|
KOMPAS,
23 Juli 2013
Meskipun rakyat adalah pemegang
kedaulatan tertinggi, ternyata tidak mudah rakyat Indonesia menjadi pemenang
tulen pada Pemilihan Umum 2014. Bahkan pesta demokrasi sebagai festival yang
seharusnya merayakan kedaulatan rakyat dihantui oleh sikap skeptis dan apatisme
publik terhadap faedah dan kemaslahatan pemilu.
Penyebab utamanya adalah tingkat kepercayaan
rakyat terhadap lembaga politik dan negara semakin merosot. Rendahnya
keterandalan lembaga-lembaga tersebut dipertegas dengan beberapa survei
akhir-akhir ini. Indikatornya, potensi pemilih yang menyatakan belum tahu atau
tidak memilih berkisar 30 persen sampai 40 persen.
Bahkan pada beberapa kasus pilkada
kepala daerah, proporsi kemenangannya lebih kecil dibandingkan dengan mereka
yang tidak memilih (golput), misalnya Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Namun, yang tidak kalah memprihatinkan adalah apatisme di kalangan pemilih muda
yang jumlahnya sekitar 30 juta orang. Proporsi mereka yang tidak peduli
politik, dan pemilu pada khususnya, diperkirakan sangat besar. Tanpa usaha
serius memberikan advokasi kepada mereka, dikhawatirkan generasi muda akan
kedap terhadap masa depan nasib bangsa dan negaranya.
Partai politik, sebagai sumber daya
manusia yang menyediakan penguasa untuk mengelola kekuasaan negara, lebih
mengesankan menampilkan diri sebagai sosok pemangsa kekayaan negara daripada
”insan” yang punya empati tinggi terhadap derita rakyat. Getaran yang dirasakan
oleh publik, orientasi politisi hanya fokus kepada pesona kekuasaan. Mereka
mengabaikan prestasi yang seharusnya diukir melalui kerja keras yang memihak
kepada kepentingan rakyat.
Akibatnya, sebagaimana survei yang
dilansir Harian Kompas, Senin, 22 Juli, pemerintahan SBY, tegasnya
Presiden dan kabinet koalisinya, menjelang usai masa kerja semakin lunglai daya
empatinya terhadap kehidupan rakyat yang semakin sulit. Ketidakcakapan negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan akan mengakibatkan modal sosial terkuras habis
disedot oleh para pemangsa kekayaan negara.
Alih-alih mereka mewariskan legasi
yang dapat menjadikan pemegang kedaulatan sebagai pemenang otentik pemilu,
mereka kebanyakan justru berburu gengsi dan menebar citra dengan sejumlah ulah.
Mulai dari mematut diri, berpenampilan perlente, berperilaku santun, ramah,
serta perilaku narsistik dan seronok lainnya. Perilaku mengagumi diri sendiri
tidak jarang disertai imbauan bernada sakral serta mengumbar janji-janji
populis yang dianggap mudah mengelabui publik. Mengumbar nilai-nilai luhur dan
iktikad tanpa keteladanan dan jaminan pelaksanaan hanya akan menjadikan ranah
publik menjadi lautan kemunafikan.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi memang beberapa kali memperingatkan, bahkan geram dan
marah kepada para pembantunya. Pemicunya, mereka dianggap kurang sigap dan
serius menangani masalah mendesak, terlambat memberikan laporan, atau mengantuk
saat mendengarkan pengarahan.
Presiden uring-uringan bukan
tindakan keliru karena perilaku tersebut merupakan bagian dari kodrat manusia.
Namun, sebagai pejabat publik dan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan
mendapat dukungan politik hampir 75 persen di parlemen, Presiden tidak boleh
berhenti pada titik itu. Otoritas politik yang besar menjadi tumpuan harapan
rakyat agar Presiden menggunakan kekuasaannya untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat.
Kegusaran Presiden yang tidak
disertai dengan kebijakan konkret justru akan menimbulkan persepsi kemarahan
tersebut hanya bagian aksesori politik dalam menyusun desain pencitraan. Bahkan
dapat menimbulkan spekulasi Presiden ingin memberikan kesan, dia telah bekerja
keras, tetapi para pembantunyalah yang kurang tanggap dan cakap dalam
menerjemahkan kebijakan umumnya. Dia seakan menarik garis tegas kegagalan
pemerintahan adalah kegagalan pembantunya, bukan Presiden.
Harapan publik kepada pemerintahan
SBY, sisa waktu pemerintahannya seyogianya dimanfaatkan secara maksimal
menggenjot prestasi, bukan berburu gengsi dan menebar sensasi. Agenda tersebut
antara lain niat politik mencari terobosan dan konsensus politik yang dapat
dijadikan jejak awal dan tanda-tanda yang dapat memberikan harapan publik.
Pemerintahan SBY, dengan modal
dukungan lebih dari 60 persen suara, antara lain harus mendorong beberapa
regulasi yang sedang dalam pembahasan di DPR, kalaupun tak dapat diselesaikan
pada akhir masa jabatannya, membangun kesepakatan politik agar
regulasi-regulasi tersebut benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat.
Misalnya, RUU yang berkaitan dengan regulasi politik, seperti RUU Pilpres, RUU
Pilkada, RUU Desa, Revisi UU Nomor 32/2004 tentang Pemda, Revisi UU Nomor
21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, agar menghasilkan pemerintahan yang efektif,
demokratis, dan bebas korupsi politik.
Upaya ini sekaligus kesempatan para
kandidat anggota DPR, yang sebagian besar adalah petahana dan mendapatkan rapor
merah dari publik, dengan spirit pertobatan, memperbaiki citranya bukan melalui
penampilan, melainkan dengan komitmen mereka kepada kepentingan publik.
Khususnya kepada Presiden, agenda tersebut dapat dijadikan karya besar (magnum opus) dan diwariskan ke
pemerintahan yang akan datang dan masyarakat pada umumnya. Momentum bulan suci
Ramadhan ini, sangat tepat waktunya para elite politik melakukan tapa
ngame, mengendalikan nafsu dan bekerja keras untuk rakyat. Perburuan gengsi bau
terasi harus segera diakhiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar