|
SUARA
MERDEKA, 20 Juni 2013
"Dari dana penghematan subsidi, tak ada
alokasi untuk mendiversifikasikan bahan bakar alternatif"
HARGA
BBM sudah pasti naik, setelah pemerintah lama menimbang-nimbang berbagai metode
penyesuaian harga bahan bakar itu untuk mengurangi subsidi yang makin lama
makin membengkak. Besaran subsidi bahan bakar saat ini Rp 193,8 triliun. Hal
ini terjadi karena nilai keekonomian premium sekitar Rp 9.000-Rp 10.000,
bergantung pada spot market harga minyak di pasar internasional. Adapun
kebutuhan konsumsi mencapai 31 juta kiloliter per hari dengan pengendalian
(restriksi/pembatasan) atau 48-48,5 juta kiloliter per hari tanpa pengendalian.
Data
World Bank Development Report 2013
menyebutkan konsumsi bahan bakar minyak per kapita di Indonesia cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 796 liter tahun 2010, naik menjadi 836
liter tahun 2011, dan bertambah lagi menjadi 867 liter tahun 2012. Konsumsi
bahan bakar yang makin meningkat, terutama untuk transportasi kendaraan
pribadi, ada korelasinya dengan harga murah BBM di Indonesia.
Harga
bahan bakar minyak Indonesia paling murah nomor tiga di dunia setelah Venezuela
dan Arab Saudi. Harga bensin di Venezuela saat ini hanya Rp 154 per liter dan
negara itu bisa memproduksi 2.435 juta barel minyak per hari.
Di
Arab Saudi, harga bensin Rp 1.155 per liter dengan produksi 9,57 juta barel per
hari, bandingkan dengan harga premium di Indonesia Rp 4.500, dan kita baru bisa
memproduksi minyak mentah 800 ribu barel per hari.
Jelaslah
bahwa kita memiliki tingkat produksi paling sedikit di antara tiga negara
produsen minyak tetapi menerapkan harga BBM yang termasuk rendah.
Total
konsumsi BBM di dalam negeri melebihi kemampuan negara ini untuk memproduksi
minyak sehingga mengakibatkan ketergantungan pada bahan bakar fosil dari minyak
bumi makin tinggi. Ironisnya, hampir tidak ada upaya untuk mendiversifikasikan
ketergantungan tersebut pada bahan bakar alternatif ataupun bahan bakar dari
energi terbarukan.
Pemerintah
berjanji dengan menaikkan harga BBM, dapat mengurangi subsisi sampai Rp 40
triliun, namun dari dana penghematan subsidi tersebut tidak ada upaya
pengalokasian untuk mengembangkan dan mendiversifikasikan bahan bakar
alternatif, selain bahan bakar minyak fosil.
Sesungguhnya
sangat ironis negara dengan potensi sumber daya alam melimpah seperti Indonesia
begitu menyia-nyiakannya. Sebagai
contoh, beberapa negara Amerika Latin, seperti Brasil sejak 1970-an mulai
mengembangkan bahan bakar alternatif terbarukan, yaitu gasohol yang berbahan
baku campuran alkohol yang didapat dari perkebunan tebu dengan BBM dari minyak
bumi. Tanaman tebu dipilih selain jumlahnya melimpah juga pemakaian massal
untuk penggunaan bahan bakar alternatif tidak mengganggu pasokan bahan pangan.
BBM Alternatif
Beberapa
tahun lalu diversifikasi BBM alternatif terbarukan dari minyak jarak
dipromosikan oleh pemerintah namun sekarang dalam perkembangannya inisiatif itu
seperti layu sebelum berkembang. Bahan lain yang potensial dikembangkan adalah
BBM alternatif dari minyak kelapa sawit, Negara kita mempunyai perkebunan luas,
meliputi 80% dari produsen perkebunan kelapa sawit di dunia.
Potensi
lain yang bisa dikembangkan adalah pe-ngembangan energi terbarukan dari
singkong, tanaman yang mudah tumbuh di Indonesia. Perkebunan
besar singkong di Indonesia ada di Provinsi Lampung. Tanaman singkong juga
mudah tumbuh dan dikembangkan di berbagai daerah di Tanah Air.
Potensi
besar lain adalah pengembangan BBM dari gasifikasi batu bara, yaitu batu bara
yang dibuat cair. Cara itu sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara, antara
lain China, dan Jerman yang sudah mengembangkan BBM dari batu bara. Potensi
Indonesia sangat besar mengingat deposit batu bara di Tanah Air mencapai 105
miliar ton, dan dapat ditambang hingga 928 tahun.
Energi
dari panas bumi (geotermal) juga
melimpah untuk dikembangkan guna memasok industri. Semuanya berpulang kepada
komitmen pemerintah untuk mengembangkan energi terbarukan ataupun energi BBM
alternatif supaya ketergantungan pada minyak bumi semakin berkurang. Salah
satu pertimbangannya adalah mendasarkan proyeksi produksi BBM dalam 50 tahun
mendatang yang akan makin kecil dan langka.
Bila
pemerintah tidak mempersiapkan dan membuat manajemen perencanaan strategis,
kondisi itu dapat menyebabkan krisis energi yang mengancam kelangsungan hidup
industri dan transportasi negara kita. Sejatinya pemerintah juga bisa
menggandeng pihak swasta melalui skema public
private partnership. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar