Negara
sedang menghadapi persoalan penting berkaitan dengan keamanan yang
diperoleh warganya. Bagaimana mungkin empat tahanan yang berada di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/3), tewas
akibat diberondong timah panas oleh gerombolan bersenjata.
Kelompok
terlatih berjumlah 17 orang berhasil menerobos penjara dan menghabisi
empat tahanan itu hanya dalam waktu 15 menit. Siapa pun pelaku dalam
tragedi itu telah melenyapkan aspek penting dari kehadiran negara, yakni
otoritas negara dalam memonopoli kekerasan. Bahkan, pada peristiwa lain,
polisi yang seharusnya memiliki keabsahan untuk menjalankan daya paksa
fisik atas nama hukum justru dikeroyok massa.
Kapolsek
Dolok Pardamean Ajun Komisaris Polisi (AKP) Andar Yonas Siahaan yang
sedang menangkap pelaku judi diteriaki maling. Lebih dari seratus warga
yang terprovokasi, menganiaya secara brutal sang polisi hingga tewas
mengenaskan. Kejadian tragis itu berlangsung pada Rabu malam (27/3), di
Desa Dolok Saribu, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara.
Penjara dan
polisi adalah dua entitas penegak hukum. Namun, hukuman yang diberikan
negara bukan dimaksudkan untuk menyengsarakan warga. Penjara, dengan
berbagai kerangkengnya yang berfungsi membatasi kebebasan warganya yang
dinilai bersalah, merupakan instrumen kekerasan negara. Hanya, kekerasan
yang terdapat pada penjara dan daya paksa fisik yang dijalankan polisi
bukankah diarahkan untuk menghancurkan warga.
Semua paksaan
itu diadakan untuk merehabilitasi siapa pun yang melanggar norma-norma.
Ketika pihak yang dituding melanggar batas norma dibunuh kelompok
bersenjata dan polisi yang berwenang mengerahkan daya paksa malah tewas
dikeroyok massa, di manakah klaim negara terhadap monopoli kekerasan yang
dimaksudkan untuk menegakkan kebaikan?
Sebagai Instrumen
Kekerasan
otoritatif yang dimiliki negara kerap dipertanyakan. Untuk apa dan
siapakah kekerasan itu diarahkan? Kalau untuk alasan keamanan, siapakah
yang paling diuntungkan dari terciptanya keamanan itu? Kekerasan
merupakan perangkat yang memberikan keuntungan bagi satu kelompok yang
berhasil menunggangi negara untuk menyingkirkan kelompok yang lain.
Dalam posisi
demikian, negara tidak lebih sebagai instrumen bagi kaum dominan untuk
melenyapkan kelompok subordinat. Gagasan negara sebagai perangkat
kelompok dominan (kaum borjuis) untuk memecundangi kelompok tertindas
(kaum buruh) dikemukakan oleh Louis Althusser (1918–1990). Pada tradisi
Marxis, Althusser menguraikan, negara dipahami sebagai sebuah aparatus
represif.
Negara adalah
mesin penindas yang menjadikan kelas-kelas yang berkuasa mampu memastikan
dominasinya terhadap kelas pekerja untuk meraih keuntungan ekonomis.
Aparatus represif di sini ialah polisi, pengadilan, penjara, dan tentara.
Khusus pada tentara, Althusser memberikan catatan tambahan bahwa aparatus
ini menjadikan “kaum proletariat harus membayar pengalamannya dengan
darah”.
Dengan darah
atau bukan, perspektif Althusserian menempatkan negara tidak lebih
sebagai perkakas yang berguna membenarkan kepentingan segelintir orang
yang berkuasa. Pemikiran semacam ini selalu berprasangka bahwa negara
berwatak represif (menindas dan tiada lain kecuali menindas) serta tidak
memberikan keberpihakan bagi kebanyakan orang.
Apa yang
diabaikan sudut pandang ini adalah negara tidak pernah berbuat baik,
misalnya menyajikan rasa aman bagi warga masyarakat. Selain itu, jika
kekuasaan negara terus- menerus represif, bukankah warga makin memiliki
kesadaran untuk menjalankan perlawanan terhadap lembaga penindas ini?
Terancam Anarki
Gagasan lain
yang menyatakan negara identik dengan kekerasan dikemukakan oleh Max
Weber (1864–1920). Secara tegas, Weber menyatakan bahwa setiap negara
didirikan di atas paksaan. Jika tidak ada penggunaan kekerasan, secara
otomatis konsep negara akan musnah. Kenyataan yang ada hanyalah anarki,
sebuah keadaan yang sangat kacau.
Merujuk pada
asumsi itu, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah komunitas manusia
yang sukses mengklaim monopoli penggunaan kekerasan fisik yang sah (legitimate) dalam sebuah teritori
tertentu. Penekanan yang harus diberikan terhadap pemikiran Weber adalah
kekerasan yang digulirkan negara hanya bisa terjadi apabila ada
alasan-alasan pembenarnya. Kekerasan yang dilakukan negara berdasarkan
pada legalitas yang rasional.
Selain itu,
negara tidak boleh mendapatkan saingan dari lembaga-lembaga mana pun,
terlebih masyarakat, dalam menjalankan kekerasan. Jika ada aparat negara
yang melakukan kekerasan tanpa alasan yang jelas dan sama sekali tidak
mampu membuktikan dasar-dasar legalitasnya, maka negara sedang dalam
bahaya anarki. Lebih ironis lagi, apabila pihak yang menciptakan anarki
itu justru adalah aparat represif negara sendiri.
Ironisme
mengenai lenyapnya monopoli kekerasan negara, sebenarnya, telah berulang
kali terjadi. Gerombolan-gerombolan orang tertentu yang mengatasnamakan
kebenaran dan kepentingan agama yang secara agresif menyerang pihak-
pihak lain yang tidak disukainya, adalah bukti konkret betapa kekerasan
tidak lagi dimonopoli negara. Fenomena yang lebih buruk lagi adalah
negara memang “rela berbagi” dengan gerombolan-gerombolan yang menebarkan
kekerasan itu.
Negara
membiarkan karena institusi itu sudi digantikan kekuatannya oleh
gerombolan. Realitas itu menunjukkan bahwa anarki adalah ciptaan negara
sendiri. Anarki yang sesungguhnya merupakan musuh paling nyata negara dan
harus dibasmi negara justru menjadi sekutu paling akrab. Dalam situasi
semacam ini, pihak yang sangat dirugikan dan pasti mengalami ketersudutan
adalah kelompok minoritas.
Apa yang
disebut sebagai minoritas dalam lingkup negara kita bukan hanya mereka
yang secara kuantitatif berjumlah sedikit. Minoritas adalah kelompok
sosial yang paling sering menderita karena selalu mendapatkan prasangka
dan tindakan yang diskriminatif dari masyarakat maupun negara. Kaum
minoritas dipandang negatif dan mendapatkan perlakuan tidak adil karena
alasan kelas sosial, etnisitas, dan keagamaan.
Lenyapnya
monopoli kekerasan negara ternyata tidak saja mengorbankan kaum
minoritas. Para tahanan yang berada dalam penjara, daerah yang seharusnya
paling aman dari serbuan gerombolan dan amukan massa yang beringas,
ternyata bisa menemui kematian di ujung senapan kelompok terlatih.
Bahkan,
polisi yang bertugas menegakkan hukum pun tewas dalam genggaman
kebrutalan massa. Kita berharap semua kasus ini segera terungkap.
Monopoli kekerasan—yang selama ini lenyap dan akhirnya hanya menghasilkan
anarki—harus segera diambil negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar