Kamis, 04 Juli 2013

Nalar Pengelolaan APBN

Nalar Pengelolaan APBN
Ridwan Budiman ;   Peneliti pada Centre for Information and Development Studies (Cides)-The Habibie Centre
REPUBLIKA, 03 Juli 2013


Ada persoalan mendasar dari cara bagaimana pemerintah mengelola anggaran (APBN) negeri ini. Lebih lanjut, persoalan tersebut menjadikan pemerintah tidak ubahnya seperti seorang ekonom yang berpikir sekadar pada aspek teknokratis, defisit-surplus, bahkan hirau dengan segala apa yang terjadi di luar persoalan neraca keuangan keekonomian. 

Padahal, posisi pemerintah sebagai elemen penting pengambil kebijakan (policy maker), selayaknya tidak sekadar menjadikan perhitungan matematis-ekonometrik semata untuk memutuskan suatu kebijakan yang memiliki dimensi lebih luas dari itu. Cara pemerintah berpikir teknokratik tersebut tecermin dari bagaimana pemerintah membangun argumentasi sebagai landasan mengapa pada akhirnya pemerintah memiliki alibi untuk menaikkan harga BBM. 

Alasan yang paling sering disampaikan adalah persoalan kenaikan atau penyetaraan harga minyak dunia intenasional dan karena itu subsidi BBM menjadi satu-satunya hal yang bertahap harus dihapuskan. Ketika mulai membangun argumentasi dari dua hal tersebut, maka pemerintah tak ubahnya seperti pedagang (privat).

Karena dominannya nalar teknokratisme tersebut, tidak heran jika cara pengelolaan APBN pun seperti mengelola perusahaan (korporasi) (santoso, 2007). Masyarakat yang memiliki daya beli rendah, akan dipaksa untuk mengikuti mereka yang memiliki daya beli tinggi. Mereka yang hidup dalam golongan near poor, akan berubah menjadi poor karena elastisitas daya belinya rendah. 

Sebaliknya, bagi mereka yang tergolong kelas atas: semakin diuntungkan karena kenaikan harga BBM berarti akan berkonsekuensi pada kenaikan pendapatan dan tunjangan lainnya (elastisitas ekonominya relatif tinggi). Dengan kata lain, cara pengelolaan APBN, secara tidak langsung, akan menunjukkan keadilan atau keberpihakan pemerintah sebenarnya kepada siapa (Saparini, 2013). 

Nalar berpikir ketika memandang persoalan ekonomi, bukan berangkat dari landasan ideologis (UUD 45 Pasal 33, Pasal 28, dan Pasal 23) tapi lebih berangkat dari sisi pragmatis yang seolah menyatakan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena BBM diposisikan sebagai barang publik. Beberapa pandangan, misalnya, dari Pradiptyo (2013), dengan merujuk dari data Kementerian ESDM, menunjukkan bahwa 25 persen rumah tangga berpenghasilan tertinggi (RTBT) menikmati 77 persen subsidi BBM, sedangkan 25 persen rumah tang- ga berpenghasilan rendah (RTBR) hanya menikmati 15 persen subsidi BBM (Kementerian Keuangan 2012). 

Artinya, selama sumber daya alam, misalnya, BBM, masih diposisikan sebagai barang yang dapat diakses bebas oleh semua kalangan (barang publik)
maka akan semakin tinggi tingkat konsumsi barang tersebut. Kondisi tingginya konsumsi ini akan mengakibatkan subsidi menjadi salah sasaran karena RTBT masih mampu menjangkau BBM yang digolongkan barang konsumsi bersubsidi (compensated consumption) tersebut. Dan, fatalnya, untuk meminimalisasi salah sasaran subsidi tersebut, pemerintah malah menaikkan harga BBM.

Tiga kefatalan

Nalar berpikir seperti ini yang fatal jika terus didengungkan kepada publik, terutama bagi mereka yang tergolong less informed. Setidaknya, ada tiga kefatalan akut yang selama ini ada di benak pemerintah.

Pertama, nalar seperti ini tidak berangkat dari semangat konstitusi yang memiliki semangat dalam penguasaan dan pengelolaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting. Dalam konteks ini, pemerintah melanggar konstitusi dengan tidak menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dalam penguasaan dan kepemilikan atas kekayaan alam. BBM memang dimiliki negara berdasar pada wilayah kerja, tapi penguasaan dan manajemen pengelolaan diserahkan kepada pasar. Termasuk pada penetapan harga yang didasarkan pada prinsip persaingan usaha. Sehingga, kekayaan alam Indonesia sepenuhnya menjadi sumber utama keuangan negara untuk membiayai pengeluaran wajib (mandatory spending) dalam APBN (Saparini, 2013), malah dikuasai asing.

Kedua, pemerintah cenderung menyederhanakan makna `sebesar-besarnya kemakmuran rakyat', sebatas pada tax revenue yang didapatkan dari pengelolaan minyak oleh kalangan swasta. Faktanya, dalam kapasitas besarnya keuntungan yang bisa didapatkan, jumlah revenue pemerintah dari swasta tersebut malah jumlahnya tak signfikan: hanya 1/6 dari total dana APBN, dalam asumsi berjumlah sekitar Rp 1.500 triliun (Noorsy, 2013). 

Ketiga, pemerintah gagal untuk mendefinisikan dan menggolongkan secara jelas siapa sebenarnya masyarakat yang disebut poor dan rich. Semboyan pro job, pro poor, dan pro growth hanya sebatas kampanye politik untuk menarik simpati publik. Faktanya, data valid mengenai jumlah orang miskin di Indonesia, tidak pernah sama bahkan cenderung menegasikan satu sama lain. 

Di Yogyakarta, misalnya, data orang miskin yang diolah oleh pusat untuk mendapatkan BLSM berbeda angkanya dengan yang dimiliki oleh Dinas Sosial Provinsi Yogyakarta. Ketiadaan jumlah orang miskin yang valid inilah yang mengakibatkan subsidi BBM selalu mudah untuk diasumsikan tidak tepat sasaran. Sehingga, harga BBM menjadi wajar untuk naik.
Kalau diasumsikan tidak tepat sasaran maka pemerintah legitimate untuk mengatakan APBN jebol. Defisit. Publik seolah menjadi percaya dengan apa yang pemerintah sampaikan, padahal dasar untuk menentukan jumlah orang kaya dan miskin belum pernah jelas. Kebohongan publik. 

Ekonomi konstitusi

Problem nalar teknokratisme ini akan terpecahkan hanya dan hanya jika pemerintah menyadari posisinya sebagai aktor politik. Bukan aktor ekonomi yang memandang pengelolaan anggaran negara sebagai sebuah aset perusahaan yang dijaga efisiensinya. Pemerintah punya kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dengan berorientasi pada public interest (sebesar-besarnya kemakmuran rakyat). Bukan sebesar-besarnya kemakmuran swasta atau asing. 

Meskipun demikian, makna `sebesar-besarnya kemakmuran rakyat' bukan berarti membiarkan APBN jebol asal rakyat makmur dan sejahtera. Tapi, orientasi awal pengelolaan APBN untuk rakyat. Sehingga, kalaupun pemerintah mengalami defisit APBN, pilihannya bukan membebani rakyat dengan mengurangi subsidi yang berimplikasi pada naiknya inflasi. Tapi, pemerintah bisa menutupinya dari sektor-sektor lain yang masih berpeluang untuk ditingkatkan pemasukannya. Misalnya, pajak progresif pertambangan.

Corak ekonomi yang berorientasi pada kepentingan publik luas seperti inilah yang ada dalam skema besar ekonomi konstitusi. Bukan corak ekonomi pasar (liberal state) atau ekonomi negara (centrally planned-economy). Tapi, suatu sistem yang lazim disebut ekonomi Pancasila, yang berayun di antara dua corak ekonomi tersebut (Dawam Rahardjo, 2009). Napasnya adalah hikmah kebijaksanaan (sila ke-4), orientasinya adalah ekonomi rakyat dan sistem praksis yang dibangun adalah sistem koperasi (cooperation) antar-'pemegang saham' negeri ini, yaitu rakyat. Bukan sistem korporatokrasi, yang pengelolaan, pemilikan, dan pemanfaatan profit yang dihasilkan berdasarkan kepentingan pemodal dan para board of director yang tergabung di dalamnya.


Kalau Indonesia konsisten menjalankan konstitusi UUD 1945 tersebut, kita tidak akan pernah sekalipun tunduk pada asing. Faktanya, kita tidak pernah konsisten! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar