|
SETIAP 20 Mei bangsa Indonesia
memperingati Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional). Sesungguhnya esensi dari
perayaan setiap tahun Harkitnas ialah menginspirasi dan mendorong semangat pada
bangsa Indonesia untuk terus bangkit menjadi bangsa yang konsisten dalam
mewujudkan cita-cita besarnya, yakni `melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia', `mencerdaskan kehidupan bangsa', dan
`melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial'.
Namun, tampaknya bangsa kita belum dapat mewujudkan
cita-cita adiluhung itu sebagaimana tercantum dalam Preambule UUD 1945. Terutama terkait dengan menjamin kehidupan
rakyat yang sejahtera secara ekonomi dan sosial yang ditopang penegakan hukum
dan keadilan.
Masalah penegakan hukum menjadi titik sentral yang
diharapkan mampu menjadi motor penggerak dimulainya kebangkitan nasional
Indonesia di semua bidang. Negara kita pernah mempunyai tokoh-tokoh yang penuh
dedikasi berjuang menjadikan negara bangkit dari belenggu penjajah. Saat ini
kita teramat merindukan lahirnya para penegak hukum yang memiliki dedikasi
seperti para penggerak lahirnya Boedi Oetomo. Mengapa demikian?
Hari-hari ini publik kita begitu rendah tingkat
kepercayaannya (public distrust) pada
institusi hukum karena tak mampu menjalankan imperatif hukum secara serius dan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip moral-keadilan. Tengoklah belakangan ini hukum tak
memihak pada keadilan, bahkan lebih banyak menyisakan duka dan kekecewaan
publik tatkala melihat proses jalannya prosedur hukum. Ratusan bahkan ribuan
kasus kejahatan terutama korupsi yang melibatkan kekuasaan politik dan uang
dilepas begitu saja (SP-3). Namun, kasus kejahatan yang menimpa rakyat jelata
dan miskin relasi uang dan kekuasaan justru diburu untuk `dibunuh' dengan baju
hukum.
Itu menunjukkan sebuah realitas bahwa hukum hanya tegas
pada rakyat jelata, tetapi tumpul dan bergeming pada uang dan kekuasaan. Hukum
kita hari ini seolah telah mendengungkan lonceng kematiannya. Persis seperti
ungkapan Hugo Black (156), `there can be
no equal justice where the kind of trial a man gets depen on the amount of he
has' (tak akan pernah tercapai keadilan jika keadilan masih didasarkan pada besar-kecilnya
uang yang didapat).
Hukum berideologi
uang
Ini juga mencerminkan betapa institusi hukum kita tengah
mempraktikkan hukum berideologi uang, bukan kebenaran ilmu, commen sense, dan rasa keadilan
masyarakat. Gejala praktik hukum berideologi uang itu mirip seperti yang
diisyaratkan sosiolog Ignas Kleden (2004) yang memopulerkan istilah venalitas (venality), yakni gejala uang bisa digunakan
untuk membayar dan membeli hal-hal yang secara substansial tak mungkin bisa
dibeli dengan alat tukar uang.
Itu termasuk membeli hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan
amat bergantung pada uang. Sikap mental materialisme yang bertumpu pada uang
itu kini menjadi ideologi para pekerja dan pengabdi hukum kita (hakim, jaksa,
polisi, dan advokat) sehingga budaya venalitas itu terus memasuki ruang-ruang
yang dulu mungkin tak dapat dan tak lazim dibeli dengan uang. Hukum dan
keadilan i dealnya tak bisa di beli dengan uang, tetapi realitasnya uang
menjadi alat tukar dan daya tawar utama.
Wajarlah bila banyak institusi dalam dan luar negeri yang
mengkritik lemahnya moralitas moralitas lembaga lembaga hukum kita, salah
satunya dituturkan Price Water house Coopers
dan British Institute of International
and Comparative Law, 2001, serta Asian
Development Bank 2002, dalam Final
Report of the Governance Audit of the Public Prosecution Service of the Republic
of Indonesia, yang menutur kan insti tusi hukum ialah institusi demo krasi
Indonesia yang paling lamban dalam upaya mereformasi diri.
Membangkitkan
institusi hukum
Di titik inilah membangkitkan institusi hukum hukum dari
keterpurukannya memperoleh momentum tepat dengan pertama-tama mendorong aparat
hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dari intervensi kekuasaan eksekutif.
Harus diakui bahwa lemahnya kinerja aparat hukum selama ini dalam menuntaskan
aneka bentuk pelanggaran hukum, terutama kasus-kasus korupsi, disebabkan
lemahnya dan tak kuasanya di hadapan uang dan kekuasaan eksekutif (dari
presiden, gubernur hingga bupati/wali kota).
Faktor itulah yang menyeret institusi ini ke jurang nestapa
sehingga tak tegas menjalankan imperatif substansi hukum, yakni keadilan. Agenda
pembaruan berikutnya, ialah perlunya pengawas internal dan eksternal di institusi
penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat), seperti inspektorat
jenderal, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (Koja),
Komisi Yudisial (KY), dan Dewan Etik Advokat, didorong untuk memiliki
keberanian dan ketegasan dalam menindak para polisi, jaksa, hakim, dan advokat
`nakal' yang suka memperjualbelikan hukum dan keadilan dengan sanksi yang tegas
dan mengikat secara hukum.
Itu penting dilakukan sebab pengawasan tanpa diiringi
keberanian memberi sanksi sama maknanya dengan pengawasan `banci'. Kendati
untuk menuju ke arah keberanian komisi ini, melakukan proyek reformasi
institusi hukum juga harus diiringi kontrol masyarakat sipil dan media massa
secara intensif.
Yang tak kalah pentingnya dari agenda kebangkitan dalam
penegakan hukum itu ialah mendorong reformasi moral. Menurut Harkristuti
(2004), reformasi hukum jauh lebih utama bila dimulai dari reformasi moral
ketimbang peraturan dan pengawasan verbal. Karena itulah, aneka komisi itu dan
masyarakat sipil perlu terus mendorong lahirnya keteladanan moral dari pimpinan
puncak institusi hukum (Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua MA).
Cara itu diharapkan akan meretas hingga ke polisi, jaksa,
dan hakim di tingkat lebih rendah (provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan).
Dengan demikian, publik dapat segera menjumpai aparat-aparat hukum yang
profesional dan bermoral di semua ranah publik (desa dan kota). Bangkitnya
aparat hukum dari perilaku buruknya akan mencerminkan kebangkitan penegakan
hukum. Kelak lamban tapi pasti rakyat pun akan segera bangkit untuk memercayai
(trusty) aparat hukum dalam mengawal
geraknya roda keadilan. Di sinilah ditemukan relevansi kebangkitan nasional
dengan kebangkitan penegakan hukum di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar