Ketua Dewan Pembina
Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono pada konferensi pers di
Cikeas, Bogor, 8 Februari lalu, akhirnya mengambil alih kendali partai.
Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai, SBY menegaskan bertugas, berwenang,
dan bertanggung jawab memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Seluruh
mekanisme di PD harus melalui Majelis Tinggi Partai. Sementara, untuk
posisi Anas Urbaningrum, masih tetap menjabat sebagai Ketua Umum dan Wakil
Majelis Tinggi Partai serta diberikan kesempatan menghadapi masalah hukum
yang ditangani KPK.
Semenjak memegang kendali
ketua umum sejak Kongres Bandung 2010, posisi Anas Urbaningrum memang
rentan goyah. Apalagi setelah Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)
mengabarkan hasil surveinya, yang menyatakan bahwa tingkat elektabilitas PD
terus merosot dengan angka 8,3 persen, internal partai bergejolak hebat.
Sebagian elite partai dan beberapa menteri asal PD gerah dan menyuarakan
Ketua Dewan Pembina untuk turun tangan menyelamatkan partai. Sambil
sayup-sayup mereka juga mendorong Anas untuk mundur.
Suara internal yang
menghendaki Anas mundur bukan pertama kali terjadi. Sejak nama Anas
disebut-sebut dalam kasus mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin,
dengungan agar Anas mundur dari posisi ketua umum tidak pernah berhenti.
Penyebutan nama Anas dalam kasus korupsi dan terlibatnya beberapa kader
dinilai sebagai penyebab merosotnya tingkat elektabilitas partai. Namun,
sampai saat ini, sejauh suara yang menginginkan Anas mundur dimunculkan,
sejauh itu pula Anas masih bertahan.
Dengan kondisi internal
seperti itu, tidak bisa dimungkiri bahwa di PD kini terdapat dua blok yang
terang benderang dan saling bersinggungan: Anas dan non-Anas. Blok Anas
adalah mereka yang menyimpan optimisme bahwa Anas masih layak sebagai ketua
umum. Terhadap tuntutan Anas untuk mundur karena namanya disebut dalam
kasus korupsi, mereka memiliki pembelaan bahwa status Anas belum sebagai
tersangka. Sambil membela seperti itu, blok Anas juga giat melakukan
konsolidasi. Hasilnya, internal PD di akar rumput masih dalam
kendali.
Sedangkan blok non-Anas
bersandar pada pandangan, bagaimanapun disebutnya nama Anas dalam kasus
korupsi ikut mempengaruhi anjloknya popularitas dan elektabilitas PD.
Survei SMRC juga memperlihatkan bahwa di tengah kepuasan publik terhadap
kinerja Presiden SBY masih relatif tinggi, sebaliknya elektabilitas PD
justru merosot. Melihat hal itu, kehendak untuk menyelamatkan perahu PD
adalah harga mati. Blok ini menyodorkan solusi: Anas mundur merupakan cara
memulihkan citra partai.
Jika dilihat jejaknya,
dua blok dalam PD saat ini tidak bisa dilepaskan dari rembesan politik
Kongres PD 2010. Ketika tiga nama--Anas, Andi Alifian Mallarangeng, dan
Marzuki Alie--bersaing memperebutkan kursi ketua umum. Ketiganya memiliki
kelompok pendukung yang saling menegasikan. Meskipun, dalam
perkembangannya, ketiga kubu perlahan mencair. Tapi, seiring dengan
munculnya kasus korupsi yang melibatkan kader-kader PD, pengkubuan
menyempit menjadi blok Anas dan non-Anas, dengan masing-masing berpendirian
sikap: antara mempertahankan dan menggusur Anas.
Dalam upaya menggusur
Anas, blok non-Anas kerap memunculkan isu menonaktifkan atau menggelar
Kongres Luar Biasa. Isu KLB sejauh ini masih menjadi wacana yang sumir,
mengingat peraturan organisasi mensyaratkan bahwa KLB dapat dilaksanakan
atas permintaan Majelis Tinggi Partai atau sekurang-kurangnya 2/3 (dua per
tiga) dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah dan ½ (satu per dua) dari jumlah
Dewan Pimpinan Cabang. Persyaratan tersebut tentu tidak mudah karena Anas
masih memiliki basis pendukung yang tidak sedikit di daerah. Bukan tidak
mungkin ketika KLB digelar dengan tujuan menggusur Anas, situasi justru
akan berbalik menjadi pengukuhan posisi Anas.
Kini, meski sudah
mengambil alih kendali, SBY tampaknya masih berusaha timbang ulang untuk
tidak melangkah lebih jauh untuk mengganti ketua umum. Sebagai sosok yang
dicitrakan demokratis, tentunya tak mudah bagi SBY untuk mengganti Anas
tanpa mekanisme prosedural. Pertimbangan lain adalah jarak waktu menjelang
pemilu digelar kian pendek. Perubahan kepemimpinan partai tidak saja
membutuhkan konsolidasi yang panjang, tapi terbuka peluang munculnya friksi
atau perpecahan partai. Selain itu, solusi pergantian kepemimpinan juga
belum diiringi dengan pemunculan siapa kandidat yang pantas menggantikan
Anas. Lagipula, kubu non-Anas juga tidak memberi jaminan politik bahwa
menggusur Anas dari posisi ketua umum akan berkorelasi positif dengan
meningkatnya elektabilitas PD.
Harus diakui, dalam
perjalanannya, PD sebagai partai politik masih menambatkan ketokohan SBY
sebagai figur sentral. Pesona SBY telah menjadi daya tarik utama konstituen
PD. Ketokohan personal SBY telah menjadi kekuatan referen partai (referent
power). Preferensi seperti itu disadari juga kerap menggiring sebagian
kader partai untuk menempatkan posisi SBY sebagai figur pemecah kebuntuan.
SBY dianggap sebagai satu-satunya tokoh yang bisa menyelamatkan partai
ketika PD mengalami persoalan pelik.
Yang terjadi kemudian,
alih-alih membangun intitusionalisasi kepartaian modern dengan tidak
mengandalkan figur, di PD justru kerap mengarah pada jebakan pembentukan
fans club dengan mengukuhkan simbol personal. Padahal, pada 2014 PD tidak
serta-merta lagi hanya bisa mengandalkan simbol figur untuk mendulang
suara. Yang perlu dilihat, saat partai politik masih mengandalkan ketokohan
dan popularitas figur, di saat itu pula ancaman kehilangan daya tarik
konstituen menanti. Hal tersebut dimulai ketika figur utama partai surut
dari panggung politik atau mengalami degradasi ketokohannya.
Di titik lain, sejak Anas memegang posisi ketua umum,
secara diam-diam telah memunculkan sebuah situasi internal di mana partai
tidak boleh lagi bergantung pada satu figur sentral. Keberadaan seorang
figur politik yang dominan disadari kubu ini tidak akan bertahan begitu
lama. Karena itu, cita-cita membentuk PD sebagai partai modern bisa dimulai
dengan meminimalkan kekuatan referen: kebergantungan politik yang
berlebihan pada figur. Dengan kata lain, kubu Anas mencoba menggeser
pengaruh. Langkah seperti itu bukan tanpa hasil, karena jika dilihat dari
perhitungan kekuatan di tingkat pengurus akar rumput, kubu Anas masih
memperoleh banyak dukungan. Inilah yang membuat Anas tidak mudah didongkel
dari posisinya sebagai ketua umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar