|
MEDIA INDONESIA, 03 Juni 2013
HAMPIR semua orang dapat memaklumi
bahwa mengurangi subsidi BBM secara cepat dan efektif ialah dengan menaikkan
harga BBM. Yang dibutuhkan yaitu kemampuan pemerintah untuk menjelaskan secara
jujur kepada rakyat bahwa dana penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM)
akan dikembalikan kepada mereka dalam bentuk pembangunan infrastruktur agar
tercipta lebih banyak lagi kesempatan kerja. Opsi menaikkan harga jauh lebih
bagus bila dibandingkan dengan opsi membatasi/menjatah BBM untuk rakyat.
Pembatasan pemakaian BBM, di samping implementasi di lapangan ribet dan akan
menimbulkan masalah baru seperti moral
hazard, akan mengurangi gerak kegiatan ekonomi rakyat.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah terkesan
enggan menaikkan harga BBM meski banyak pihak telah mendorong dan ada
momen-momen yang dinilai tepat untuk menaikkan harga BBM di saat inflasi sangat
rendah bahkan terjadi deflasi. Selain itu, kewenangan untuk menaikkan harga BBM
sudah sepenuhnya di tangan pemerintah, tidak perlu berkonsultasi dengan DPR.
Namun sayang sekali, ternyata momen-momen tersebut berlalu
begitu saja. Pemerintah tetap ‘keukeuh’ tidak mau menaikkan harga BBM. ‘Keengganan’
pemerintah menaikkan harga BBM lebih merupakan ‘strategi’ ulur-ulur waktu
hingga menjelang Pemilu 2014. Saat ini pemilu sudah pada tahapan ketika KPU
akan mengumumkan daftar calon tetap (DCT) dari setiap parpol peserta pemilu.
Pemerintah lewat RAPBN-P 2013 yang diajukan ke DPR beberapa
hari yang lalu memutuskan akan menaikkan harga BBM yang disertai dengan paket
program kompensasi yang nilainya sekitar Rp30 triliun, termasuk paket bantuan
langsung sementara masyarakat (BLSM) yang akan dibagikan dalam bentuk
cash/tunai kepada rakyat miskin yang akan menderita karena harga BBM dinaikkan.
Tak ayal lagi, dana kompensasi BLSM yang akan dibagikan menjelang Pemilu 2014
ini akan dapat merusak sistem demokrasi karena uang negara dipakai untuk
memberikan keuntungan bagi partai tertentu.
Kalau pemerintah tulus untuk menolong rakyat miskin,
langkah yang ditempuh guna mengurangi besaran subsidi BBM yang terus membengkak
ialah dengan konsisten melaksanakan kebijakan energi yang benar dan baku, yakni
pengurangan pemakaian BBM melaprogram diversifikasi khususnya dengan konversi
BBM ke bahan bakar gas (BBG). Itu tentu dilakukan dengan mempercepat
pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Bukankah program konversi BBM ke BBG
sudah dicanangkan sejak bertahun-tahun yang lalu?
Pasalnya, harga BBG jauh lebih murah meskipun tidak
disubsidi bila dibandingkan dengan harga BBM. Contoh, saat ini BBG yang dibayar
Trans-Jakarta Rp3.100/liter setara premium (lsp). Terlebih apabila liquefied natural gas (LNG) yang dijual
murah ke Fujian sebagiannya saja dapat dialihkan untuk keperluan konversi ke
BBG, harga jual BBG menjadi cuma sekitar Rp2.000/lsp. Selain lebih ramah lingkungan, BBG tidak perlu impor karena produksi dan
cadangan gas dalam negeri relatif melimpah. Itu akan menyehatkan neraca perdagangan migas yang saat ini
sudah mengalami defisit sangat besar.
Konversi ke BBG pasti secara otomatis
akan menurunkan subsidi BBM secara drastis tanpa menyengsarakan rakyat. Memang
harus diakui, cara tersebut akan menutup peluang uang negara dipakai untuk
`menolong' partai tertentu dalam pemilu lewat mekanisme kompensasi. Karena itu,
program konversi tersebut tidak pernah ditangani secara serius.
Padahal, menaikkan harga BBM yang akan mendorong inflasi ke
level 7,7% menjelang bulan puasa dan Lebaran pasti akan sangat membebani
rakyat. Kalangan dunia usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), usaha
informal, dan sebagainya, akan menghadapi kesulitan seperti kenaikan biaya produksi
dan tingkat suku bunga yang akan naik di samping tuntutan penaikan upah buruh.
Hal itu disebabkan kaum buruh dengan susah payah telah berhasil menuntut
penaikan upah, tetapi karena penaikan harga BBM itu daya beli mereka dipastikan
akan menurun dan kesejahteraan mereka pun kembali ke level sebelum penaikan
upah minimum regional (UMR).
Program konversi ke BBG sangatlah penting mengingat saat ini
Indonesia sudah mengalami defisit perdagangan migas yang sangat besar. BBG tidak
perlu impor, sedangkan BBM harus impor. Saat ini impor migas jauh lebih besar
daripada ekspor. Hal itu terjadi karena pemerintah selama ini salah urus dalam
mengelola kekayaan migas nasional, dengan tetap mempertahankan UU Migas No
22/2001 meskipun sebenarnya UU itu sudah terbukti melanggar konstitusi karena
sejak 2004 sudah 17 Pasal dicabut MK.
Itulah satu-satunya UU yang sudah begitu banyak pasalnya
tidak berlaku, tetapi masih tetap dipertahankan. Mestinya, sewaktu MK mencabut
pasal-pasal yang terkait dengan BP Migas, pemerintah segera mengeluarkan perppu
untuk mencabut UU Migas No 22/2001 karena selain bertentangan dengan
konstitusi, UU itu terbukti sangat merugikan negara secara finansial dan
menimbulkan ketidakpastian.
Bahkan menurut survei dari Fraser Institute Canada (2012), UU Migas tersebut telah menyebabkan
tata kelola migas di Indonesia menjadi paling buruk di Asia Oceania, lebih
buruk daripada Malaysia, Filipina, Brunei, PNG, Australia, Selandia Baru, dan
bahkan lebih buruk daripada Timor Leste.
Penyebab buruknya tata kelola migas di Indonesia ialah UU
Migas No 22/2001, terutama karena sistem tata kelola yang menjadi lebih
birokratis dengan munculnya lembaga baru (BP Migas/SKK Migas) dan pencabutan
asas `lex specialis' melalui Pasal 31
UU Migas sehingga perusahaan yang masih pada tahap eksplorasi dikenai berbagai
macam pajak dan pungutan. Akibatnya, sejak adanya UU Migas itu, investasi
eksplorasi anjlok yang diikuti langkanya penemuan cadangan baru yang bermuara
pada produksi minyak yang terus turun.
Sayang sekali, sejak 2005 hingga saat ini pemerintah
menyiasati Pasal 31 UU Migas dengan mengeluarkan peraturan menteri keuangan
(PMK) yang membebaskan pajak semasa eksplorasi. Jelas, PMK bukanlah solusi
karena statusnya lebih rendah daripada UU sehingga solusi PMK itu tidak pernah
akan efektif. Bahkan di kemudian hari terbuka risiko perusahaan minyak yang
tidak bayar pajak semasa eksplorasi saat ini bisa didakwa mengemplang pajak
karena melanggar Pasal 31 UU Migas No 22/2001.
Pada 2004, pada saat awal pemerin tahan SBY, produksi
minyak masih sekitar 1,2 juta bbls/hari. Pada Mei 2013, produksi hanya sekitar
835 ribu bbls/hari sehingga target APBN 2013 sebesar 900 ribu bbls/hari harus
diturunkan menjadi 840 ribu bbls/hari.
Di sisi hilir, UU Migas telah memindahkan tanggung jawab
pemenuhan kebutuhan BBM rakyat dari yang semula di tangan Pertamina, kini ada
di tangan pemerintah. Pertamina diposisikan hanya sebagai salah satu operator
yang ditunjuk pemerintah (melalui BPH Migas) dalam memenuhi kebutuhan BBM
nasional.
Akibatnya Pertamina yang kini berstatus sebagai PT
(persero) yang oleh UU diwajibkan cari untung sebesarbesarnya menjadi enggan
membangun kilang BBM mengingat margin investasi di kilang BBM relatif sangat
kecil, jauh di bawah margin usaha hulu. Padahal sebelum UU Migas, Pertamina
pernah merencanakan pembangunan banyak kilang BBM tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk tujuan ekspor (kilang Exor: export oriented refinery).
Akibatnya, sejak UU Migas, tidak ada tambahan kapasitas
kilang BBM, padahal konsumsi BBM terus meningkat dan berdampak pada
meningkatnya impor BBM nasional yang berujung pada defisit migas yang terus
membengkak dan nilai rupiah yang terus melemah.
Menaikkan harga BBM yang diikuti dengan program kompensasi
secara massal menjelang pemilu saat ini sebaiknya dihindari. Di samping dapat
mengkhianati demokrasi, mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya. Ujungnya
rakyat jua yang akan menderita.
Dalam jangka pendek, sebenarnya penyehatan fiskal dapat
dilakukan dengan cara mengefisienkan pengeluaran dan mendorong potensi
penerimaan APBN. Di bidang migas, upaya nego penjualan gas Tangguh yang dijual
dengan harga sangat murah ke Fujian supaya dipercepat. Tujuan nego agar formula
harga jual mengikuti pola harga jual LNG Badak ke Jepang. Di situ ada potensi
tambahan penerimaan negara sekitar Rp30 triliun/tahun.
Bila perlu, dengan menghentikan pengapalan dan
mempersiapkan ahli-ahli hukum untuk menghadapi kemungkinan China membawa kasus
itu ke Arbitrase Internasional. Sebaiknya itu didahului dengan pembentukan tim
independen guna menginvestigasi kemungkinan adanya pelanggaran hukum di dalam
proses penunjukan, proses pembangunan/pembiayaan kilang LNG Tangguh, dan proses
jual beli dengan pihak China.
Terlebih dalam pembangunan LNG Tangguh Train 3 saat ini,
misalnya, pemerintah malah menyetujui dan mendorong kontraktor minyak asing
(BP) untuk menggunakan cadangan gas Tangguh yang ada di perut bumi sebagai
agunan dalam memperoleh pembiayaan. Itu jelas melanggar konstitusi karena aset
yang berupa cadangan migas yang masih tersimpan di perut bumi adalah 100% milik
negara. Migas baru menjadi milik kontraktor setelah diproduksikan, dibagi, dan
secara fisik sudah berada di titik serah.
Langkah jangka pendek lainnya untuk menyehatkan fiskal ialah
dengan melakukan efi siensi impor minyak mentah dan BBM yang nilainya sekitar
US$45 miliar/tahun.
Efisiensi impor dilakukan dengan menghapus pembelian
melewati pihak ketiga (trader/broker)
di Singapura meski penunjukannya lewat ‘proses tender’. Sebaiknya pembelian
dilakukan dengan kontrak langsung dengan produsen di luar negeri. Trader/broker bukan penghasil, melainkan
perantara yang akan mengutip keuntungan dari penjualan minyak (yang mereka beli
dari produsen atau dari sesama broker)
ke Pertamina.
Langkah efisiensi itu juga perlu dilakukan agar minyak
mentah impor (dan minyak mentah dalam negeri yang berasal dari kontraktor
asing) yang dimasak di kilang Pertamina tidak ‘overprice’ yang telah menyebabkan BBM yang dihasilkan kilang
Pertamina menjadi ‘lebih mahal’ daripada BBM impor sehingga PT Pertamina saat
ini cenderung lebih senang impor BBM daripada membangun kilang BBM.
Model tata kelola seperti itu, di samping merugikan rakyat,
memperlemah ketahanan energi nasional. Dalam jangka panjang, harus ada
perubahan dan restorasi tata kelola migas nasional dengan menyu sun kembali UU
Migas yang sesuai dengan konstitusi, yang menjamin kedaulatan negara atas
kekayaan migasnya serta membuka terobosan bagi pemanfaatan aset negara berupa
cadangan migas nasional untuk melunasi utang negara dan sebagai sumber pembiayaan
pembangunan infrastruktur secara masif guna mempercepat tercapainya pertumbuhan
ekonomi ‘double digit’. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar