|
REPUBLIKA, 31 Mei 2013
Tahun 2013 ini, Maarif Institute memperingati
kelahirannya yang ke-10, bertepatan dengan ulang tahun ke-78 Buya Syafii Ma'arif
yang jatuh pada 31 Mei 2013. Membincang khidmat Maarif Institute untuk
kebangsaan dan keumatan di Tanah Air, tentulah tidak bisa dilepaskan dari peran
Buya Syafii sebagai inspirator dan ideolog lembaga ini.
Selain beberapa kekurangan, tentu
banyak hal positif yang sudah dilakukan Maarif Institute dalam satu
dekade. Di tengah kompleksitas persoalan moral-sosial yang mendera bangsa
Indonesia saat ini, seperti maraknya kasus korupsi dan berbagai kemungkaran
sosial lainnya, peringatan 10 tahun Maarif Institute bisa dijadikan momentum
untuk refleksi bersama. Salah satunya adalah mengenai sejauh mana intelektual
mampu berperan dalam mereduksi kemungkaran-kemungkaran sosial, seperti yang
dicita-citakan oleh Maarif Institute.
Pada 2007, ketika saya mengisi formulir
pendaftaran beasiswa Chevening-British Council, saya menceritakan pengalaman
interaksi awal saya dengan Maarif Institute dan pengaruhnya terhadap perjalanan
hidup saya. Saat itu-pun sampai sekarang di usianya yang ke-10- saya menyadari
jika Maarif Institute telah berperan besar dalam menanamkan makna intelektual
dan peran sosialnya dalam diri saya. Maarif Institute bagi saya adalah nuqtah al-intilaq, landasan awal dalam
perjalanan akademis saya.
Diskursus tentang peran sosial seorang
intelektual menjadi salah satu concern
utama Maarif Institute sejak berdiri pada 2003. Saya melihat bahwa kegiatan-kegiatan
Maarif Institute pada periode awal adalah bentuk terjemahan dari makna dan
peran intelektual yang dicita-citakan oleh lembaga ini. Melalui berbagai
kegiatan, Maarif Institute meramu ide-ide keislaman, kebangsaan, keumatan, dan
kemuhammadiyahan, serta memadukan spiritualisme dan intelektualisme Buya Syafi
i di satu sisi dan aktivisme almarhum Kang Moeslim di sisi lain. Workshop-workshop ini telah mengentak
kesadaran saya bahwa pemahaman akan teks kitab suci dan ajaran-ajaran agama
yang saya peroleh dari Universitas Al-Azhar Mesir tidaklah cukup untuk melihat
kompleksitas persoalan kemanusiaan yang terus berubah.
Kesadaran akan perlunya kepekaan
teologi sosial telah melahirkan pergulatan pemikiran dalam diri saya. Untuk
mengimplementasikan ide ini, saya berpikir bahwa intelektual haruslah merupakan
perpaduan dari memiliki kedalaman bidang ilmu yang dipelajari dan pengalaman
pengabdian, mampu me- nyan dingkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial, dan
mampu mempersempit gap antara wacana
dan praktik.
Secara pribadi, saya selalu
mengingat pesan Buya Syafii bahwa seorang pencari ilmu, Islamic thinker, intelektual, atau apa pun namanya, selain harus
tekun dalam meningkatkan kapasitas intelektualnya, juga harus terus berpikir
dan bekerja nyata untuk membangun peradaban dan kemanusiaan yang lebih baik. Dengan
spirit dan motivasi yang seperti itu, saya bersyukur memiliki semacam alert system.
Peran intelektual yang memi liki komitmen
agama dan komitmen keilmuan untuk melakukan perubahan sosial, seperti yang
dicita-citakan Maarif Institute sangatlah dibutuhkan bangsa ini. Namun, tentu
dibutuhkan proses untuk menguasai keilmuan dan keterampilan tentang dari mana
dan bagaimana cara melakukan perubahan sosial tersebut. Dalam ajaran Islam, sudah
termaktub bahwa agama melarang tindakan-tindakan ketidakadilan,
kesewenang-wenangan, hegemoni, dan kemungkaran-kemungkaran sosial lainnya (QS
16: 90, 57: 25, 4: 135, dll).
Namun, persoalan how to masih harus terus ditemukan
formulanya. Dalam hal ini, perhatian Maarif Institute terhadap pentingnya
menguasai ilmu-ilmu sosial, dan selanjutnya mempelajari gerakan-gerakan sosial
sangat diperlukan. Best practices
atau best experience dari ilmu dan
gerakan sosial di berbagai belahan dunia perlu dilihat sebagai bahan kajian.
Tawaran Maarif Institute sangat penting
mengingat ilmu-ilmu sosial masih kurang mendapat perhatian di kalangan intelektual
Islam di Indonesia. Padahal, ilmu sosial diperlukan sebagai "ilmu alat"
untuk membedah persoalan kemanusiaan yang semakin berat dan beragam. Pendalaman
terhadap ilmu sosial diperlukan di samping tentu saja memiliki otoritas kuat
dalam ilmu agama.
Menjadi otoritatif dalam ilmu agama
sangat penting untuk bisa menjadi rujukan bagi masyarakat luas, apalagi di tengah
fragmentasi otoritas intelektual keagamaan yang terus berlangsung. Namun,
menjamurnya berbagai tindakan kemungkaran sosial membutuhkan intelektual atau
ulama yang tidak hanya otoritatif, tetapi juga sensitif terhadap persoalan yang
dialami sesama.
Kepekaan sosial seorang intelektual
sejatinya dibarengi dengan pemahaman akan tiga proses mekanisme
perubahan; to learn, to act, and to
organize. Setiap tahapan ini harus dipenuhi oleh seorang agent of change. Seperti pernah
disampaikan Kang Moeslim, memang tidak semuanya harus bepikir menjadi Islamic thinker, actor, sekaligus organisator, namun sebagai sebuah gerakan
intelektual tentu tetap memerlukan sisi aktivisme atau paling tidak kemampuan
merang kul aktivis yang memiliki komitmen melakukan pembelaan di akar
rumput.
Suatu perubahan yang signifikan tidaklah
bisa diharapkan jika dilakukan oleh hanya seorang individu. Oleh karena itu,
upaya untuk membangun dan menumbuhkan kesadaran kolektif mutlak diperlukan
melalui sebuah organisasi.
Bangsa kita sudah memiliki banyak organisasi sosial-keagamaan, lembaga
pendidikan, begitu juga dengan institusi pemerintahan atau swasta. Yang
mendesak untuk dimiliki adalah tenaga pendidik, intelektual, pelaksana di
lapangan dan organisator yang mumpuni untuk mengisi lembaga-lembaga tersebut.
Sinergi antarkomponen anak bangsa yang mumpuni ini kelak akan melahirkan peradaban
yang lebih baik.
Dengan berbekal renungan dari Maarif
Institute yang seperti inilah, saya, bismillah
hijrah dari Ciamis ke Inggris. Terakhir, selamat
ulang tahun kepada Maarif Institute dan Buya Syafii, semoga selalu menjadi
teladan dan pencerah kebinekaan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar