|
Kekacauan
kultur ekonomi semacam itu pada akhirnya membutuhkan campur tangan negara.
Fakta
ekonomi global sekarang menunjukkan 50 persen perdagangan global diisi sektor jasa dan mampu
menyerap hingga 60 persen tenaga kerja di seluruh dunia.
Hal yang
tentu saja sudah bergeser dari era booming oil pada dekade 70-an ketika
negara-negara dengan soviet ekonomi tumbang dan investasi asing pada sumberdaya
alam tak terbarukan, terutama tambang minyak--merajalela sebagaimana tampak pada
penguasaan investasi asing di Indonesia; Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement, Newmont, Rio Tinto
dan Freeport di Indonesia.
Sektor
jasa telah mengisi 52 persen produk domestik bruto (PDB) di negara-negara
berpendapatan menengah. Bahkan, memenuhi hampir 60 persen PDB pada negara maju. Pendapatan sektor jasa di Indonesia menyumbang 50 persen
dari total PDB dan mempekerjakan 50 persen orang dari seluruh jenis pekerjaan.
Menyimak
kenyataan tersebut, ekonomi Indonesia seperti tengah berada dalam satu fase puncak liberalisme
dalam ekonomi kapitalis di mana sektor jasa mengisi hampir separuh dari
sendi-sendi ekonomi nasional.
Hal
yang mengkhawatirkan dan menjadikan potret tersebut ironis adalah karena kita
hanya menyumbang buruh murah bagi sektor jasa, sementara investor dalam negeri
maupun BUMN di sektor jasa sangat minim dan lemah daya saingnya.
Kendati
sektor jasa menyumbang cukup besar bagi pendapatan nasional, sebenarnya hal itu
masih menyisakan pertanyaan seperti ke mana keuntungan dari pendapatan nasional
paling banyak terkonsentrasi? Siapa yang paling mungkin mengakumulasi kapital
dan menikmati hasil surplus dalam sistem ekonomi liberal yang tak pernah
memiliki “motif” untuk mentransformasikan kelas-kelas ekonomi kecil untuk
menjadi lebih sejahtera?
Jika
ada sedikit—roti—yang disebut pertumbuhan, itu sama sekali tak menjangkau
rakyat di lapis bawah. Kemiskinan nyaris menjadi absolut karena sistem ini
memang tidak mengandung komponen transformasi sosial dan pengentasan kemiskinan
berkelanjutan.
Sistem
ekonomi liberal akan terus berupaya menjaga hegemoni atas situasi ekonomi,
penetrasi pada sistem ekonomi, oligarki dan bila perlu monopoli dalam akses
pasar dan produksi. Singkatnya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
Liberalisasi
Ekonomi
Setelah
mengalami pertumbuhan cukup kuat dibandingkan perekonomian negara ASEAN lain
tahun lalu, perekonomian Indonesia mendadak dikepung sejumlah persoalan yang
dapat mengancam laju pertumbuhan.
Kekagetan
ini bukan semata
pada fakta bahwa sampai kuartal I 2003 ini pertumbuhan ekonomi kita melambat
sehingga pemerintah harus berpikir keras dalam merencanakan pembiayaan melalui
perubahan APBN, namun lebih mengagetkan bahwa ternyata asumsi dan arah ekonomi nasional kita benar-benar telah
berorientasi sangat liberal-kapitalistik.
Mudah
saja menandai hal itu, yaitu ketika asumsi dominan dalam sistem ekonomi
nasional tak lagi merujuk pada basis perekonomian rakyat dan karakter ekonomi
nasional, melainkan sepenuhnya mengikuti tren perekonomian global.
Apakah
sistem liberal kapitalis benar-benar tak terhindarkan untuk Indonesia, sehingga
orientasi ekonomi “pertumbuhan” benar-benar telah mengabaikan fakta bahwa
ketimpangan ekonomi masyarakat benar-benar sampai pada titik nadir?
“Pemerataan” kesejahteraan ekonomi hanya mempertontonkan ketimpangan penguasaan
aset ekonomis dan akses minimal pada kesejahteraan.
Jumlah
orang miskin di Indonesia sekarang telah banyak dibicarakan, angka kelaparan,
kematian ibu melahirkan, gizi buruk; semua itu berlangsung di tengah target
pertumbuhan yang terus membuai kita semua dengan angka-angka ramalan PDB yang
seperti hanya pepesan kosong dan manis di angka saja.
PDB
nasional sampai kuartal I/2013 menunjukkan tren yang memperkuat asumsi
tersebut, yaitu ketika sektor jasa menjadi penyumbang terbesar PDB, sekitar 52
persen dari total PDB, angka yang jauh lebih tinggi dari yang bisa disumbang
sektor industri dan agribisnis. Sektor pertanian hanya bisa menyumpang pada
kisaran 15,14 persen.
Sementara
itu, di sektor perdagangan, kita benar-benar mengalami defisit
neraca perdagangan yang memprihatinkan dengan indikasi tingginya angka impor
dan pelambatan ekspor dalam banyak perjanjian kerja sama ekonomi-perdagangan
bilateral maupun multilateral.
Sebenarnya
tak terlalu mengherankan bila pertumbuhan ekonomi sampai pada kuartal tersebut
melemah menjadi hanya 6,02 persen atau terendah selama tiga tahun terakhir.
Dengan alasan utama pada pelambatanpertumbuhan
investasi, terutama investasi asing, sementara daya saing ekonomi nasional kita
sangat lemah.
Lemahnya
daya saing yang memprihatinkan bahkan untuk kawasan ekonomi terbatas ASEAN.
Meski akan memasuki era integrasi ekonomi pada 2015, kesiapan daya saing
Indonesia masih dalam kondisi yang rentan. Mengacu data Global Competitiveness
Report 2012-2013, daya saing Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 144
negara (Kompas, 29/4).
Peringkat
ini berada di bawah Singapura di posisi ke-2, Malaysia (ke-25), Brunei (ke-28),
dan Thailand (ke-38). Sementara itu, data indeks kinerja logistik dari Bank
Dunia 2012 mencatat, peringkat Indonesia masih di bawah Singapura yang berada
di posisi pertama, Malaysia (ke-29), Thailand (ke-38), Filipina (ke-52), dan
Vietnam (ke-53).
Kekacauan
kultur ekonomi semacam itu pada akhirnya membutuhkan campur tangan negara; kita
semua harus berhenti berilusi pada “tangan-tangan tak terlihat” (invisible hand) yang konon akan
membagikan dengan adil roti dari pertukaran ekonomi global; tangan itu mungkin
tak terlihat, tapi masalahnya adalah--ada yang mengendalikan.
Sekarang
waktunya bagi Indonesia untuk memperjelas arah pembangunan ekonominya; yang
terutama adalah dengan menata fondasi ekonomi berupa keadilan pada akses
pemilikan dan penguasaan sumber-sumber produksi strategis.
Dengan
demikian, dominasi investasi asing pada sumber daya alam dan sumber
daya manusia bisa dikendalikan untuk menjamin penguasaan negara atas
sumber-sumber ekonomi untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar