|
KORAN
SINDO, 21 Juni 2013
Menyusul
rencana pengalihan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) atau pengurangan
subsidi BBM dari subsidi berpola harga komoditas menjadi subsidi yang tepat
sasaran, tampaknya pengumuman kenaikan harga BBM tinggal me-nunggu waktu saja.
Dengan kenaikan harga BBM premium sebesar Rp2.000 dan BBM solar Rp1.000, diperkirakan tingkat inflasi akan mencapai 7,2%. Akibat ini, dampak terbesar pasti dirasakan masyarakat miskin/masyarakat berpenghasilan rendah sehingga angka kemiskinan akan meningkat. Pengalaman menunjukkan kenaikan harga BBM pada 2005 dari Rp 2.400 ke Rp 4.500 (premium) dan dari Rp 2.100 ke Rp 4.300 (solar) menyebabkan angka kemiskinan meningkat dari 15,97% menjadi 17,75%.
Memang konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi serta terus didorongnya pembangunan adalah meningkatnya kebutuhan akan energi. Itu sebabnya jika pada APBN 2013 subsidi BBM telah dipatok Rp 193,8 triliun atau 11,5%, diperkirakan angka itu akan naik menjadi Rp 251,6 triliun jika subsidi tak dikurangi. Jika ini terus dibiarkan tanpa ada upaya pengurangan terhadap subsidi BBM, defisit anggaran yang awalnya dipatok 1,65% terhadap produk domestik bruto bisa melebar sampai 3,83 persen.
Defisit 3,83% jelas melanggar aturan karena UU mewajibkan defisit maksimal 3% demi alasan kesehatan fiskal. Pertimbangan inilah yang kemudian membuat pola subsidi harus diubah mengingat faktanya subsidi BBM selama ini pun lebih dari 50% dinikmati oleh 20% orang terkaya di Indonesia. Sementara hanya sekitar 2% dari APBN yang dianggarkan untuk program bantuan sosial berbasis rumah tangga seperti raskin, BSM, PKH, Jamkesmas.
Ketimpangan ini tidak boleh terjadi lagi, karena itu perlu dukungan terhadap kebijakan pengalihan subsidi, dari yang berorientasi hanya kepada orang kaya ke masyarakat ekonomi terbatas (miskin). Inilah sesungguhnya yang melatarbelakangi kebijakan pengurangan subsidi BBM, yaitu melindungi kelompok masyarakat yang berpenghasilan terbatas.
Pertanyaannya, bagaimana nasib pendidikan kita? Ketika daya beli berkurang, himpitan kebutuhan meningkat, sebagian masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung mengabaikan pendidikan. Anakanak usia sekolah yang diminta untuk membantu keluarga bekerja menambah kebutuhan harian alias tidak bersekolah.
Program BSM
Agar masyarakat yang berpenghasilan terbatas itu terlindungi, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merealokasi subsidi BBM itu untuk program Bantuan Siswa Miskin (BSM), bantuan tunai yang diberikan secara langsung kepada anakanak usia sekolah untuk semua jenjang, dasar dan menengah, yang berasal dari rumah tangga miskin dan rentan.
Upaya melindungi dunia pendidikan melalui BSM memang sebuah keharusan karena data menunjukkan, dalam kondisi normal (baca: tidak ada kenaikan harga BBM sekalipun), angka putus sekolah pada kelompok pengeluaran (konsumsi) yang lebih rendah atau masyarakat miskin cukup tinggi. Data Susenas 2011 mengenai keberlanjutan pendidikan pada masyarakat miskin, lebih dari 30% lulusan SD tidak melanjutkan ke jenjang SMP, demikian juga di jenjang SMP, tingkat ketidakmelanjutkan ke jenjang berikutnya mencapai 20%.
Fakta itu mengindikasikan, dalam situasi normal pun betapa lemahnya komitmen masyarakat miskin terhadap keberlanjutan pendidikan bagi putraputri mereka. Berbagai alasan memang bisa mengemuka, dari karena faktor kultural hingga persoalan ekonomi. Tapi fakta di lapangan yang ditemukan, hal itu lebih dominan dipengaruhi faktor ekonomi karena banyak anak yang tidak bersekolah diminta orang tuanya untuk membantu memenuhi kebutuhan harian keluarga mereka.
Tentu kita juga tidak boleh menutup mata pada pengaruh kultural di sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa anak cukup bisa baca tulis dan hitung saja, toh nanti mereka tetap bekerja dan menghasilkan uang. Kenapa jika sekarang sudah bisa membantu orang tua mendapatkan uang harus ditunda dengan ke sekolah. Terhadap fakta yang terakhir ini, tentu pendekatannya kultural pula.
Terhadap dampak dari kenaikan harga BBM inilah program BSM melalui APBN Perubahan (APBN-P) terus ditambah baik sasaran maupun nilai nominalnya. Kemendikbud telah mendesain penambahan jumlah penerima BSM yang diusulkan dalam APBN-P dengan total nilai Rp6,09 triliun untuk 13,5 juta sasaran peserta didik jenjang sekolah dasar dan menengah.
Jika pada 2013 melalui APBN jumlah penerima BSM di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK sebanyak 5,9 juta siswa dengan nilai nominal Rp 360.000 per siswa per tahun untuk SD, Rp 560.000 untuk SMP, dan Rp1 juta untuk SMA/SMK, melalui APBN-P jumlahnya kini menjadi 13,5 juta siswa dengan nilai nominal sebesar Rp 450.000 (SD), Rp 750.000 (SMP), dan untuk SMA/SMK tetap Rp 1 juta per siswa per tahun dengan tambah manfaat sebesar Rp 200.000 per siswa.
Bagaimana program bagi keluarga miskin yang anaknya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi? Pemerintah telah pula menambah penerima program Bidik Misi sebanyak 8.900 mahasiswa baik mereka yang diterima di PTN maupun PTS. Selain Bidik Misi, kebijakan uang kuliah tunggal (UKT) pun adalah bagian tidak terpisahkan dari program keterjangkauan masyarakat untuk mengakses pendidikan tinggi.
Pemerintah melalui Permendikbud No 55 Tahun 2013 telah menetapkan sedikitnya ada 10% di tiap PTN untuk menerima mahasiswa dari jalur reguler dengan biaya kuliah per semester Rp 400.000 hingga Rp 600.000. Persentase 10% UKT itu di luar 20% program Bidik Misi yang telah diamanatkan dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Keberadaan BSM ini diharapkan akan dapat meningkatkan akses terhadap pelayanan pendidikan yang berkualitas, mencegah putus sekolah, menarik anak usia sekolah dari rumah tangga miskin dan rentan untuk kembali ke sekolah. BSM lebih bersifat personal, diterima langsung oleh peserta didik. Mekanisme penyaluran BSM kini berbasis rumah tangga (kartu perlindungan sosial).
Terhadap serangkaian program inilah kita berharap kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan tidak berimbas pada nasib dunia pendidikan kita. Inilah subsidi yang mestinya diprioritaskan, memberikan kepastian bagi masyarakat tidak mampu untuk dapat mengakses pendidikan. Semoga! ●
Dengan kenaikan harga BBM premium sebesar Rp2.000 dan BBM solar Rp1.000, diperkirakan tingkat inflasi akan mencapai 7,2%. Akibat ini, dampak terbesar pasti dirasakan masyarakat miskin/masyarakat berpenghasilan rendah sehingga angka kemiskinan akan meningkat. Pengalaman menunjukkan kenaikan harga BBM pada 2005 dari Rp 2.400 ke Rp 4.500 (premium) dan dari Rp 2.100 ke Rp 4.300 (solar) menyebabkan angka kemiskinan meningkat dari 15,97% menjadi 17,75%.
Memang konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi serta terus didorongnya pembangunan adalah meningkatnya kebutuhan akan energi. Itu sebabnya jika pada APBN 2013 subsidi BBM telah dipatok Rp 193,8 triliun atau 11,5%, diperkirakan angka itu akan naik menjadi Rp 251,6 triliun jika subsidi tak dikurangi. Jika ini terus dibiarkan tanpa ada upaya pengurangan terhadap subsidi BBM, defisit anggaran yang awalnya dipatok 1,65% terhadap produk domestik bruto bisa melebar sampai 3,83 persen.
Defisit 3,83% jelas melanggar aturan karena UU mewajibkan defisit maksimal 3% demi alasan kesehatan fiskal. Pertimbangan inilah yang kemudian membuat pola subsidi harus diubah mengingat faktanya subsidi BBM selama ini pun lebih dari 50% dinikmati oleh 20% orang terkaya di Indonesia. Sementara hanya sekitar 2% dari APBN yang dianggarkan untuk program bantuan sosial berbasis rumah tangga seperti raskin, BSM, PKH, Jamkesmas.
Ketimpangan ini tidak boleh terjadi lagi, karena itu perlu dukungan terhadap kebijakan pengalihan subsidi, dari yang berorientasi hanya kepada orang kaya ke masyarakat ekonomi terbatas (miskin). Inilah sesungguhnya yang melatarbelakangi kebijakan pengurangan subsidi BBM, yaitu melindungi kelompok masyarakat yang berpenghasilan terbatas.
Pertanyaannya, bagaimana nasib pendidikan kita? Ketika daya beli berkurang, himpitan kebutuhan meningkat, sebagian masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung mengabaikan pendidikan. Anakanak usia sekolah yang diminta untuk membantu keluarga bekerja menambah kebutuhan harian alias tidak bersekolah.
Program BSM
Agar masyarakat yang berpenghasilan terbatas itu terlindungi, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merealokasi subsidi BBM itu untuk program Bantuan Siswa Miskin (BSM), bantuan tunai yang diberikan secara langsung kepada anakanak usia sekolah untuk semua jenjang, dasar dan menengah, yang berasal dari rumah tangga miskin dan rentan.
Upaya melindungi dunia pendidikan melalui BSM memang sebuah keharusan karena data menunjukkan, dalam kondisi normal (baca: tidak ada kenaikan harga BBM sekalipun), angka putus sekolah pada kelompok pengeluaran (konsumsi) yang lebih rendah atau masyarakat miskin cukup tinggi. Data Susenas 2011 mengenai keberlanjutan pendidikan pada masyarakat miskin, lebih dari 30% lulusan SD tidak melanjutkan ke jenjang SMP, demikian juga di jenjang SMP, tingkat ketidakmelanjutkan ke jenjang berikutnya mencapai 20%.
Fakta itu mengindikasikan, dalam situasi normal pun betapa lemahnya komitmen masyarakat miskin terhadap keberlanjutan pendidikan bagi putraputri mereka. Berbagai alasan memang bisa mengemuka, dari karena faktor kultural hingga persoalan ekonomi. Tapi fakta di lapangan yang ditemukan, hal itu lebih dominan dipengaruhi faktor ekonomi karena banyak anak yang tidak bersekolah diminta orang tuanya untuk membantu memenuhi kebutuhan harian keluarga mereka.
Tentu kita juga tidak boleh menutup mata pada pengaruh kultural di sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa anak cukup bisa baca tulis dan hitung saja, toh nanti mereka tetap bekerja dan menghasilkan uang. Kenapa jika sekarang sudah bisa membantu orang tua mendapatkan uang harus ditunda dengan ke sekolah. Terhadap fakta yang terakhir ini, tentu pendekatannya kultural pula.
Terhadap dampak dari kenaikan harga BBM inilah program BSM melalui APBN Perubahan (APBN-P) terus ditambah baik sasaran maupun nilai nominalnya. Kemendikbud telah mendesain penambahan jumlah penerima BSM yang diusulkan dalam APBN-P dengan total nilai Rp6,09 triliun untuk 13,5 juta sasaran peserta didik jenjang sekolah dasar dan menengah.
Jika pada 2013 melalui APBN jumlah penerima BSM di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK sebanyak 5,9 juta siswa dengan nilai nominal Rp 360.000 per siswa per tahun untuk SD, Rp 560.000 untuk SMP, dan Rp1 juta untuk SMA/SMK, melalui APBN-P jumlahnya kini menjadi 13,5 juta siswa dengan nilai nominal sebesar Rp 450.000 (SD), Rp 750.000 (SMP), dan untuk SMA/SMK tetap Rp 1 juta per siswa per tahun dengan tambah manfaat sebesar Rp 200.000 per siswa.
Bagaimana program bagi keluarga miskin yang anaknya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi? Pemerintah telah pula menambah penerima program Bidik Misi sebanyak 8.900 mahasiswa baik mereka yang diterima di PTN maupun PTS. Selain Bidik Misi, kebijakan uang kuliah tunggal (UKT) pun adalah bagian tidak terpisahkan dari program keterjangkauan masyarakat untuk mengakses pendidikan tinggi.
Pemerintah melalui Permendikbud No 55 Tahun 2013 telah menetapkan sedikitnya ada 10% di tiap PTN untuk menerima mahasiswa dari jalur reguler dengan biaya kuliah per semester Rp 400.000 hingga Rp 600.000. Persentase 10% UKT itu di luar 20% program Bidik Misi yang telah diamanatkan dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Keberadaan BSM ini diharapkan akan dapat meningkatkan akses terhadap pelayanan pendidikan yang berkualitas, mencegah putus sekolah, menarik anak usia sekolah dari rumah tangga miskin dan rentan untuk kembali ke sekolah. BSM lebih bersifat personal, diterima langsung oleh peserta didik. Mekanisme penyaluran BSM kini berbasis rumah tangga (kartu perlindungan sosial).
Terhadap serangkaian program inilah kita berharap kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan tidak berimbas pada nasib dunia pendidikan kita. Inilah subsidi yang mestinya diprioritaskan, memberikan kepastian bagi masyarakat tidak mampu untuk dapat mengakses pendidikan. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar