|
KOMPAS,
04 Juli 2013
Pada saat penyusunan APBN, salah satu bagian yang paling
krusial adalah pembuatan asumsi makroekonomi. Bagian ini sangat genting karena
memiliki implikasi terhadap penerimaan negara, besaran belanja, dan alokasi
pengeluaran.
Asumsi makroekonomi yang dibuat itu antara lain pertumbuhan
ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku bunga, harga
minyak, lifting minyak dan gas, kemiskinan, serta pengangguran.
Kekeliruan dalam proyeksi nilai tukar, misalnya, pasti akan berpengaruh
terhadap penerimaan negara (khususnya dari minyak), jumlah subsidi (energi),
dan pembayaran utang (luar negeri). Hal yang sama juga terjadi pada asumsi
makroekonomi lainnya.
Lebih dari itu, proyeksi makroekonomi itu dijadikan panduan
para pelaku ekonomi untuk merencanakan usahanya. Pelaku ekonomi itu (entah di
pasar barang, tenaga kerja, entah uang) menggantungkan sebagian besar
keputusannya pada kredibilitas proyeksi ekonomi pemerintah.
Negosiasi
proyeksi
Persoalannya, kredibilitas proyeksi ekonomi itulah yang saat
ini dipertanyakan kepada pemerintah. Hampir dalam setiap penyusunan asumsi
makroekonomi APBN, deviasi proyeksi dengan realisasi cukup jauh. Pemerintah
bisa berkilah, terdapat faktor yang sulit diantisipasi, seperti krisis ekonomi,
sehingga menjadi faktor pengganggu proyeksi itu. Namun, bila dibandingkan dengan
proyeksi lembaga lain (baik nasional maupun internasional), deviasi proyeksi
dengan realisasi itu amat besar. Lembaga interna- sional/multilateral, seperti
IMF, Bank Dunia, dan ADB, juga mengalami kesalahan dalam membuat proyeksi,
tetapi penyimpangannya tidak sebesar pemerintah.
Dalam soal itu, asumsi makroekonomi yang dibuat Bank
Indonesia lebih bagus meski tak sepenuhnya tepat. Kasus menarik terjadi tahun
ini. Pemerintah membuat asumsi pertumbuhan ekonomi 6,8 persen, tetapi pada
triwulan I-2013 hanya terealisasi 6,02 persen. Pada tahun lalu, BI membuat
proyeksi pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 6,5 persen, sedangkan Indef 6,3
persen.
Proyeksi yang meleset cukup jauh itu bukan hanya soal
pertumbuhan ekonomi, melainkan juga inflasi, nilai tukar, dan harga minyak.
Implikasi terhadap presisi proyeksi yang rendah itu tentu cukup banyak,
khususnya potensi penerimaan dan belanja negara. Kejadian itulah yang kemudian
membuat pemerintah harus merevisi dan bernegosiasi dengan DPR untuk pembahasan
RAPBN-P setiap tahunnya.
Dalam proses negosiasi itu, dua hal hampir pasti terjadi.
Pertama, prosesnya rumit dan cukup lama, terlebih bila diimbuhi dengan isu
sensitif, seperti kenaikan harga BBM. Proses negosiasi yang lama bukan sekadar
menguras pikiran dan waktu, melainkan juga momentum yang hilang. Kedua,
proyeksi yang dibuat atas proses negosiasi memiliki ruang kesalahan kembali
karena tidak selalu dipertimbangkan dengan kalkulasi teknokratis. Misalnya,
dalam kasus RAPBN-P 2013, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 6,2
persen, tetapi DPR minta 6,5 persen. Akhirnya, kesepakatan dibuat pada angka
6,3 persen.
Asumsi yang baru itu tentu memiliki kredibilitas yang juga
tak meyakinkan. Dengan melihat kinerja pertumbuhan ekonomi triwulan I-2013 yang
rendah, penyerapan anggaran yang buruk, dan ditambah kontraksi ekonomi akibat
kenaikan harga BBM, potensinya pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 6,1 persen.
Itulah yang kemudian membuat Sofjan Wanandi (Ketua Umum
Apindo) tidak percaya lagi dengan proyeksi pemerintah. Dia menyatakan, terserah
pemerintah mau membuat proyeksi berapa pun. Dia lebih percaya dengan kalkulasi
yang dibuat dunia usaha sendiri (detikfinance,
25/6/2013). Apa yang dirasakan Apindo itu, saya rasa, mewakili perasaan
sebagian besar pelaku ekonomi akibat jauhnya jarak antara proyeksi dan
realisasi.
Tentu saja, hal itu menyedihkan karena pada umumnya
pemerintah diharapkan menjadi pemandu kegiatan ekonomi, bukan malah menjadi
pihak yang menyesatkan masyarakat.
Proyeksi
pesanan
Sulit diterima akal sehat bila lunturnya kredibilitas
disebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kementerian Keuangan dan
Bappenas memiliki banyak ekonom hebat yang berpengetahuan ekonomi lengkap
sehingga tak sulit untuk membuat ramalan ekonomi. Apalagi, pekerjaan itu rutin
tiap tahun dilakukan. Dugaan yang bisa diajukan, pembuatan asumsi makroekonomi
yang terlalu optimistis (dalam kasus pertumbuhan ekonomi) disebabkan dua hal.
Pertama, pemerintah ingin membangun suasana optimisme kepada
seluruh pelaku ekonomi/masyarakat sehingga kinerja ekonomi yang terealisasi
sesuai dengan yang ditargetkan. Kedua, mungkin saja para ekonom di kementerian
itu sudah membuat asumsi pertumbuhan ekonomi yang realistis sesuai dengan
kaidah analisis ekonometrik. Namun, harapan menteri atau Presiden agar pertumbuhan
ekonomi bisa lebih tinggi membuat proyeksi itu diubah sesuai dengan pesanan.
Apa pun yang terjadi, saat ini penting bagi pemerintah
mengembalikan kredibilitasnya, yang sebagian dimulai dari penyusunan proyeksi
ekonomi. Ada dua cara yang bisa dipilih. Pemerintah meneruskan tradisi sebagai
pembuat proyeksi asumsi makroekonomi, tetapi dengan menempatkan analisis
teknokratis sebagai satu-satunya sandaran. Tak diperkenankan faktor lain:
memberikan harapan semu kepada pelaku ekonomi atau menyantuni pesanan,
memengaruhi penentuan proyeksi ekonomi.
Atau, pemerintah melimpahkan pembuatan proyeksi makroekonomi
kepada pihak lain. Kanada menyerahkan proyeksi ekonomi kepada sektor privat, AS
dilakukan oleh Congressional Budget
Office, Australia diberikan kepada para ekonom, dan Cile memberikan kuasa
kepada NGO’s untuk memfasilitasi pertemuan panel ahli.
Terserah pemerintah memilih yang mana, tetapi harus
dipastikan, proyeksi itu lebih realistis dan tidak manipulatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar