|
KOMPAS,
05 Juli 2013
Akhirnya, Dewan Agung Militer (SCAF) mengeluarkan putusan
perihal berakhirnya masa jabatan Muhammad Mursi sebagai presiden Mesir. Hal itu
sesuai dengan ultimatum SCAF dua hari sebelumnya agar Mursi memenuhi tuntutan
rakyat melaksanakan pilpres dini. Jika tidak, militer akan mengambil langkah
politik menyusun peta jalan masa depan Mesir melalui kudeta.
Hingga batas waktu yang ditentukan, Mursi tak merespons
tuntutan rakyat. SCAF pun tak punya pilihan lain, kecuali kudeta dengan
menggunakan mandat revolusi rakyat Mesir. Mandat itu berasal dari petisi mosi
tak percaya dan pembangkangan (al-tamarrud)
terhadap rezim Mursi dan Ikhwanul
Muslimin (IM). Gerakan itu diprakarsai kaum muda revolusi yang memandang
pemerintahan Mursi melenceng jauh dari cita-cita revolusi: hidup layak (’aisy), kebebasan (hurriyyah), kemanusiaan (karamah
insaniyyah), dan keadilan sosial (’adalah ijtima’iyyah).
Dalam memimpin Mesir, Mursi―, dianggap oleh kaum muda, hanya
memikirkan kelompoknya, IM, yang hampir memonopoli jabatan politik dan kantong
ekonomi. Terakhir, Mursi mengangkat sejumlah gubernur dari kalangan IM sehingga
menimbulkan kemarahan di sejumlah provinsi. Kaum muda yang tak berafiliasi
dengan IM hampir dipastikan tak mendapatkan tempat yang layak. Karena itu,
Mursi dipandang sebagai presiden yang tidak mampu mengemban amanat revolusi
serta memupus cita-cita dan masa depan kaum muda.
Gerakan pembangkangan itu sebenarnya sudah bergerak lama,
sekitar tiga bulan terakhir. Mereka memulainya dengan mengalahkan para kandidat
IM di pemilihan senat di sejumlah perguruan tinggi Mesir. Selama ini, IM selalu
merajai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan kampus. Namun, kepemimpinan
Mursi yang hanya mengedepankan kepentingan kelompoknya membangkitkan kesadaran
di kalangan kaum muda untuk menaklukkan basis-basis IM di lingkungan kampus. Kaum
muda revolusi hampir memenangi setiap pertarungan kepemimpinan di lingkungan
kampus sehingga mereka punya energi positif melanjutkan perlawanan terhadap IM.
Dalam waktu relatif singkat, kaum muda revolusi mengumpulkan
22 juta tanda tangan, melebihi target maksimal 15 juta tanda tangan. Hal itu
yang memantapkan mereka menjadikan momentum satu tahun pemerintahan Mursi pada
30 Juni sebagai saat yang tepat memberikan ”kartu merah” kepada Mursi dan IM.
Demonstrasi
terbesar
Sebagaimana kita cermati, demonstrasi pada 30 Juni merupakan
yang terbesar dalam sejarah revolusi Mesir dan menjadi bukti kuat, rakyat Mesir
menghendaki agar revolusi jilid dua dapat diwujudkan dengan mendesak Mursi
melakukan pilpres dini. Menurut Alaa Aswany, aktivis dan analis politik Mesir,
di harian al-Mashry al-Youm,
langkah meminta Pilpres dini bersifat demokratis mengembalikan cita-cita
revolusi kepada relnya. Petisi al-tamarrud merupakan
fakta yang tak bisa diabaikan bahwa Mursi dan IM sudah kehilangan kepercayaan
dari publik.
Karena itu, al-tamarrud merupakan
murni gerakan perlawanan yang diinisiasi anak muda. Sebagaimana revolusi 25
Januari 2011 yang diprakarsai Wael Ghanim, al-tamarrud juga dipimpin anak muda yang merasa tak punya masa
depan cerah di bawah rezim Mursi dan IM.
Pada awalnya, IM cenderung meremehkan gerakan ini karena
memang tak punya kaki-tangan politik dari pihak oposisi. Mereka bergerak dalam
senyap dan mendapat kepercayaan publik yang sangat luar biasa, yang merasa tak
punya harapan pada pemerintahan Mursi. Maka, analisis yang menyatakan
tumbangnya Mursi akibat perseteruan antara kubu Islamis dan kubu Liberal sama
sekali tak benar. Tumbangnya Mursi semata-mata karena Mursi mengabaikan harapan
kaum muda dan rakyat Mesir pada umumnya yang telah berkorban dengan nyawa dan
harta melengserkan rezim Hosni Mubarak.
IM lupa, kemenangan Mursi dalam pilpres putaran kedua bukan
hanya karena dukungan dari IM dan Salafi, melainkan juga kubu liberal dan
sosialis yang memandang memilih Mursi sebagai presiden lebih tepat dalam
mewujudkan cita-cita revolusi daripada Ahmad Syafiq yang didukung sepenuhnya
oleh antek-antek Hosni Mubarak.
Dilema
IM
Kudeta militer tak bisa dilepaskan dari dilema internal IM.
Sebagai penguasa, IM tak cermat mendengarkan dan melakukan dialog dengan pihak
oposisi. Dari waktu ke waktu, dalam satu tahun terakhir, IM kerap melakukan
manuver politik yang sebenarnya tak perlu. Dekrit presiden yang memberikan
otoritas absolut kepada Mursi membangkitkan curiga di pihak oposisi dan rakyat
Mesir pada umumnya: Mursi ingin menjelma sebagaimana Hosni Mubarak. Belum lagi,
konstitusi yang sebenarnya masih prematur dipaksakan untuk dilakukan
referendum. Maklum, Mursi masih berkeyakinan menang karena kaum Salafi masih
setia mendukung IM.
Yang paling mencolok, dan ini yang merupakan klausul penting
dalam gerakan al-tamarrud,
menolak ”Ikhwanisasi Mesir”. Mursi, secara pribadi, orang baik dan kapabel,
tetapi tekanan yang kuat dari elite IM (maktab
al-irsyad), khususnya Muhammad Badi dan Khayrat el Shater, menyebabkan
Mursi mengabaikan suara lain dari lingkarannya. Maka, tak ayal kaum muda
melampiaskan kemarahannya: membakar kantor pusat IM di Moqattam dan beberapa
kantor cabang.
Sebenarnya, jika IM mau memenuhi tuntutan demonstrasi pada 30
Juni, militer tak punya alasan melakukan kudeta. Mursi dengan jantan mesti
menerima tuntutan menggelar pilpres dini sehingga demonstrasi bisa terhenti dan
rakyat kembali ke rumah. Namun, Mursi justru menuduh demonstrasi yang
diprakarsai kaum muda itu sebagai demonstrasi bayaran dari rezim Mubarak. Hal
inilah yang menyebabkan 17 juta rakyat Mesir turun ke jalan meneriakkan
yel-yel irhal... irhal..., yang
berarti lengser.
Puncak dilema kaum Islamis, tidak terkecuali IM, adalah
absennya ideologi kebangsaan dalam langgam politik mereka. Menurut Hazem
Shaghiya dalam al-Inhiyar al-Madid:
al-Khalfiyyah al-Tarikhiyyah li
Intifadhat al-Syarq al-Awsath al-’Araby, masalah serius kaum Islamis:
menguatnya ideologi agama, anti-impreslisme, dan absennya nasionalisme.
Tak diragukan lagi, masalah utama IM adalah kerap kali
mengeksploitasi agama di dalam politik. Karena itu, yang menonjol adalah
kepentingan kelompoknya daripada kepentingan rakyat banyak. Bahkan, menurut IM,
hanya merekalah yang paling ”islami”, sedangkan kubu lain dianggap ”kafir”.
Untuk membela jabatan Mursi, mereka pun selalu menggunakan istilah ”membela
konstitusi dan syariah”.
Kudeta militer harus diakui dapat membawa preseden buruk bagi
demokrasi yang sedang bersemi di Mesir. Namun, sebagaimana disampaikan Grand
Syaikh al-Azhar yang mendukung sepenuhnya langkah militer, kudeta adalah
pilihan yang paling kecil resikonya (akhaffu
al-dhararayn) dalam rangka melanjutkan cita-cita revolusi.
Kini, rakyat Mesir harus memonitor dan mengontrol kekuasaan
militer sebagaimana komitmen mereka menggelar pilpres dini, amandemen
konstitusi, dan rekonsiliasi nasional, termasuk melibatkan kembali IM dalam
panggung politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar