|
MEDIA
INDONESIA, 19 Juni 2013
SETELAH publik terlibat pro-kontra
tentang diskursus penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selama hampir
sebulan, kini teka-teki tersebut mulai terjawab ketika mayoritas fraksi dalam
rapat Badan Anggaran DPR pada 15 Juni 2013 yang disahkan sidang paripurna pada
17 Juni 2013 menyepakati penaikan harga BBM bersubsidi. Tak ayal lagi,
kebijakan tersebut kontan menimbulkan reaksi secara beragam dari dalam atau di
luar parlemen. Tiap-tiap partai politik baik pro maupun kontra pada penaikan
harga BBM menggunakan momentum tersebut untuk menebar pesona dengan menjual isu
populisme sebagai manuver pencitraan jelang pesta demokrasi 2014.
Pada level anatomi psikologi publik, penaikan harga BBM
selalu lekat dengan sikap resistensi. Argumentasi yang melatarbelakangi
resistensi publik terhadap diskursus penaikan harga BBM mengacu
sekurang-kurangnya pada enam logika sederhana.
Pertama, iming-iming pembangunan infrastruktur dan
peningkatan fasilitas kesejahteraan yang diambil dari dana subsidi BBM kurang
lebih Rp250 triliun, tak lebih hanyalah retorika kamufl ase penguasa. Pengalaman
menunjukkan bahwa sudah sekian kali harga BBM dinaik kan dengan dalih serupa,
selama itu pula penguasa tidak pernah mampu mewujudkan komitmennya. Pembangunan
infrastruktur ataupun fasilitas kesejahteraan yang diwujudkan tidak ada yang
signifikan sebagaimana yang digembargemborkan sebelumnya.
Fakta membuktikan 70% dari total APBN kita setiap tahunnya
sudah diplot untuk membiayai birokrasi. Apalagi dengan program remunerasi untuk
pejabat dan PNS se-Indonesia, hasil penaikan harga BBM hampir dipastikan justru
lebih banyak dinikmati elite birokrat dan elite politik. Namun, borok itu
mereka bungkus dengan jubah populisme gadungan yang menuding terjadinya
inefisiensi dan ketidakadilan atas subsidi BBM.
Penguasa membangun argumentasi bahwa subsidi BBM lebih
banyak dinikmati pemilik kendaraan bermotor yang dicap sebagai orang kaya. Penguasa
berdalih bahwa anggaran yang seharusnya digunakan untuk membiayai program
pembangunan dan kesejahteraan rakyat terutama keluarga miskin justru hanya
dinikmati kalangan borjuis.
Penulis nilai argumen tersebut terlalu dicari-cari karena
subsidi negara yang dikumpulkan dari uang rakyat ternyata tidak boleh dinikmati
kendaraan bermotor. Padahal, tidak semua pemilik kendaraan bermotor roda dua
bahkan roda empat sekalipun adalah orang kaya. Boleh jadi kendaraan tersebut
terpaksa mereka adakan melalui kredit dari penghasilan pas-pasan semata-mata
untuk menanggulangi sarana transportasi umum yang tidak menjamin keamanan,
kenyamanan, dan keterjangkauan.
Jika pemerintah memang konsisten mengharamkan subsidi BBM
pada orang kaya, penaikan harga BBM seharusnya hanya tertuju pada kendaraan
mewah baik pribadi maupun dinas. Alternatif lain naikkan pajak penghasilan atau
pajak kekayaan kalangan borjuis.
Kedua, menguatnya tekad kubu Pemerintah untuk menaikkan
harga BBM di balik krisis APBN saat ini dilatarbelakangi berbagai manuver kepentingan
politik dan bisnis. Tercium aroma yang sangat menusuk hidung dari perse
lingkuhan politisi dan pelaku bisnis untuk mengeruk keuntungan di balik agenda
penaik an harga BBM. Ada banyak indikasi yang memotret manuver tersebut sebagai
upaya untuk menambah deposito bagi kekuatan politik terutama the ruling party
dan koalisinya jelang Pemilu 2014.
Ketiga, Bumi Pertiwi menyimpan deposit migas yang sangat
besar, sayangnya potensi tersebut melemah pada aspek industri hulu, yaitu
eksplorasi dan eksploitasi. Tingkat produksi BBM kita terus merosot dari tahun
ke tahun. Itu disebabkan pola kebijakan negara dalam bidang perminyakan kita de
wasa ini yang lebih merangsang pada aspek bisnis. Institusi negara yang diberi
tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan energi BBM di Tanah Air lebih senang
bermain pada sektor hilir berupa perdagangan ekspor impor migas karena dinilai
lebih memberi keuntungan bagi perusahaan, tetapi tidak untuk rakyat dalam arti
yang seluas-luasnya.
Inilah yang menjadi ironi karena dalam Pasal 33 ayat 3 UUD
1945 jelas-jelas mengamanatkan bahwa: ‘Bumi dan air serta segala kekayaan yang
terkan dung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.’ Namun, berkaca dari praktik perdagangan migas dewasa
ini, sungguh terjadi ketimpangan kalau bukan pengkhianatan. Gas yang sangat
melimpah cadangannya di Bumi Pertiwi ternyata masyarakat harus membelinya
dengan harga yang sangat mahal dengan tingkat kenaikan melebihi batas rasio cost produksi secara layak.
Keempat, setiap kali penaikan harga BBM, penguasa selalu
menunjuk pada subsidi sebagai setan defisit APBN yang herannya karena dalam
sejarah penaikan harga BBM, dari masa pemerintahan Presiden Soekarno, BBM naik
12 kali, Soeharto 18 kali, Habibie 1 kali, Gus Dur 1 kali, Megawati 2 kali
ditambah 7 kali penyesuaian harga BBM, sedangkan pada masa SBY, BBM naik
sebanyak 4 kali. Sampai hari ini, setan defi sit itu ternyata tidak pernah
hilang meski total kenaikan sebanyak 38 kali. Jika harga BBM jadi dinaikkan
dari Rp4.500 ke Rp6.500, yakinlah bahwa suatu ketika penguasa tetap akan
menunjuk setan subsidi sebagai beban APBN meski harga BBM sendiri telah
dinaikkan lagi menjadi Rp20.000 bahkan Rp100.000/liter.
Kelima, setiap kali harga BBM dinaikkan, sekecil apa pun
pasti akan berimbas pada dampak sekunder. Inflasi diperkirakan akan menembus
7,2%, hal itu tentu akan memukul dan makin menyengsarakan masyarakat miskin.
Keadaan yang tidak kondusif tersebut dapat memicu meningkatnya pengangguran,
kemiskinan, dan kriminalitas. Negara sebagai pemangku kewajiban pemenuhan HAM
warga akan berpotensi melanggar HAM dalam bentuk by commission.
Selain itu, juga akan muncul ancaman instabilitas lantaran
aksi-aksi demonstrasi dari kelompok warga, yang bukan tidak mungkin terjadi
tindak kekerasan dan pelanggaran HAM antara pihak keamanan dan kelompok
demonstran.
Keenam, agar disebut populis, pemerintah mulai
mendistribusikan kartu perlindungan sosial (KPS) sebagai ‘pil penenang’. Namun,
sudah bukan rahasia lagi bahwa kompensasi penaikan harga BBM dalam bentuk
program keluarga harapan, beras miskin, beasiswa, jaminan kesehatan masyarakat,
BLSM dan lain-lain banyak salah sasaran. Betapa tidak karena banyak warga
miskin yang seharusnya memperoleh kompensasi terpaksa harus gigit jari karena
tidak terdaftar dalam database. Oknum kepala desa atau pihak yang diberi
otoritas untuk mendata justru sering memasukkan warga dari unsur keluarga atau
pendukung sebagai penerima kompensasi meski sebenarnya tidak layak. Belum lagi
praktik korupsi atau sunatan massal oleh oknum pejabat/petugas terhadap materi
kompensasi BBM kepada warga miskin.
Pemberian kompensasi kepada masyarakat miskin dalam bentuk
BLSM sebagaimana yang berlangsung di masa lalu, sangat tidak mendidik bagi
tumbuhnya semangat produktivitas masyarakat, serta kerap menimbulkan jatuhnya
korban bagi penerima yang berdesak-desakan. Pola seperti ini terkesan
mempertontonkan keterbelakangan dan kemiskinan bangsa.
Tak cuma itu, kebijakan tersebut juga tidak adil dan tidak
memberikan nilai tambah untuk memberdayakan masyarakat miskin. Sebab, kebutuhan
rumah tangga miskin dan rakyat pada umumnya tidak hanya untuk membeli BBM,
tetapi juga sembilan bahan pokok lainnya dengan tingkat harga yang terjadi
pascapengurangan subsidi BBM jauh lebih tinggi daripada nilai kompensasi.
Inilah bukti retorika penaikan harga BBM yang berjubah populisme gadungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar