|
REPUBLIKA,
03 Juli 2013
Ada
persoalan mendasar dari cara bagaimana pemerintah mengelola anggaran (APBN)
negeri ini. Lebih lanjut, persoalan tersebut menjadikan pemerintah tidak
ubahnya seperti seorang ekonom yang berpikir sekadar pada aspek teknokratis,
defisit-surplus, bahkan hirau dengan segala apa yang terjadi di luar persoalan
neraca keuangan keekonomian.
Padahal,
posisi pemerintah sebagai elemen penting pengambil kebijakan (policy maker), selayaknya tidak sekadar
menjadikan perhitungan matematis-ekonometrik semata untuk memutuskan suatu
kebijakan yang memiliki dimensi lebih luas dari itu. Cara pemerintah berpikir
teknokratik tersebut tecermin dari bagaimana pemerintah membangun argumentasi
sebagai landasan mengapa pada akhirnya pemerintah memiliki alibi untuk
menaikkan harga BBM.
Alasan
yang paling sering disampaikan adalah persoalan kenaikan atau penyetaraan harga
minyak dunia intenasional dan karena itu subsidi BBM menjadi satu-satunya hal
yang bertahap harus dihapuskan. Ketika mulai membangun argumentasi dari dua hal
tersebut, maka pemerintah tak ubahnya seperti pedagang (privat).
Karena
dominannya nalar teknokratisme tersebut, tidak heran jika cara pengelolaan APBN
pun seperti mengelola perusahaan (korporasi) (santoso, 2007). Masyarakat yang memiliki daya beli rendah,
akan dipaksa untuk mengikuti mereka yang memiliki daya beli tinggi. Mereka
yang hidup dalam golongan near poor,
akan berubah menjadi poor karena
elastisitas daya belinya rendah.
Sebaliknya,
bagi mereka yang tergolong kelas atas: semakin diuntungkan karena kenaikan
harga BBM berarti akan berkonsekuensi pada kenaikan pendapatan dan tunjangan
lainnya (elastisitas ekonominya relatif tinggi). Dengan kata lain, cara
pengelolaan APBN, secara tidak langsung, akan menunjukkan keadilan atau
keberpihakan pemerintah sebenarnya kepada siapa (Saparini, 2013).
Nalar
berpikir ketika memandang persoalan ekonomi, bukan berangkat dari landasan
ideologis (UUD 45 Pasal 33, Pasal 28, dan Pasal 23) tapi lebih berangkat dari
sisi pragmatis yang seolah menyatakan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran
karena BBM diposisikan sebagai barang publik. Beberapa pandangan, misalnya,
dari Pradiptyo (2013), dengan merujuk dari data Kementerian ESDM, menunjukkan
bahwa 25 persen rumah tangga berpenghasilan tertinggi (RTBT) menikmati 77
persen subsidi BBM, sedangkan 25 persen rumah tang- ga berpenghasilan rendah
(RTBR) hanya menikmati 15 persen subsidi BBM (Kementerian Keuangan 2012).
Artinya,
selama sumber daya alam, misalnya, BBM, masih diposisikan sebagai barang yang
dapat diakses bebas oleh semua kalangan (barang publik)
maka akan semakin tinggi tingkat konsumsi barang tersebut. Kondisi tingginya
konsumsi ini akan mengakibatkan subsidi menjadi salah sasaran karena RTBT masih
mampu menjangkau BBM yang digolongkan barang konsumsi bersubsidi (compensated consumption) tersebut. Dan,
fatalnya, untuk meminimalisasi salah sasaran subsidi tersebut, pemerintah malah
menaikkan harga BBM.
Tiga kefatalan
Nalar
berpikir seperti ini yang fatal jika terus didengungkan kepada publik, terutama
bagi mereka yang tergolong less informed.
Setidaknya, ada tiga kefatalan akut yang selama ini ada di benak pemerintah.
Pertama,
nalar seperti ini tidak berangkat dari semangat konstitusi yang memiliki
semangat dalam penguasaan dan pengelolaan negara atas cabang-cabang produksi
yang penting. Dalam konteks ini, pemerintah melanggar konstitusi dengan
tidak menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dalam penguasaan dan
kepemilikan atas kekayaan alam. BBM memang dimiliki negara berdasar pada
wilayah kerja, tapi penguasaan dan manajemen pengelolaan diserahkan kepada
pasar. Termasuk pada penetapan harga yang didasarkan pada prinsip persaingan
usaha. Sehingga, kekayaan alam Indonesia sepenuhnya menjadi sumber utama
keuangan negara untuk membiayai pengeluaran wajib (mandatory spending) dalam APBN (Saparini,
2013), malah dikuasai asing.
Kedua,
pemerintah cenderung menyederhanakan makna `sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat', sebatas pada tax revenue
yang didapatkan dari pengelolaan minyak oleh kalangan swasta. Faktanya, dalam
kapasitas besarnya keuntungan yang bisa didapatkan, jumlah revenue pemerintah dari swasta tersebut
malah jumlahnya tak signfikan: hanya 1/6 dari total dana APBN, dalam asumsi
berjumlah sekitar Rp 1.500 triliun (Noorsy,
2013).
Ketiga,
pemerintah gagal untuk mendefinisikan dan menggolongkan secara jelas siapa
sebenarnya masyarakat yang disebut poor
dan rich. Semboyan pro job, pro poor, dan pro growth hanya sebatas kampanye
politik untuk menarik simpati publik. Faktanya, data valid mengenai jumlah
orang miskin di Indonesia, tidak pernah sama bahkan cenderung menegasikan satu
sama lain.
Di
Yogyakarta, misalnya, data orang miskin yang diolah oleh pusat untuk mendapatkan
BLSM berbeda angkanya dengan yang dimiliki oleh Dinas Sosial Provinsi
Yogyakarta. Ketiadaan jumlah orang miskin yang valid inilah yang mengakibatkan
subsidi BBM selalu mudah untuk diasumsikan tidak tepat sasaran. Sehingga, harga
BBM menjadi wajar untuk naik.
Kalau diasumsikan tidak tepat sasaran maka pemerintah legitimate untuk mengatakan APBN jebol. Defisit. Publik seolah menjadi
percaya dengan apa yang pemerintah sampaikan, padahal dasar untuk menentukan
jumlah orang kaya dan miskin belum pernah jelas. Kebohongan publik.
Ekonomi konstitusi
Problem
nalar teknokratisme ini akan terpecahkan hanya dan hanya jika pemerintah menyadari
posisinya sebagai aktor politik. Bukan aktor ekonomi yang memandang pengelolaan
anggaran negara sebagai sebuah aset perusahaan yang dijaga efisiensinya.
Pemerintah punya kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dengan
berorientasi pada public interest
(sebesar-besarnya kemakmuran rakyat). Bukan sebesar-besarnya kemakmuran swasta
atau asing.
Meskipun
demikian, makna `sebesar-besarnya kemakmuran rakyat' bukan berarti membiarkan
APBN jebol asal rakyat makmur dan sejahtera. Tapi, orientasi awal pengelolaan
APBN untuk rakyat. Sehingga, kalaupun pemerintah mengalami defisit APBN,
pilihannya bukan membebani rakyat dengan mengurangi subsidi yang berimplikasi
pada naiknya inflasi. Tapi, pemerintah bisa menutupinya dari sektor-sektor lain
yang masih berpeluang untuk ditingkatkan pemasukannya. Misalnya, pajak progresif
pertambangan.
Corak
ekonomi yang berorientasi pada kepentingan publik luas seperti inilah yang ada
dalam skema besar ekonomi konstitusi. Bukan corak ekonomi pasar (liberal state) atau ekonomi negara (centrally planned-economy). Tapi, suatu
sistem yang lazim disebut ekonomi Pancasila, yang berayun di antara dua corak
ekonomi tersebut (Dawam Rahardjo, 2009). Napasnya
adalah hikmah kebijaksanaan (sila ke-4), orientasinya adalah ekonomi rakyat dan
sistem praksis yang dibangun adalah sistem koperasi (cooperation) antar-'pemegang saham' negeri ini, yaitu rakyat. Bukan
sistem korporatokrasi, yang pengelolaan, pemilikan, dan pemanfaatan profit yang
dihasilkan berdasarkan kepentingan pemodal dan para board of director yang tergabung di dalamnya.
Kalau
Indonesia konsisten menjalankan konstitusi UUD 1945 tersebut, kita tidak akan
pernah sekalipun tunduk pada asing. Faktanya, kita tidak pernah konsisten! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar