Minggu, 21 Juli 2013

Menyinergikan Proteksi Petani dan Stabilisasi Harga Pangan

Menyinergikan Proteksi Petani
dan Stabilisasi Harga Pangan
Andi Irawan ; Peminat Telaah Ekonomi Politik Pangan Indonesia,
Doktor Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
MEDIA INDONESIA, 16 Juli 2013


UMUMNYA para pakar ekonomi pertanian sepakat bahwa sektor ekonomi pangan itu membutuhkan proteksi negara. Intervensi negara itu diperlukan karena keniscayaan terjadinya market failure (kegagalan pasar) jika produksi, konsumsi, dan distribusi produk-produk pertanian tersebut diserahkan ke mekanisme pasar.

Untuk komoditas pangan, market failure niscaya terjadi karena, pertama, komoditas pangan itu ialah komoditas yang rentan pada volatilitas harga. Volatilitas terjadi karena rentannya suplai terganggu oleh penyebab yang tidak bisa diprediksi seperti gagal panen, serangan hama penyakit, bencana alam, dan perubahan iklim. Volatilitas itu, kalau tidak dikelola, akan menghadirkan market failure, yakni selalu hadirnya ketidakcocokan suplai dan permintaan (supply and demand), ketika panen raya suplai melebihi demand dan petani dirugikan. Namun, sebaliknya ketika musim paceklik, harga akan meroket sehingga konsumen dirugikan.

Kedua, market failure terjadi karena produk-produk pangan ialah produk yang mempunyai eksternalitas (kontribusi) positif terhadap kehidupan masyarakat secara umum, bahkan negara. Kelangkaan komoditas itu tidak sekadar mengurangi konsumsi individual rumah tangga, tetapi punya dampak ke sektor sosial ekonomi yang lebih luas melalui kontribusinya terhadap inflasi. Agar inflasi bisa dikendalikan, suplai harus bisa dijaga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Artinya dengan eksternalitas positif terhadap perekonomian tersebut, merupakan keniscayaan pula para pelaku ekonomi di sektor pangan mendapatkan keberpihakan negara yang memadai sehingga para pelakunya tidak dirugikan ketika menjalankan usaha tani.

Ketiga, market failure juga bisa terjadi karena para petani sebagai produsen komoditas pangan berskala usaha kecil, bahkan guram. Dengan skala ekonomi yang demikian, mereka akan mudah kolaps jika harus bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri yang umumnya berskala ekonomi besar, mendapatkan subsidi dan proteksi dari negara mereka.

Ketika pemerintah mengambil posisi untuk menunjukkan keberpihakan kepada petani, hal itu merupakan sesuatu yang niscaya. Proteksi yang diambil pemerintah yang utama saat ini ialah membatasi impor komoditas pangan baik melalui cara pembatasan kuota impor atau melalui penerapan tarif impor. Pertanyaan apakah kebijakan yang sedemikian itu sudah merupa sedemikian ikan bentuk proteksi yang tepat?

Saya menjawab, “Tidak,“ karena kebijakan itu ternyata menimbulkan government failure (kegagalan pemerintah) dalam implementasinya. Government failure adalah fenomena intervensi pemerintah bukan memperbaiki distorsi, melainkan malah sebaliknya menimbulkan distorsi pasar yang baru atau memperparah distorsi pasar yang ada, sebagaimana yang telah kita rasakan dari dampak kebijakan pembatasan kuota impor terhadap sejumlah komoditas pangan selama triwulan pertama tahun ini, yang dampaknya masih hadir hingga saat ini berupa harga harga bahan pangan rawan inflasi.

Kenaikan harga-harga bahan pangan pada Ramadan diperparah madan diperparah hadirnya ekspektasi inflasi di kalangan pelaku ekonomi dan kenaikan harga-harga input produksi dan transportasi yang disebabkan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni lalu.

Kebijakan proteksi yang bersifat meningkatkan har ga pangan dalam rangka memotivasi petani berproduksi seharusnya tidak diprioritaskan karena dua alasan. Pertama, karena berimplikasi kenaikan inflasi. Kedua, karena struktur pasar komoditas pangan tidak menguntungkan petani yang ingin diproteksi.

Anda perhatikan ada dua struktur pasar yang menghubungi petani dengan konsumen. Pasar pertama ialah pasar di tingkat konsumen rumah tangga. Kebijakan pembatasan impor ataupun penerapan tarif impor akan berimplikasi pada kenaikan harga di tingkat rumah tangga secara langsung karena para pedagang secara mudah mentransmisikan kenaikan harga komoditas pangan tersebut kepada rumah tangga. Namun, apakah kenaikan harga tersebut bisa dinikmati petani secara proporsional? Jawabnya tidak karena struktur pasar di tingkat petani bersifat oligopoli. Ada segelintir tengkulak sebagai pembeli dan sangat banyak petani yang berposisi sebagai penjual.

Dalam struktur pasar demikian, tengkulak ialah penentu harga (price maker) sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen rumah tangga tidak otomatis bisa ditransmisikan secara proporsional kepada petani. Terlebih ketika ada hubungan kelembagaan pasar yang bisa menegasikan kenaikan harga tersebut di tingkat petani, misalnya melalui sistem ijon yang masih umum terjadi pada usaha tani skala kecil dan guram.

Kebijakan proteksi yang sedemikian bisa diambil jika negara juga menghadirkan lembaga penstabil pangan untuk mengantisipasi volatilitas harga. Dengan demikian, harus hadir BUMN logistik untuk sejumlah komoditas pangan penting sebagaimana posisi Bulog di era Orde Baru yang berfungsi sebagai stabilisator harga dan penjaga buffer stock sembilan bahan kebutuhan pokok.

BUMN itulah yang menjemput dan membeli produksi pangan petani dan membelinya dengan harga subsidi pemerintah yang masih menguntungkan petani dan selanjutnya menyimpannya sebagai stok negara. Ketika harga pangan mahal, stok negara itulah yang dilempar ke pasar dengan harga yang lebih murah sehingga stabilisasi harga yang menguntungkan petani dan masih bisa diakses masyarakat tetap terjaga. Kalau hal seperti itu yang ingin dilakukan, tentu berimplikasi pada tekanan APBN yang besar karena semua intervensi tersebut tentulah berbiaya mahal.


Alternatif kebijakan yang tidak rawan infl asi ialah kebijakan proteksi yang ditujukan untuk menekan biaya produksi petani seperti subsidi benih unggul dan sarana produksi, infrastruktur pertanian (seperti irigasi), dan dukungan teknologi best practice agriculture. Dengan demikian walaupun tidak terjadi kenaikan harga output, kebijakan itu tetap dapat memacu produktivitas petani karena biaya produksi mereka menjadi lebih rendah sehingga usaha tani pangan mereka tetap menguntungkan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar