|
KOMPAS,
07 Juli 2013
Saya bingung. Lantaran sejak Adam
dan Hawa, identik dengan keberadaan manusia: tubuh, dan terutama tubuh wanita.
Bingung juga karena masalah itu kini hadir di tengah keluarga saya yang
terbelah. Bayangkan!
Di satu pihak terdapat putri saya
yang remaja; dia suka memakai shorts alias celana pendek yang
memperlihatkan, kata kaum macho, ”pahanya yang mulus”. Kepada siapa pun yang
mengkritiknya karena ”tidak sopan, tidak
pantas bagi wanita yang baik-baik” dan sebagainya, dia membalas dengan
lugas: ”This is my body”. Saya
yang punya tubuh. Wah, pengaruh kaum Femen tidak jauh; apakah telah meresap di
otaknya melalui Youtube, saya tidak tahu, tetapi apa pun halnya, tak tersangkal
si bungsu itu jelas-jelas feminis.
Di lain pihak, dan bertolak
belakang dengannya, terdapat menantu saya dari Singapura: busananya
bukan shorts, tetapi cadar. Jadi, pria yang bukan muhrimnya tidak boleh
berbagi ruangan apa pun dengan dia. Saya sebenarnya cukup beruntung sebagai
mertua, oleh karena berada di dalam posisi untuk mengetahui bahwa menantu itu,
selain manis, juga sangat ramah, berbudi baik dan bahkan toleran pula. Tetapi
wacananya di seputar tubuh bertolak belakang dengan iparnya yang kecil:
alih-alih berkata: ”This is my body”,
seperti si bungsu, dia menyiratkan dalam busananya: ”this is His body (ini tubuh-Nya) but this is also my
choice” (dan itulah pilihanku). Jadi dia mengacu pada nilai-nilai
Illahi sebagai penentu busana, sedangkan iparnya mengacu pada individualisme
modern! Yang mana yang benar?
Saya orang yang kurang berpendirian, maka tidak
tahu! Netral. Cuma tak ayal pertarungan di seputar posisi tubuh wanita itu kini
menjadi menu keluarga saya. Masih untung istri saya menempati posisi tengah:
dia tidak pakaishorts. Tetapi, sebagai dosen di sebuah universitas, dia juga
tidak enggan memperlihatkan rambutnya pada siapa pun. Dua puluh tahunan yang
lalu, itulah yang membuat saya jatuh cinta kepada dia, dengan hasilnya si
bungsu tadi! Para penyair pasti memahami.
Boleh jadi nasib saya di atas
adalah hasil dari kompleksitas lapis-lapis identitas yang membebani saya,
tetapi hal itu juga mencerminkan pertarungan nasional dan global di seputar
makna tubuh dan nilai-nilai moral terkait, kalau memang ada.
Busana
Tubuh dan busana, yang dulu kala
tak lebih dari ”kenyataan kultural”
yang banal, kini menjadi ”pernyataan identitas” dan bahkan politik. Payudara
para aktivis Femen yang bertelanjang dada secara provokatif di katedral Paris
atau di depan pengadilan negeri Tunis ”berbahasa”
lain dari pada payudara terbuka wanita Papua di pedalaman atau wanita Bali
zaman dulu. Sang wanitalah yang mempunyai kuasa akhir atas tubuhnya, kata
mereka–bukan pria, bukan adat pula. Jadi tubuh mereka dijadikan bendera anti
patriarki. Para wanita Papua dan Bali sebaliknya bertelanjang dada secara ”alamiah”, tanpa maksud apa pun.
Demikian pula, mengenakan cadar di Qatar bermakna lain dari pada bercadar di
Paris. Di Qatar, bersifat adat. Di Paris cadar merupakan pernyataan agama kaum
minoritas.
Situasi tambah runyam lagi oleh karena ”sign/tanda” yang sama–katakanlah dada terbuka atau busana
tertentu—kerap diberikan berbagai tafsir yang bertentangan satu sama lainnya.
Para aktivis Femen dicap ”porno”. Ada
pun wanita berjilbab yang bercelana ketat, boleh jadi hendak menyampaikan pesan
”ketaatan agama”, tetapi dicap ”terlampau dipengaruhi Barat” di Qatar
dan Saudi Arabia. Otaknya ”religius”,
tapi pinggangnya ditafsir ”sekuler”
dan kebarat-baratan.
Jadi tubuh wanita dijadikan ajang
pertarungan kekuasaan: antara kedua ”jender”–pria dan wanita; antara dua
pengertian negara yang berbeda–religius dan sekuler; dan antara kebudayaan
–Islam atau ”Timur” lawan ”Barat”. Kenapa kompleksitas tersebut?
Karena kami, para pria, amat sulit memandang wanita sebagai ”person”. Kami cenderung memandangnya
sebagai tubuh. Apakah untuk diidealkan atau dilindungi, tetapi selalu untuk
dikuasai secara riil atau simbolis!! Patriarki menghinggapi pikiran kami. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar