|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juli 2013
UMUMNYA
para pakar ekonomi pertanian sepakat bahwa sektor ekonomi pangan itu
membutuhkan proteksi negara. Intervensi negara itu diperlukan karena
keniscayaan terjadinya market failure
(kegagalan pasar) jika produksi, konsumsi, dan distribusi produk-produk
pertanian tersebut diserahkan ke mekanisme pasar.
Untuk komoditas pangan, market failure niscaya terjadi karena,
pertama, komoditas pangan itu ialah komoditas yang rentan pada volatilitas
harga. Volatilitas terjadi karena rentannya suplai terganggu oleh penyebab yang
tidak bisa diprediksi seperti gagal panen, serangan hama penyakit, bencana
alam, dan perubahan iklim. Volatilitas itu, kalau tidak dikelola, akan
menghadirkan market failure, yakni
selalu hadirnya ketidakcocokan suplai dan permintaan (supply and demand), ketika panen raya suplai melebihi demand dan petani dirugikan. Namun,
sebaliknya ketika musim paceklik, harga akan meroket sehingga konsumen
dirugikan.
Kedua, market failure terjadi karena produk-produk pangan ialah produk
yang mempunyai eksternalitas (kontribusi) positif terhadap kehidupan masyarakat
secara umum, bahkan negara. Kelangkaan komoditas itu tidak sekadar mengurangi
konsumsi individual rumah tangga, tetapi punya dampak ke sektor sosial ekonomi
yang lebih luas melalui kontribusinya terhadap inflasi. Agar inflasi bisa
dikendalikan, suplai harus bisa dijaga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Artinya dengan eksternalitas positif terhadap perekonomian tersebut, merupakan
keniscayaan pula para pelaku ekonomi di sektor pangan mendapatkan keberpihakan
negara yang memadai sehingga para pelakunya tidak dirugikan ketika menjalankan
usaha tani.
Ketiga, market failure juga bisa terjadi karena para petani sebagai
produsen komoditas pangan berskala usaha kecil, bahkan guram. Dengan skala
ekonomi yang demikian, mereka akan mudah kolaps jika harus bersaing dengan
produk sejenis dari luar negeri yang umumnya berskala ekonomi besar,
mendapatkan subsidi dan proteksi dari negara mereka.
Ketika pemerintah mengambil
posisi untuk menunjukkan keberpihakan kepada petani, hal itu merupakan sesuatu
yang niscaya. Proteksi yang diambil pemerintah yang utama saat ini ialah
membatasi impor komoditas pangan baik melalui cara pembatasan kuota impor atau
melalui penerapan tarif impor. Pertanyaan apakah kebijakan yang sedemikian itu
sudah merupa sedemikian ikan bentuk proteksi yang tepat?
Saya menjawab, “Tidak,“ karena
kebijakan itu ternyata menimbulkan government
failure (kegagalan pemerintah) dalam implementasinya. Government failure adalah fenomena intervensi pemerintah bukan
memperbaiki distorsi, melainkan malah sebaliknya menimbulkan distorsi pasar
yang baru atau memperparah distorsi pasar yang ada, sebagaimana yang telah kita
rasakan dari dampak kebijakan pembatasan kuota impor terhadap sejumlah
komoditas pangan selama triwulan pertama tahun ini, yang dampaknya masih hadir
hingga saat ini berupa harga harga bahan pangan rawan inflasi.
Kenaikan harga-harga bahan pangan
pada Ramadan diperparah madan diperparah hadirnya ekspektasi inflasi di
kalangan pelaku ekonomi dan kenaikan harga-harga input produksi dan
transportasi yang disebabkan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak pada
22 Juni lalu.
Kebijakan proteksi yang bersifat
meningkatkan har ga pangan dalam rangka memotivasi petani berproduksi
seharusnya tidak diprioritaskan karena dua alasan. Pertama, karena berimplikasi
kenaikan inflasi. Kedua, karena struktur pasar komoditas pangan tidak
menguntungkan petani yang ingin diproteksi.
Anda perhatikan ada dua struktur
pasar yang menghubungi petani dengan konsumen. Pasar pertama ialah pasar di
tingkat konsumen rumah tangga. Kebijakan pembatasan impor ataupun penerapan
tarif impor akan berimplikasi pada kenaikan harga di tingkat rumah tangga secara
langsung karena para pedagang secara mudah mentransmisikan kenaikan harga
komoditas pangan tersebut kepada rumah tangga. Namun, apakah kenaikan harga
tersebut bisa dinikmati petani secara proporsional? Jawabnya tidak karena
struktur pasar di tingkat petani bersifat oligopoli. Ada segelintir tengkulak
sebagai pembeli dan sangat banyak petani yang berposisi sebagai penjual.
Dalam struktur pasar demikian,
tengkulak ialah penentu harga (price
maker) sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen rumah tangga tidak
otomatis bisa ditransmisikan secara proporsional kepada petani. Terlebih ketika
ada hubungan kelembagaan pasar yang bisa menegasikan kenaikan harga tersebut di
tingkat petani, misalnya melalui sistem ijon yang masih umum terjadi pada usaha
tani skala kecil dan guram.
Kebijakan proteksi yang
sedemikian bisa diambil jika negara juga menghadirkan lembaga penstabil pangan
untuk mengantisipasi volatilitas harga. Dengan demikian, harus hadir BUMN
logistik untuk sejumlah komoditas pangan penting sebagaimana posisi Bulog di
era Orde Baru yang berfungsi sebagai stabilisator harga dan penjaga buffer
stock sembilan bahan kebutuhan pokok.
BUMN itulah yang menjemput dan
membeli produksi pangan petani dan membelinya dengan harga subsidi pemerintah
yang masih menguntungkan petani dan selanjutnya menyimpannya sebagai stok
negara. Ketika harga pangan mahal, stok negara itulah yang dilempar ke pasar
dengan harga yang lebih murah sehingga stabilisasi harga yang menguntungkan
petani dan masih bisa diakses masyarakat tetap terjaga. Kalau hal seperti itu
yang ingin dilakukan, tentu berimplikasi pada tekanan APBN yang besar karena
semua intervensi tersebut tentulah berbiaya mahal.
Alternatif kebijakan yang tidak rawan infl asi ialah
kebijakan proteksi yang ditujukan untuk menekan biaya produksi petani seperti
subsidi benih unggul dan sarana produksi, infrastruktur pertanian (seperti
irigasi), dan dukungan teknologi best
practice agriculture. Dengan demikian walaupun tidak terjadi kenaikan harga
output, kebijakan itu tetap dapat memacu produktivitas petani karena biaya
produksi mereka menjadi lebih rendah sehingga usaha tani pangan mereka tetap
menguntungkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar