|
KOMPAS,
04 Juli 2013
Pemberian uang cuma-cuma kepada
orang miskin beberapa kali disajikan pemerintah selama hampir satu dekade
terakhir. Bedanya, kontroversi bantuan langsung itu pada masa lalu terpaku pada
kekagetan moral lantaran rakyat menyukai status miskin demi menerima proyek
recehan. Sementara kontroversi kali ini berkutat pada rendahnya kesahihan data
orang miskin di lapangan.
Gejala kesalahan data telah
terindikasi sejak awal dipublikasikan pada tahun 2012. Pemerintah daerah di
Aceh, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara telah menyampaikan
keheranan atas pengurangan penerima beras untuk rakyat miskin (raskin) berbasis
data kemiskinan terpadu dari Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Data
terpadu
Kesalahan data waktu itu tertutupi
lantaran pemerintah daerah yang kaya-kaya itu menambahkan proyek bantuan sosial
bagi orang miskin di luar data BPS-TNP2K. Namun, kini borok telah terbuka
lebar. Kesangsian atas data kemiskinan meruak. Bahkan, ada pemerintah daerah
yang menunda dan membatalkan pembagian uang karena terbayang konflik dengan
rakyat yang tidak kebagian kartu penerima bantuan.
Ironisnya, titik nadir kepercayaan
justru mencuat saat data kumulasi rumah tangga dan individu miskin, baik
laki-laki maupun perempuan miskin, tersaji secara gamblang di internet
(http://bdt.tnp2k.go.id). Tinggal klik untuk memunculkan informasi hingga
sedetail kecamatan. Ditambah pula fasilitas peta dan grafis untuk tiap kriteria
kemiskinan. Orang miskin dihitung menurut rendahnya kepemilikan rumah, jumlah
anggota rumah tangga, dan status pekerjaan.
Sayang, kini telah diketahui
kelemahan fatal, yaitu luput menyediakan data tervalidasi yang mutakhir. BPS
menjelaskan bahwa sumber data bantuan langsung awalnya diperoleh dari 40 persen
rumah tangga dengan skor terendah berbasis Sensus Penduduk 2010.
Super
dinamis
Sensus ke rumah tangga terbawah
lalu dilakukan pada tahun 2011. Selanjutnya, TNP2K menyusun model untuk
menentukan peringkat 10 persen, 20 persen, dan 30 persen rumah tangga terbawah
seluruh Indonesia. Dan, seperti kita ketahui bersama, tahun berikutnya banyak pemerintah
daerah mengajukan keberatan!
Keberatan akan data kemiskinan
perlu diterima. Dalam suatu diskusi pada akhir November 2012, presentasi TNP2K
mencuatkan, efektivitas bantuan bagi anak sekolah ternyata hanya 5 persen dari
keseluruhan kebutuhan orang miskin. Data kemiskinan terpadu ciptaan TNP2K
tersebut juga cuma mencakup sebanyak-banyaknya 30 persen orang miskin penerima
raskin, uang cuma-cuma, dan jaminan kesehatan.
Dipaparkan pula, dalam setahun
(kasus 2008 dan 2009) terdapat 53 persen penduduk miskin yang terentaskan.
Sayangnya, kantong kemiskinan ganti diisi 22 persen penduduk yang semula hampir
miskin (kategori 20-30 persen rumah tangga terendah) dan 5 persen penduduk yang
semula tidak miskin (kategori di atas 30 persen rumah tangga terendah).
Perubahan data jatuh dan keluar
dari kubangan kemiskinan tersebut super dinamis. Mudah dihitung, ketiadaan
validasi tahunan menurunkan kesahihan data hingga 80 persen. Tak terbayangkan,
pada tahun 2013 telah berselang dua tahun dari sensus orang miskin terakhir.
Validasi
tahunan
Perlu pula dicatat, penghitungan
tersebut menggunakan data hasil sensus orang miskin serupa saat ini. Adapun
data kemiskinan lain yang lebih kerap dipublikasikan BPS berbasis survei
sebagian rumah tangga menunjukkan penduduk miskin berkurang 1 persen antara
2008 dan 2009. Terlalu senjangnya hasil penghitungan antara perkiraan survei
dan sensus yang lebih riil sebesar 23 kali lipat tersebut dapat memupus rapor
hijau pengurangan kemiskinan pemerintah.
Anjloknya kesahihan data sensus
orang miskin hanya dalam periode setahun menginformasikan lemahnya periode
sensus tiga tahunan. Justru, pengumpulan data perlu dilakukan secara tahunan.
Berdasarkan pengalaman pendataan di Indonesia, hal itu tidak bisa dilakukan
melalui sensus dan survei oleh BPS karena berbiaya terlalu mahal. Sebaiknya
tindakan tersebut menjadi tugas sehari-hari birokrasi pemerintah daerah dan
pusat.
Selama berlangsungnya pemberian
uang cuma-cuma tahun ini, sebetulnya terdapat panduan untuk memutakhirkan data
melalui musyawarah di tingkat desa dan kelurahan. Namun, informasi itu terselip
di antara ingar-bingar promosi bantuan langsung.
Lagi pula, tepat pada titik inilah
pertentangan prasangka antara penganut validasi data internal versi BPS-TNP2K
melawan penganut validasi data bersama pemerintah daerah. Kelemahan validasi
internal disangkakan dari kisruh bantuan cuma-cuma tahun ini. Sementara di sisi
lain, pemerintah daerah disangka menambah jumlah orang miskin alih-alih
melakukan validasi data.
Seharusnya, pengalaman sejumlah pemerintah
daerah dengan menambah bantuan sosial untuk menanggulangi kesalahan data
BPS-TNP2K dapat memupus prasangka. Apalagi, jika validasi turut melibatkan
pemerintah setingkat desa dan kelurahan yang kini masih efektif dikontrol Badan
Permusyawaratan Desa dan Dewan Kelurahan sebagai wakil rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar