Tanggal 23
April adalah tanggal simbolis untuk sastra dunia. Demikian UNESCO menulis
di laman resminya, www.un.org. Pada tanggal itu 396 tahun
silam, Cervantes, Shakespeare, dan Inca Garcilaso de la Vega meninggal.
Tanggal itu juga menjadi tanggal kelahiran atau kematian penulis
terkemuka lain, seperti Maurice Druon, K. Laxness Haldor, Vladimir
Nabokov, Josep Pla, dan Manuel Mejía Vallejo. Karena itu, pada 1995, saat
berlangsung Sidang Umum UNESCO di Paris, tanggal tersebut diputuskan
sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Dunia (World Book and Copyright Day).
Di Indonesia,
pertama kali World Book Day
(WBD) dirayakan adalah pada 2006. Diprakarsai oleh Forum Indonesia
Membaca. Pamrih terjauh penyelenggaraan WBD ialah membuka seluas-luasnya
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesadaran pentingnya buku dan
membaca. Serta mengapresiasi dunia perbukuan itu sendiri (bibliofil).
Dari pembaca, penulis, penerbit, komunitas pendaras buku, hingga para
pekerja buku. Semua terlibat, bukan hanya sebagai peserta, tapi juga
sebagai pembicara, pengisi acara, sekaligus pengunjung.
Sejak 2006
hingga 2011, perayaan WBD terpusat di Jakarta. Bahkan pada tahun-tahun
awal penyelenggaraan hanya dirayakan di Jakarta. Namun, sejak 2012, WBD
terselenggara tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah.
Termasuk pada 2013 ini. Sementara dahulu penggagas dan penggerak utamanya
adalah Forum Indonesia Membaca (FIM), kini bertambah lagi aktor penting
kampanye budaya baca di Indonesia—terutama dalam konteks pelaksanaan
perayaan WBD—yaitu Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) dan komunitas
literasi lainnya di luar FIM.
Sebagaimana
perayaan WBD 2012, 2013 ini pun pekat sekali dengan nuansa desentralisasi
literasi. Di daerah, para aktivis perbukuan, komunitas literasi, serta
para pegiat budaya baca yang terhimpun di Forum TBM menghelat beragam
program literasi. Perayaan dilakukan sejak awal April hingga akhir April
2013.
Sekadar
menyebut contoh, di Kabupaten Bandung, TBM Arjasari menghelat beragam
lomba. Dari pidato, mendongeng, mewarnai, sampai memasak nasi liwet
Nusantara. Uniknya, pemenang akan mendapatkan hadiah berupa beras
sekarung dan ayam siap potong.
Masih di
Kabupaten Bandung, di Desa Lebakwangi, TBM Ayah Salwa menggelar acara
bermuatan literasi lokal, yakni berupa lomba menulis surat dalam bahasa
Sunda yang ditujukan kepada Kepala Desa Lebakwangi. Selain itu, ada lomba
membuat cover buku dengan tema membaca dan TBM.
Di Surabaya,
Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI) menggelar tiga acara
menarik, yaitu unjuk bincang (talk show) bertema “Digital Library
as Unlimited Resources”, kunjungan ke beberapa perpustakaan di Surabaya (library
tour), serta Kelas Inspirasi tentang buku dan perpustakaan. Di Kelas
Inspirasi ini, YPPI menghadirkan Suherman, pustakawan terbaik se-Asia
Tenggara.
Di Yogyakarta, menandai perayaan WBD tahun ini, Forum TBM Yogyakarta
ambil bagian dalam proses pendirian, pengelolaan, sekaligus pembukaan (soft
opening) Perpustakaan Emha Ainun Nadjib. Bertempat di Rumah Budaya
EAN, serangkaian acara dihidangkan. Dari bertajuk “Perpustakaan dan
Seniman”, bedah buku, bincang-bincang bertema “Dunia Buku Saat Ini”,
hingga bazar buku.
Di Banten, TBM
Rumah Dunia menandai perayaan WBD tahun ini dengan menerbitkan 10 judul
buku karya relawan RD. Kesepuluh buku tersebut diterbitkan secara
swakelola (self publisher).
Tak kalah menarik adalah acara yang akan diselenggarakan oleh Forum TBM
Wilayah Banten, TBM Kedai Proses, dan Forum TBM Kabupaten Pandeglang,
yaitu berupa penampilan standup comedy literacy.
Layaknya dramatic reading kisah lucu yang khusus berkaitan
dengan keberaksaraan (literasi), tapi dengan menghafal dan improvisasi.
Tidak dengan membawa atau membaca buku.
Kegiatan
tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari usaha untuk secara pelan-pelan
memberikan pemahaman kepada khalayak, termasuk pengelola TBM bahwa budaya
lisan itu bukan lawan dari budaya baca, tapi justru akan memperkaya
budaya baca (teks). Jadi ada transliterasi dari teks ke lisan, dan dari
lisan ke teks.
Berderet TBM
dan komunitas literasi yang merayakan WBD di atas dapat saya perpanjang
lagi. Desentralisasi perayaan WBD ini dapat dimaknai sebagai bentuk
tengah bermekarannya kampanye membaca dan menulis di Indonesia. Mereka
memasarkan keberaksaraan secara spontan, partisipatif, kreatif, sekaligus
mandiri. Tidak menunggu bantuan dari pemerintah, baik daerah, terlebih
pusat. Kreativitas gerakan membaca yang mereka lakukan juga dapat
dicandrai dari penggunaan nama masing-masing TBM dan komunitas yang unik,
khas, dan beda. Dari Jala Pustaka (Pekalongan) hingga Pondok Maos
(Kendal). Dari Mentari Pagi (Blora) sampai Sindikat Baca (Bojonegoro).
Inisiatif para
pegiat TBM dan Komunitas Literasi merayakan WBD juga akan semakin
memahamkan khalayak luas bahwa gerakan membaca sekarang ini tidak mungkin
dilakukan sendiri-sendiri, tapi harus berbarengan. Berjejaring. Luasan
isunya pun tidak hanya terbatas pada satu dua negara tertentu, tapi
dunia. Jadi perayaan literasi, khususnya WBD yang mereka lakukan, tidak
lagi—meminjam istilah yang diperkenalkan Ketua Umum FTBM, Gol A.
Gong—dari kampung untuk Nusantara, melainkan sudah beranjak dari kampung
untuk dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar