|
SINAR
HARAPAN, 20 Juni 2013
Dewasa ini kita sedang memasuki abad digital dan
penerbangan ruang angkasa. Namun ada yang berusaha memutar jam sejarah kembali
ke masa sebelum abad pertengahan dengan menjadikan santet sebagai suatu
perbuatan pidana atau kejahatan.
Kemudian ada anggota DPR yang mau melakukan ”studi santet”
(?) ke Eropa. Sepanjang yang saya ketahui, santet hanya jadi problematika hukum
di beberapa negara di Afrika dan di Kanada.
Bila
santet mau dijadikan suatu perbuatan pidana, pertama-tama bagaimana merumuskan elementen (unsur) dan atau bestanddelen (bagian yang menentukan)
menurut Prof Vrij kalau itu menyangkut santet, terlepas dari melatih kepolisian
untuk menentukan ada tidaknya unsur-unsur perbuatan pidana santet.
Yang
mengherankan saya dari hubungan kausal secara kriminologis dan viktimologis,
mengapa si peminta/penganjur yang mendatangi tukang santet juga tidak ikut
dituduh atau dipidana sebagai medepleger
atau pelaku peserta.
Hal
ini mengingatkan saya kepada larangan mengemudi mobil di jalan tertentu pada
jam-jam tertentu. Yang ditindak polisi ternyata bukan pengemudi/pemilik mobil,
melainkan mereka yang mencari uang dengan cara halal yang menyediakan diri
sebagai ”penumpang gelap” untuk beberapa ribu rupiah. Secara mutatis mutandis
itu juga berlaku untuk peminta agar orang tertentu disantet yang tidak
dipidana, melainkan tukang santet yang dipidana.
Kalau
santet itu benar, mengapa para koruptor dan pelaku/penjual narkoba tidak
disantet saja sebagai jalan pintas. Sesungguhnya kalau dikaji secara
kriminologis-viktimologis, problematika santet itu pada dasarnya hanyalah
problematik ”penipuan” belaka. Bagi rakyat di akar rumput yang telanjur percaya
pada soal-soal gaib, termakan isu balas dendam tanpa alasan rasional medis.
Problematika
“kumpul kebo” adalah masalah setua budaya manusia. Di era primitif orang tidak
mempersoalkan kumpul kebo, kecuali aturan-aturan tidak tertulis yang menyangkut
adat tata tertib sosial kultural.
Di
kala manusia mulai membangun komunitas dengan skala nilai sosial, aspek budaya
dan faktor struktural masyarakat, orang mulai membedakan antara berzina,
melacurkan diri, dan fornication.
Ketika orang mulai menata norma hukum, berzina adalah istilah yang mencakup
semua hubungan seksual yang tidak sah, baik yang sudah menikah atau yang belum.
Orang
membedakan overspel, yaitu yang sudah
menikah, lelaki atau perempuan, dengan yang belum atau sudah menikah dalam hal
hubungan seksual yang tidak sah/resmi.
Beberapa
abad yang lampau sampai sekarang, pelacuran dikenal sebagai bagian dari
upacara/ritual “agama” tidak dalam arti seperti sekarang. Kini pelacuran
dimaknai macam-macam termasuk gratifikasi seksual oleh KPK. Adapun fornication
adalah hubungan seksual yang berlawanan seks atas dasar suka sama suka dari
mereka yang belum kawin/menikah.
Dalam
pengertian baku menurut agama mana pun, semua hubungan seksual yang tidak
sesuai dengan ritual dan ketentuan-ketentuan agama dilarang. Lalu mengapa
orang-orang yang terpelajar dan beragama resmi melakukan hubungan seks
terlarang? Itu soal yang tidak akan dibahas di sini.
Namun
bila ada yang mau memakai hukum pidana untuk menegakkan norma agama maka itu
soal lain dan ini bukan negara agama. Apalagi kalau ada adat-adat tertentu yang
mengizinkan ”kumpul kebo” untuk maksud-maksud tertentu di Indonesia.
Mereka
yang tidak mampu untuk menyelenggarakan upacara perkawinan, adalah
diskriminatif kalau dipidana dengan dalih kumpul kebo. Masyarakat yang belum
mengenal aksara tetapi tunduk pada “sobural” adat jangan dipidana dengan dalih
kumpul kebo.
Pejabat
Daerah yang “kawin” entah dengan alasan atau dalih apa pun dan beberapa hari
kemudian “menceraikan” istrinya itu, apakah juga mau diklasifikasi sebagai
kumpul kebo atau sebagai apa? Di Jakarta, menurut gosip banyak pejabat kumpul
kebo dengan nama mentereng berselingkuh. Sesungguhnya itu juga suatu bentuk
pelacuran terselubung.
Kata
orang Belanda: Hoe groter geest, hoe
groter beest. Artinya makin tinggi status sosial atau makin pandai orang
itu, makin tinggi kebinatangannya. Van Hamel, Guru Besar Hukum Pidana Belanda
sebelum Perang Dunia II menulis (vide
disertasi Sahetapy, 1978): Door
slechte strafwetten kan het zedelijk leven van een volk worden vergifigd, de
vrijheid gedood, de veiligheid vernietigd, de onschuld geofferd worden.
Artinya:
melalui undang-undang pidana yang jelek maka kehidupan kesusilaan rakyat
(dapat) diracuni, kebebasan dimatikan, keamanan dihancurkan, yang tidak
bersalah dikorbankan. Camkan dan renungkan dengan etik yang bermoral! Jangan
sampai buruk muka, cermin dihancurkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar