|
SINAR
HARAPAN, 19 Juni 2013
Kita
tidak memiliki data mengenai profil para politikus kita. Misalnya, siapa
mereka, sekolahnya apa, apa latar belakang ideologi mereka—kalau mereka memang
punya ideologi—dari keluarga macam apa mereka berasal, mengapa mereka memilih
dunia politik sebagai karier, adakah pilihan lain, dan aspirasi politik macam
apa yang mereka miliki. Ini pun jika mereka suatu aspirasi politik tertentu.
Perlu
juga diketahui, bagaimana wawasan mereka mengenai politik. Apa yang mereka
ketahui mengenai tokoh-tokoh besar di dunia politik, dan bagaimana pandangan
dan sikap mereka terhadap orang-orang besar tersebut?
Bagaimana
mereka memandang politik sebagai jalan perjuangan di negeri yang secara
kebudayaan bersifat pluralistik seperti negeri kita ini? Gagasan apa yang ada
di benak mereka ketika mereka menyadari keruwetan, misalnya di dalam
politik-keagamaan, yang cenderung tampak menegangkan, dan mematikan hak-hak
kelompok lain yang tak sejalan dengan sikap dan pandangan keagamaan tertentu?
Tidak
kalah penting, harus ditanyakan pada mereka, bagaimana sikap dan pandangan
mereka mengenai agama, yaitu dunia moral, sejarah, etika, dan teladan agung
kehidupan, diperhadapkan dengan kenyataan hidup yang ruwet, penuh tekanan dan
ketidakadilan ekonomi, politik maupun kebudayaan. Apa peran agama dalam kondisi
kehidupan seperti ini?
Lebih
mendasar lagi, bagaimana menerjemahkan makna agama di dalam hidup, agar agama
sungguh-sungguh memiliki peran penting untuk membentuk suatu bangsa yang
memiliki keteguhan moral, dan membuktikan bahwa manusia yang berpegang teguh
pada suatu agama, tak mungkin menyimpang dari garis-garis ajaran luhur?
Dengan
kata lain, pertanyaan ini ingin menegaskan bahwa agama tidak bisa
dimain-mainkan, hanya menjadi sekadar nama sebuah partai, dan sekadar “dijual”
murah untuk menarik pengikut, dan dalam kehidupan sehari-hari agama kelihatan
begitu mudah disimpangkan.
Selebihnya,
pertanyaan ini bermaksud menggali jawaban mengenai ketulusan bergama dan
berpolitik, untuk membangun moralitas politik yang beneran, yang memihak
keluhuran moral yang ditetapkan Tuhan di dalam kitab-kitab suci, dan secara
riil, ada kesungguhan membela kepentingan rakyat.
Apakah
para politikus kita pernah terganggu oleh kegelisahan mengenai betapa rendahnya
cara kita memperlakukan apa yang ideal, sebagaimana tampak di dalam
praktik-praktik kotor dunia politik kita?
Mungkinkah
mereka sama sekali tak peduli akan kenyataan memalukan, ketika para tokoh
politik yang berhaluan agama, justru berada di garis depan dalam penyimpangan
moral, dan menghancurkan ekonomi bangsanya sendiri?
Suatu
jenis protes moral seperti apa yang ada pada para politikus kita begitu mereka
menyadari bahwa tokoh politik berhaluan agama justru tampak menyolok—dan
kelihatannya tidak merasa malu—melacurkan prinsip moral, yang di dalam ibadah
kelihatannya dijunjung tinggi?
Kemudian
secara khusus, adakah di kalangan politikus yang berhaluan keagamaan, suatu
kesadaran bahwa agama telah dilacurkan secara terbuka di dalam politik, oleh
para politikus maupun oleh para agamawan, yang serakah dan tak mengenal lagi
sikap “zuhud” yang sering mereka khotbahkan?
Kelihatannya,
para politikus kita—bahkan termasuk politikus berhaluan keagamaan—tak peduli
sama sekali melihat kenyataan mengenaskan macam itu.
Tak
ada pemikiran kritis, bahwa berhubung para agamawan sendiri juga ikut
melacurkan agama maka sebaiknya diadakan suatu protes, agar mereka belajar dari
khotbah-khotbah mereka sendiri. Kalau para agamawan tak pernah belajar atau
menghargai khotbah mereka, maka mana mungkin orang lain disuruh menghargainya?
Selebihnya
mungkin bagus jika agamawan-agamawan yang ditandai terlalu serakah dan
menggunakan kekuatan keagamaan untuk memperkaya diri, harus dihukum sebagai
bukan lagi agamawan. Adakah sikap politik seperti ini di kalangan umat, yang
konon cerdas dan paham akan makna agama sebagai kekuatan protes?
Kalau
kesadaran macam ini terbentuk, mungkinkah ada suatu sikap, bahwa pada suatu
saat, dalam suatu khotbah agama, para jemaah bubar total karena tak mau
mendengar kemunafikan dikhotbahkan?
Kalau
kesadaran dan tindakan ini masih tak mungkin muncul di masyarakat kita, kita
turut secara terbuka menelantarkan agama. Kecuali itu kita juga turut
menyuburkan penyimpangan di dalam kehidupan seolah penyimpangan itu barang
biasa, seperti kita saksikan saat ini.
Sikap
terhadap para politikus dari kalangan keagamaan yang serakah, korup, dan
berlebihan menikmati kekayaan hasil korupsi? Rakyat harus melawan. Dia mungkin
golongan kita, teman kita, tapi kita tak peduli. Kita bukan memihak teman,
bukan memihak golongan, melainkan memihak nilai, yakni keindonesiaan. Mungkin
juga keadilan; mungkin juga kemanusiaan. Di sana wilayah perjuangan kita.
Persetan
dia kawan. Persetan dia orang yang sehaluan dengan kita. Ketika dia korup, kita
sudah tidak sehaluan lagi. Ketika dia menyimpangkan prinsip moral, siapa bilang
dia masih kawan kita? Jika kawan sudah bukan lagi kawan, maka para koruptor
akan berpikir ulang. Tapi jika seorang yang sudah dianggap korup dan ada
tanda-tanda bahwa anggapan itu benar, maka membelanya berarti membela kejahatan
dan kita, yang membela itu, juga penjahat.
Kejahatan
akan hancur, jika penjahatnya merasa dunia sudah tak lagi mengampuninya.
Kawan-kawan sudah menjauh. Orang satu partai tak lagi bersedia berkomunikasi
dan berbagi dalam suka duka kehidupan.
Dunia
sudah tertutup baginya. Jika ini yang terjadi, jelas bahwa kita membela
tegaknya harga diri partai, harga diri ketua partai, harga diri kawan-kawan,
dan harga diri kita sendiri. Dengan begitu, kita mengubah rendahnya moralitas
politikus kita yang memalukan ini. Tak ada orang lain, atau bangsa lain, yang
bakal mau melakukannya, kecuali kita, dan hanya kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar