|
KOMPAS,
16 Juli 2013
Kerusuhan dalam
penjara atau lembaga pemasyarakatan kerap terjadi di banyak negara. Di negara
maju sekalipun, seperti Amerika Serikat, beberapa kasus kekerasan yang mendapat
sorotan cukup serius pernah terjadi.
Kerusuhan di
Penjara Attica (1971) dan Santa Fe (1980) di AS pernah jadi berita utama selama
berhari-hari di berbagai media massa. Di Sri Lanka yang merupakan negara
berkembang, peristiwa seperti itu juga kerap muncul. Seperti
dilansir Kompas beberapa bulan silam, bentrokan pada 10 November 2012
sampai memaksa otoritas setempat mengerahkan tentara elite dengan persenjataan
lengkap untuk meredam kerusuhan yang menelan korban 27 orang tewas dan 43 orang
luka-luka itu.
Beberapa bulan
sebelumnya peristiwa serupa menelan korban luka 25 tahanan dan 4 penjaga. Dua
tahun sebelumnya, bentrokan serupa di penjara Sri Lanka memakan korban luka
lebih dari 50 polisi dan penjaga penjara.
Benih-benih kerusuhan
Kondisi tak
jauh berbeda juga terjadi di Indonesia. Penelitian RF Saragih (1978)
mengungkapkan adanya suatu kejadian di salah satu lembaga pemasyarakatan (LP)
di Indonesia di mana petugas beramai-ramai memukuli terpidana yang mabuk.
Penyelidikan Zainal (1980) mengungkapkan sering terjadinya perkelahian di
antara sesama terpidana yang berebut air yang tak cukup tersedia dalam bak.
Situasi LP yang overkapasitas juga sering menjadi pemicu.
Pada 20 Mei
2013, Wakil Menteri Hukum dan HAM melakukan inspeksi mendadak ke beberapa LP.
Ketika itu isu yang mengemuka hanya terkait ditemukannya fasilitas mewah bagi
para terpidana kasus korupsi. Sidak tersebut sepertinya melupakan masalah utama
di LP-LP Indonesia pada umumnya, yaitu benih-benih konflik yang bisa menjadi
bom waktu sebagaimana terjadi baru-baru ini pada kasus kebakaran dan kerusuhan
di LP Tanjung Gusta, Medan, yang mengakibatkan 200 tahanan melarikan diri.
Kasus kerusuhan
yang terjadi di berbagai LP, baik di dalam maupun di luar negeri, sejatinya tak
terlepas dari adanya frustrasi laten di kalangan narapidana. Sebagaimana
diketahui, dalam ”dunia kecil” tersebut mereka kehilangan hak menentukan nasib
sendiri dan rasa aman. Terkadang kerusuhan meletup karena dipicu masalah
sederhana. Seperti pernah terjadi di LP Idi Rayeuk, Aceh Timur, 13 Februari
2012, yang diduga karena petugas LP tak memberikan tambahan nasi. Setali tiga
uang, kasus LP Tanjung Gusta juga berawal dari masalah sepele.
Penjara atau LP
itu sendiri pada hakikatnya tempat pembinaan bagi mereka yang melakukan tindak
pidana atau kejahatan. Para terpidana juga manusia biasa. Selain untuk
keamanannya, mereka ditempatkan di LP juga untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya dengan menjalani hukuman di tempat tersebut. Namun, mengingat
kondisi LP yang terkadang jauh dari ideal dan rasa aman, sasaran pembinaan
mengalami kendala serius. Kondisi inilah yang menimbulkan benih-benih konflik
sebagaimana terjadi di LP Tanjung Gusta. LP yang berkapasitas 1.054 orang ini
dihuni sekitar 2.660 tahanan dan napi.
Kriminolog
Gresham M Sykes menggambarkan para terpidana dalam LP sebagai orang yang
kehilangan kebebasan, kehilangan otonomi atas diri sendiri, kehilangan hak atas
kepemilikan dan pelayanan, kehilangan kesempatan berhubungan seksual, dan
kehilangan rasa aman (Nitibaskara, 1999). Situasi ini memunculkan rasa
frustrasi yang kemudian menjadi pemicu konflik.
Diskriminasi dan
kekerasan
Konflik atau
kerusuhan di LP juga bisa dipicu oleh faktor seperti terbatasnya kualitas dan
kuantitas petugas, serta diskriminasi perlakuan antarnarapidana. Kondisi LP
yang tak layak hanya dialami para terpidana pelaku kejahatan jalanan (blue collar crime). Adapun untuk
kalangan kejahatan kelas atas atau kejahatan kerah putih (white collar crime), seperti pelaku tindak pidana korupsi,
kondisinya jauh berbeda.
Ketimpangan ini
bisa menjadi pemicu rasa tidak puas dan kecemburuan sosial. Jika dibiarkan,
akan jadi bom waktu. Hal ini juga yang menjadi pemicu kerusuhan di LP Idi
Rayeuk, Aceh Timur, Februari 2012, dan LP Kelas II A Krobokan, Bali, di tahun
yang sama.
Dalam literatur
kriminologi sendiri, kekerasan di LP umumnya dibedakan menjadi tiga bentuk:
kekerasan individual, kekerasan kolektif, dan kekerasan yang berhubungan dengan
peraturan. Kekerasan individual dapat terjadi di antara sesama narapidana
ataupun dengan petugas LP. Kekerasan kolektif umumnya meletup sebagai kerusuhan
yang merupakan akumulasi ketidakpuasan atas kondisi yang ada. Terakhir,
kekerasan yang berkaitan dengan peraturan LP. Kekerasan ini di mata para
petugas merupakan bagian dari treatment, tetapi bagi terpidana kekerasan
ini pada dasarnya tidak dapat mereka terima.
Dengan demikian,
salah satu langkah penting yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi munculnya
rasa tidak puas menjadi kekerasan dan kerusuhan di masa mendatang, tempat
pembinaan terpidana harus dibuat aman bagi mereka dan petugasnya. Setiap
narapidana harus diperlakukan sama dan adil tanpa pandang bulu.
Dengan begitu
akan tercipta situasi kondusif yang dapat membantu terpidana menjalani hukuman
dan memperbaiki dirinya lebih baik, dan petugas dapat menjalankan tugasnya
sesuai amanat undang-undang. Patut pula dipikirkan untuk melakukan pembatasan
gerak narapidana dalam tahanan, serta pengawasan dan perekrutan terhadap
petugas secara menyeluruh dan konsisten.
Tak kalah
penting, langkah di atas juga harus didukung oleh salah satu faktor utama,
yaitu komunikasi efektif. Langkah yang disebut terakhir ini dapat berfungsi
sebagai katup penyalur dan pengamanan terhadap situasi dan kondisi lingkungan
LP. Komunikasi antara petugas dan terpidana perlu dipelihara sehingga segala
bentuk bibit-bibit penyimpangan, konflik, rasa tidak puas, hingga niat untuk
melarikan diri dapat diredam. Dengan demikian, sasaran LP dapat terwujudkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar