Sungguh malang
nasib majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah memutus
pailit Telkomsel. Mereka dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA) berupa
pencopotan status sebagai hakim khusus niaga serta dimutasi ke pengadilan
negeri yang kelasnya jauh di bawah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (baca Jawa Pos, 16 April
2013). Masalah yang sebenarnya masuk dalam ranah teknis yudisial digeser
ke ranah kode etik.
Sebagaimana diberitakan beberapa waktu lalu, PT
Telkomsel dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat karena bersengketa dengan salah satu mitra kerja samanya.
Namun, Telkomsel menempuh upaya hukum kasasi dan oleh majelis hakim
kasasi MA kepailitan Telkomsel dibatalkan. Selanjutnya, pemohon pailit
mengajukan peninjauan kembali (PK) yang sampai saat ini putusan PK
tersebut belum turun.
Putusan pembatalan pailit Telkomsel oleh majelis kasasi
MA sama sekali bukan hal baru dan bukan berita yang sensasional.
Persoalannya, kenapa hakim pemutus pailit Telkomsel yang putusannya
dibatalkan MA justru dikenai sanksi administratif tersebut?
Hakim sejatinya memiliki kebebasan dan imunitas
terhadap sanksi hukum, baik sanksi pidana, perdata, administratif, dan
bahkan sanksi etika, sepanjang putusan tersebut tidak dikotori tindakan
material seperti suap, gratifikasi, atau sejenisnya serta tindakan tidak
profesional (missconduct). Dalam kasus pailit Telkomsel, tindakan
material yang berupa suap dan/atau gratifikasi tidak mengemuka dan belum
terbukti ada tindakan ilegal tersebut.
Kasus pemailitan perusahaan raksasa yang menghebohkan
jagat Nusantara itu bukan kali pertama dialami Telkomsel. Sebelumnya ada
kepailitan Asuransi Manulife, Asuransi Prudential, dan PT Dirgantara
Indonesia. Semua kepailitan yang kontroversial tersebut telah dibatalkan
pada tingkat kasasi di MA. Semua hakim pemutus pailit pun tidak mendapat
sanksi seperti yang diterima majelis hakim yang memutus pailit Telkomsel.
Kita semua bersepakat bahwa vonis pailit terhadap
Telkomsel melanggar asas keadilan dan kepatutan, seperti juga kepailitan
Asuransi Manulife, Asuransi Prudential, dan PT Dirgantara Indonesia,
sehingga mesti dibatalkan. Namun, putusan pailit tersebut dimungkinkan
karena Undang-Undang Kepailitan memberikan peluang untuk itu. Artinya,
hakim dalam memutus pailit tersebut juga berpijak pada peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Kepailitan memang demikian permisif
menentukan syarat untuk bisa dipailitkannya subjek hukum. Undang-undang
hanya mensyaratkan dua hal. Yakni, debitor memiliki utang yang tidak
dibayar lunas yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih serta syarat
adanya minimal dua kreditor.
Dua syarat tersebut harus dapat dibuktikan secara
sederhana. Itu berarti, peraturan tidak mengindahkan solvabilitas
perusahaan untuk diputus pailit. Perusahaan yang sangat solven
dimungkinkan divonis pailit jika memenuhi dua syarat tersebut. Akibatnya,
perusahaan yang solven tidak dilindungi hukum dari musibah kepailitan
seperti Telkomsel itu.
Syarat permisif tersebut cukup membahayakan jika
perkara jatuh ke tangan majelis hakim yang tidak wise (bijak) dan adil, seperti dalam
kasus pailitnya Telkomsel tersebut. Namun, jika terjadi ketidakadilan
dalam memutus pailit terhadap perusahaan yang solven, masih ada benteng
keadilan di MA melalui upaya hukum kasasi. Tentunya, pailit yang tidak
adil tersebut akan dihadang dan dibatalkan MA. Jadi, itu semua murni
teknis yudisial dan bukan perkara etika yang tidak profesional.
Persoalan menjadi lain jika seandainya hakim pemutus
pailit Telkomsel bertindak missconduct atau tindakan pidana berupa
menerima suap atau gratifikasi. Dalam kasus ini, tidak atau
setidak-tidaknya belum terbukti adanya tindakan missconduct atau tindakan menerima
suap/gratifikasi atau sejenisnya. Karena itu, pembatalan putusan pailit
oleh MA sudah cukup untuk menghadang putusan pailit yang kontroversial
tersebut. Karena itu, diatur upaya hukum kasasi untuk membentengi putusan
pailit karena hakim niaga telah lalai atau salah menerapkan hukum.
Sanksi terhadap hakim yang memutus salah seperti
terhadap kasus pailit Telkomsel itu tentu akan menjadi momok bagi hakim
lainnya di kemudian hari jika hendak memutus pailit terhadap debitor.
Mereka akan dibayang-bayangi sanksi etika oleh lembaga. Jika terjadi
ketakutan seperti itu, tentu objektivitas dan independensi hakim ke depan
akan sangat terpengaruh.
Bukankah belum lama ini beberapa hakim agung dan hakim
lainnya telah mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam
UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang bisa
mengenakan sanksi pidana terhadap hakim atau penegak hukum lainnya yang
salah melakukan kewajibannya? Oleh Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan
itu dikabulkan, sehingga membatalkan pasal-pasal yang mengancam pidana
bagi penegak hukum yang salah atau tidak melakukan kewajiban hukumnya.
MK beralasan bahwa ancaman pidana bagi para penegak
hukum merupakan ancaman terhadap independensi hakim dan pada gilirannya
akan menimbulkan ketakutan serta kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas
dalam mengadili suatu perkara.
Biarlah para hakim diberi kebebasan dan kemandirian
dalam memutus perkara. Jika putusannya salah dalam menerapkan hukum,
masih ada upaya hukum di atasnya yang akan mengoreksi. Bila dalam memutus
itu hakim terbukti menerima suap atau gratifikasi, hukum yang
seberat-beratnya menurut UU Tindak Pidana Korupsi. Bila hakim nyata-nyata
melanggar etika dengan berperilaku tidak profesional, berikan sanksi
etika yang setimpal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar