keyakinan dan kepercayaan. Bahkan, potret buram kehidupan masyarakat majemuk
itu seperti bersaing dengan upaya para elite dalam menyuarakan penegakan empat
pilar kebangsaan yang bertumpu kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika sebagai
pedoman masyarakat dalam negara yang beradab.
Namun di pihak lain, negara
sebagai entitas yang paling bertanggungjawab terhadap keamanan dan ketenteraman
masyarakat, seperti tidak berdaya mengatasi aneka konflik yang gampang muncul
setiap saat. Karena itu tidak mengherankan jika berbagai kalangan menyebutkan
bahwa pemerintah belum mampu melindungi masyarakat dari konflik dalam bingkai
perbedaan agama dan keyakinan dasar yang muncul di berbagai lapisan masyarakat.
Walaupun secara faktual berbagai
konflik, diwarnai oleh isu sensitif dalam belenggu perbedaan karakter dalam
agama dan keyakinan, tetapi kita teramat jarang mendengar pengakuan dari
pihak-pihak yang bertanggungjawab di pemerintah, mengakui bahwa pertikaian,
perseteruan, penyerangan dan kerusuhan yang terjadi bermotif perbedaan dalam
keyakinan pada ranah keagamaan. Justru yang kerap terdengar adalah, elite dalam
kekuasaan negara mengkambinghitamkan emosi masyarakat semata sebagai pemicu
konflik antar kelompok.
Menafikan substansi perbedaan
keyakinan dalam agama sebagai pemicu konflik, merupakan gambaran kelemahan
negara dalam membangun integrasi nasional yang merujuk kepada penguatan empat
pilar kebangsaan yang mengunggulkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Padahal Rodney A Smola (2001) menggarisbawahi, bahwa kekuasaan
yang mengabaikan fakta di sekelilingnya dan menutup hak masyarakat untuk
mengetahui kondisi yang sebenarnya dalam mengelola negara, akan menghancurkan
kekuasaan pemerintah itu sendiri.
Karena itu, sudah selayaknya jika
pemerintah transparan mengakui adanya konflik antar kelompok dalam nuanasa
perbedaan agama dan keyakinan di berbagai berbagai wilayah nusantara. Dengan
transparansi, pemerintah bisa membangun kesadaran masyarakat tentang perpecahan
NKRI di depan mata. Bagaimanapun juga ketika para elite dalam poros-poros
kekuasaan negara mereduksi fakta konflik, dengan mengeksplorasi pemicu yang
seringkali hanya persolan sepele. Maka, masyarakat juga menafikan bahaya
perbedaan agama dan keyakinan di sekelilingnya.
Namun mereduksi fakta konflik
bernuansa perbedaan termasuk ketidakmampuan mengatasinya, bukan hanya persoalan
kinerja aparatur pemerintah menghadapi keberingasan massa. Sebab ada
kecenderungan berbagai entitas dalam tubuh pemerintah melakukan pembiaran
terselubung terhadap aneka bentrokan yang bersifat sektarian. Sikap ini mudah
ditebak, mengingat elite dalam kekuasaan memiliki ketergantungan terhadap
kekuatan pihak-pihak yang bertikai untuk dijadikan pendukung dalam kompetisi
politik lokal maupun nasional.
Pada konteks ini, sinyalemen
Sidney Jones, dalam kuliah umum Hak Asasi Manusia di Kontras Jakarta, dalam satu
kesempatan di Jakarta tahun 2011, menarik untuk dicermati. Secara esensial,
dikemukakan, pegiat HAM kurang agresif untuk mendekati kalangan birokrat dan
politikus dalam mewujudkan gagasan demokrasi yang mengusung kemajemukan.
Akibatnya, elite dalam pemerintahan
lebih mengakomodasikan kekuatan komunitas berbasis nilai sektarian yang
memiliki massa, dan mampu memberikan dukungan dalam persaingan politik,
dibandingkan menjalankan roda pemerintahan untuk semua pihak tanpa diferensiasi
agama dan keyakinan. Karena itu, tidak mengherankan jika kecenderungan perilaku
sektarian tumbuh signifikan di lembaga-lembaga pemerintah. Jelas ini
representasi dari kesepakatan para elite negara untuk "mematuhi"
kehendak "pemilik massa" yang mempunyai kekuatan paksa mengontrol dari
luar jalannya pemerintahan.
Melalui komunikasi verbal dan non
verbal, tentu tidak sulit mengenali berkembangnya semangat perbedaan di
institusi negara yang notabene harus bertanggungjawab terhadap utuhnya
kebhinekaan. Bahkan tidak aneh, entitas negara yang seharusnya gencar
menanamkan pentingnya empat pilar kebangsaan pada usia belia, terperangkap juga
dalam perilaku epigon membangun perbedaan sejak dini secara terselubung.
Karena itu, tanpa bermaksud
mengedepankan pola penyosialisasian model Penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) yang sudah menghilang pada era reformasi, tetapi
pembentukan karakter "pluralisme yang menjaga empat pilar kebangsaan"
di lembaga-lembaga pemerintah, dalam bingkai "demokrasi" harus ditegakkan.
Tujuannnya agar aparatur pemerintah tidak semakin jauh terperangkap dalam
penafsiran ideal terhadap nilai dan keyakinan dasar yang bersifat sepihak
sesuai dengan pemilik otoritas di institusinya.
Memang kemasan dalam membangun
karakter, sikap dan perilaku birokrasi pemerintahan sangat ideal, karena
diwarnai oleh jargon, moto, kata-kata mutiara yang menyejukkan dalam nada
menghargai eksistensi kelompok yang berbeda agama, kepercayaan maupun keyakinan
dasar. Namun, terlampau sulit mengimbangi kekuatan pesan-pesan bernada
"pembeda" yang sudah mendominasi berbagai lapisan dalam tubuh
birokrasi pemerintahan.
Dengan demikian, tidak aneh jika
konflik, pertikaian, kerusuhan dan keberingasan massa yang terjadi di Tanah
Air, masih saja diwarnai oleh isu perbedaan yang berpotensi memarginalkan empat
pilar kebangsaan. Sebab, hakikatnya, dalam masyarakat paternalistik sebagaimana
di Indonesia, massa sesungguhnya hanya meniru tindakan organ-organ kekuasaan
negara yang memiliki pengaruh dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar