Ketika DPR mengembalikan RUU Keamanan Nasional kepada Presiden SBY
dengan permintaan untuk lebih disempurnakan, sejumlah pertanyaan merebak.
Adakah yang salah dalam RUU itu? Atau, DPR sekadar ingin menunjukkan
bahwa DPR tidak begitu saja mengikuti kemauan Presiden?
Pertanyaan serupa bermunculan seiring dengan berbagai desakan,
terutama dari kalangan tertentu, untuk menolak RUU tadi. Namun, ketika
Presiden begitu determinan dan mengirimkannya kembali ke DPR dengan
permintaan agar DPR terlebih dahulu membahasnya, orang berpikir pasti ada
sesuatu yang penting yang diharapkan dari kehadiran RUU itu nantinya.
Baik dari segi politik maupun hukum, pengaturan soal keamanan nasional sebenarnya
memang penting dan perlu!
Masa kini dan nanti pun—ketika kita menabalkan diri dan pikiran,
atau ketika para pendiri negara merancang bahwa tujuan kemerdekaan adalah
membentuk negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur, dan menegaskan tugas pemerintahan negara yang dibentuk adalah
untuk antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, soal keamanan bagi segenap bangsa dan negara
sesungguhnya merupakan kebutuhan bangsa dan negara itu sendiri.
Penyelenggaraan fungsi keamanan adalah kebutuhan utama bangsa dan
negara, di samping memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Hal itu tersurat
dengan amat jelas dalam Pembukaan UUD sejak 1945. Karena itu, tidak perlu
bersusah-payah mencari padanan atau acuan dengan konsep national security
dari negara lain.
Segenap bangsa, seluruh rakyat, warga negara, dan pribadi
memerlukan perlindungan jaminan keamanan terhadap hak-haknya yang asasi,
hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan, juga keamanan
mereka sebagai satu entitas, eksistensi mereka sebagai satu bangsa.
Begitu pula, negara memerlukan keamanan, memerlukan jaminan bahwa ia
mampu menjaga dan mempertahankan eksistensinya, menjaga keamanan dirinya
dari apa pun dan dari mana pun asalnya, eksternal dan internal. Negara
membutuhkan jaminan keamanan agar selalu mampu menyelenggarakan tugas dan
fungsinya, yakni mewujudkan tujuan pembentukannya.
Kalau semua jujur dan mau berpikir tenang, sesungguhnya pengaturan
jaminan itulah yang justru sedari awal mesti kita wujudkan. Di sektor
negara, harus diakui bahwa setelah lebih dari setengah abad usia NKRI,
pengaturan untuk mewujudkan jaminan sebagai jabaran cita itu belum kita
wujudkan.
Sejumlah UU seperti Pertahanan Negara, TNI, dan Kepolisian
lahir bukan karena jabaran tadi, tetapi karena doktrin dan kuasa politik
yang senyatanya mengendalikan pikir dan kebutuhan dalam praktik kehidupan
masa lalu. UU Anti Tindak Pidana Korupsi, UU Anti Teror, UU Intelijen,
dan lain-lain yang selama ini ada di sektor publik justru semestinya
menjadi jabaran dari UU Keamanan Nasional, dan bukan sebaliknya.
Jaminan Keamanan Bagi Rakyat
Bagaimana dengan pengaturan jaminan keamanan bagi segenap
bangsa/rakyat/ warga negara/pribadi? Pengaturan dalam UU Pemilu,
Kepartaian, Keormasan, KUHP dan KUHAP, KUH Perdata, Perkawinan, Haki, dan
pengaturan di bidang usaha, serta perlindungan hak-hak yang asasi
sifatnya, bagaimanapun juga telah ada. Dengan segala kekuranglengkapan
atau kekurangsempurnaannya—dan dengan tetap memperhatikan sejarah,
pengalaman kolektif kita serta dinamika dalam kehidupan kebangsaan,
pengaturan yang hakikatnya memberi jaminan keamanan tersebut telah ada.
Namun, terlepas dari semua alasan dan kondisionalitas yang menjelaskan
keberadaannya, ataupun dari segi logika dan disiplin pikir, sebenarnya
juga jelas itu semua adalah dan semestinya merupakan jabaran konsepsi
keamanan yang harus diberikan negara kepada bangsa/rakyat, warga negara,
dan pribadi-pribadi yang ada di dalamnya.
Lantas, jika harus demikian, mengapa begitu banyak pihak menolak
RUU tersebut? Apakah ada masalah teknis perumusan dalam RUU yang
menimbulkan tafsir dan atau kekhawatiran tentang lingkup jangkauannya?
Ataukah, pengalaman dan sentimen sosial-politik masa lalu yang
memunculkan keraguan atau bahkan kecurigaan terhadap RUU ini? Tampaknya
demikian bila kita teliti menelaah RUU dan pola pikir yang
melatarbelakanginya. Alih-alih menjadi penjabaran dari konsepsi keamanan
nasional dari UUD yang sesungguhnya memang penting dan perlu, telaah
terhadap rumusan demi rumusan dalam RUU berikut naskah akademik yang
melandasinya mengantar kita kepada beberapa hal yang membuat kita
tercenung.
Pertama, RUU yang seharusnya berisi jabaran pertama terhadap citra
perlindungan bangsa dan negara ternyata lebih mengesankan sebagai
instrumen teknis untuk mengatasi gangguan terhadap keamanan, stabilitas
keamanan, dan kepentingan nasional. Kebutuhan instrumen legal untuk
mengatasi gangguan keamanan terasa lebih mewarnai RUU Kamnas. Gangguan
keamanan ini termasuk yang berasal dari kelompok bersenjata, tindakan
teror, atau tindakan pengacauan dan tindak kriminal lain yang mengguncang
keseimbangan dalam masyarakat, mengganggu ketenteraman umum, atau ancaman
terhadap pribadi, yang dari pengalaman dan kosakata kontemporer dirangkum
sebagai gangguan terhadap stabilitas, ketertiban, dan keamanan umum, atau
terhadap kelancaran pembangunan.
Kedua, pemikiran yang terfokus pada kebutuhan instrumen legal untuk
mengatasi ancaman dan gangguan keamanan serta pembangunan tampaknya telah
secara spesifik mendorong penyisipan akumulatif serta pengacuan terhadap
sejumlah peraturan perundang-undangan tentang pertahanan negara, TNI,
Kepolisian RI, terorisme, keadaan kedaruratan, dan lain-lain yang selama
ini dirasa akan menakutkan sebagian kalangan masyarakat.
Fokus terhadap penanganan ancaman dan gangguan keamanan yang
terlalu kasatmata pada saat yang sama juga menghadirkan pertanyaan dari
sisi perundang-undangan. Mengapa RUU Kamnas yang semestinya menjadi
jabaran utama dari konsep perlindungan dan keamanan bagi bangsa dan
negara malah terbalik seakan akan merupakan ”penarikan/pengangkatan”
berbagai norma dalam banyak UU yang seharusnya justru menjadi derivat
(R)UU Kamnas?
Soal Kamnas dan RUU Kamnas tak perlu harus selalu disintesiskan
dengan pengaturan keadaan darurat dan penahapannya. Penanganan gangguan
keamanan tak selalu harus menghadirkan penahapan keadaan darurat. Mungkin
ada kaitannya, tetapi tak selalu harus dikaitkan. Soal kedaruratan dalam
suatu negara dan penahapannya adalah kasus atau peristiwa yang
spesifik/istimewa, dan memerlukan pengelolaan khusus yang sejajar dengan
tiap penahapan di dalamnya. Begitu pula, RUU Kamnas tidak perlu harus
selalu dikaitkan dengan soal bencana. Bukankah soal keamanan tidak selalu
harus ada dan seiring dengan bencana, dan begitu juga sebaliknya?
Tak Fokus
Pencampuradukan di atas tidak hanya menjadikan RUU Kamnas tak
fokus, tetapi juga memunculkan beban yang berat. Oleh perancangnya, RUU
Kamnas seolah dimaksudkan seperti pengaturan sapu jagat untuk mengatasi
ancaman dan gangguan terhadap keamanan itu sendiri. Keamanan seyogianya
diberi pemahaman yang lebih luas dan ”sejuk” dari sekadar soal ancaman
dan gangguan serta tindakan teknis untuk mengatasinya. Keamanan tampaknya
mesti diberi konotasi awal sebagai perlindungan dan rasa aman/sejahtera
walau di ujung lain juga bermakna pertahanan dan penindakan. Perumusannya
lebih baik dibuat fokus dan tidak melebar hingga memberi pintu masuk
berbagai argumentasi yang bisa-bisa hanya membuat semuanya bingung dan
prosesnya lama. Lantas, bagaimana sebaiknya?
RUU Kamnas yang sejatinya penting dan perlu, dan sewajarnya
didukung semua elemen bangsa tanpa kecuali, tidak semestinya bermuatan
begitu luas hingga soal-soal ”cabang” tadi. Norma pokok yang semestinya
diteguhkan sebagai hak negara untuk melindungi diri dan eksistensinya
dari ancaman—baik dari luar maupun dari dalam, dan yang menjamin negara
agar selalu mampu menyelenggarakan fungsi dan tujuannya—itulah yang harus
menjadi materi muatan substantif. Demikian pula, kewajiban negara
menyelenggarakan jaminan terhadap hak-hak asasi, hak-hak
sosial-budaya-politik bangsa/rakyat/ warga negara atau pribadi-pribadi di
dalamnya (termasuk keikutsertaan mereka dalam bela negara).
Di sektor negara, sejumlah peraturan perundang-undangan seperti
Pertahanan Negara, TNI, Polri, Keadaan Darurat, Anti-teror, dan
Anti-narkoba adalah penjabaran, dan semestinya merupakan derivat dari UU
Kamnas; bukan sebaliknya, dan bukan pula harus menjadi UU yang sejajar
dengan perundang-undangan sektoral tersebut. Bahkan, sudah semestinya
jika semua peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan (R)UU
Kamnas.
Diperlukan sikap luwes pemerintah untuk bersedia dan terbuka menata
ulang konsepsi itu. Menteri Pertahanan secara terbuka menyatakan bahwa
RUU tersebut terbuka untuk penyempurnaan. Pikiran dan hati yang dingin
serta sikap kenegarawanan semua pihak diperlukan untuk bersama-sama
memperbaiki tanpa mempersoalkan menang-kalah. Secara politik, juga sudah
waktunya partai-partai politik yang selama ini berkoalisi sebagai
pendukung kritis pemerintah menunjukkan peran yang lebih konkret untuk
menyelesaikan RUU Kamnas itu. Bukankah yang akan dijabarkan adalah soal
yang prinsip, yang utama, dan yang justru langsung dari pokok pikiran
dalam UUD, dan semestinya sudah dilakukan dulu-dulu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar