Entah apa yang tebersit dalam benak Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) ketika menyaksikan reaksi Partai Demokrat atas hasil survei
terakhirnya.
Bisa jadi inilah ciri partai modern masa depan atau setidaknya akan menjadi
sebuah preseden bagi partai pemakainya yakni sebuah hasil survei bisa
menjadi dasar untuk mengamputasi otoritas ketua umum partai meskipun pemilu
legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) langsung belum lagi
dimulai. Lewat keputusan majelis tinggi partai, SBY mengambil alih
kepemimpinan Partai Demokrat.
Bagi publik, keputusan itu sebenarnya tidak mengagetkan, tetapi sekadar
sebuah penegasan kembali. Berbeda dengan partai pada umumnya, secara de facto otoritas ketua umum
berada di bawah ketua Majelis Tinggi, Dewan Pertimbangan, dan Dewan
Kehormatan yang dijabat SBY, penggagas dan pendiri utama partai. Bagi
publik, Partai Demokrat adalah SBY. Jika kita melihat ke belakang pada awal
kelahiran partai ini, di tengah kepengapan partai yang korup dan cupek,
ikon politik “santun, bersih, dan
cerdas” yang ditawarkan Partai Demokrat seperti mata air yang muncul di
tengah hamparan rumput kering.
Apalagi penggagas dan pendiri utamanya, SBY, dilihat publik sebagai orang
yang terzalimi karena hubungannya yang bermasalah dengan Presiden Megawati.
Pada Pileg 2004 Partai Demokrat langsung merangsek menjadi bagian dari
jajaran partai elite bersama dengan Partai Golkar dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Sang penggagas dan pendiri utamanya, SBY,
bahkan memenangkan pilpres langsung pertama. Prestasi tersebut semakin
dikokohkannya pada pileg dan pilpres langsung 2009.
Selain berhasil mempertahankan kedudukannya sebagai presiden,Partai
Demokrat juga menegaskanjatidirinya sebagai partai pemenang pemilu. Jelas
publik tidak keliru ketika memberikan aspirasi politiknya pada Partai
Demokrat. Sebagai presiden, SBY mampu menampilkan dirinya sebagai pemimpin
yang konstitusional meskipun untuk itu ia dikritik lawan-lawan politiknya
sebagai pemimpin yang lamban dalam mengambil keputusan.
Publik juga terkesima dengan komitmen dan konsistensinya pada persoalan
korupsi. Ini dibuktikannya dengan tidak melakukan intervensi politik dan
menyerahkan kasus korupsi yang menimpa besannya sendiri pada proses hukum.
Ibarat cuaca, naik-turun elektabilitas partai merupakan hal biasa.
Kecuali Partai Demokrat, setidaknya itulah yang dipahami partai-partai
lain.Tidak ada partai yang selalu berada di atas angin, kecuali partai
penguasa dari sebuah sistem pemerintahan yang otoriter. Tetapi, sejak
Pemilu 1999 Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai negara yang demokratis.
Saking demokratisnya, rakyat tak membubarkan Partai Golkar yang secara
historis menjadi mesin legitimasi dari rezim otoriter yang ditumbangkan
rakyat pada 1998.
Dibandingkan dengan variabel lainnya, korupsi telah menjadi faktor
terpenting yang memengaruhi naik-turun elektabilitas partai. Karena itu, tidak
ada partai yang tidak mengopinikan dirinya sebagai partai antikorupsi,
termasuk Partai Demokrat. Tetapi,fakta membuktikan bahwa tidak ada partai
yang terbebas dari korupsi. Sepanjang 2012 hasil penelitian ICW menyebutkan
hal itu dengan Partai Golkar sebagai partai terkorup (14 kader) dan disusul
Partai Demokrat (10 kader).
Sejauh ini kasus korupsi selalu dilakukan oleh kader partai. Belum ada satu
partai pun yang secara institusi dinyatakan terlibat dalam korupsi.
Demikian juga dengan kasus yang menimpa kader Partai Demokrat Mohammad
Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan Andi Mallarangeng.
Selain sebagai partai pemerintah, sorotan media dan publik yang sangat
besar terhadap kasus yang menimpa kader Partai Demokrat juga karena partai
tersebut merupakan partai yang paling giat menjajakan “jualan” politik
antikorupsi.
Dalam penegakan korupsi, Partai Demokrat termasuk yang paling maju sebab
tak ada kata “ampun” bagi kader yang telah dinyatakan sebagai tersangka.
Berbeda dengan partai-partai lain yang memperlihatkan pembelaannya dengan
beretorika. Namun, tak seperti partai lain juga, Partai Demokrat gagal
mereduksi persoalan korupsi sebagai persoalan pribadi kadernya dan bukan
persoalan partai. Yang terjadi justru saling tuding sehingga tidak salah
bila partai tersebut selalu menjadi bulan-bulanan media dan publik. Seperti
negara, partai bukanlah sebuah perusahaan.
Dengan kata lain, bukan milik pribadi atau keluarga, melainkan milik publik.
Karena itu, kesetaraan hak dan kewajiban di antara kadernya merupakan
sebuah keniscayaan. Hal tersebut juga disadari oleh para penggagas dan
pendiri Partai Demokrat. Setidaknya ini terlihat dalam Kongres Partai
Demokrat 2010. Meskipun mengunggulkan Andi Mallarangeng, mereka bisa
menerima kemenangan Anas Urbaningrum dalam memperebutkan posisi ketua umum
partai.
Kenyataan tersebut memperlihatkan eksistensi Partai Demokrat untuk menjadi
partai modern. Tetapi, eksistensi tersebut seolah menjadi runtuh ketika
otoritas ketua umum diamputasi lantaran opini publik yang menyebutkan turut
tersangkut kasus korupsi meskipun statusnya belum ditetapkan KPK. Dengan
itu, Anas sebagai ketua umum partai dianggap sebagai satu-satunya orang
yang harus bertanggung jawab atas elektabilitas partai yang terus menurun.
Dengan kata lain, hasil kinerja partai bersifat perorangan dan bukan hasil
bersama. Fakta bahwa secara de facto
kedudukan ketua umum subordinatif di bawah ketua Majelis Tinggi, Dewan
Kehormatan, dan Dewan Pertimbangan seolah ternafikan. Kebijakan SBY yang
mengambil alih kepemimpinan partai jelas telah menimbulkan tanda tanya
besar publik karena Partai Demokrat seperti orang yang memutar mundur arah
jarum jam, dari sebuah partai “modern” menjadi kembali sebagai “fansclub”.
Bagaimanapun bukan hak publik untuk menggugat hak internal dapur partai
tersebut, kecuali kader-kadernya. SBY sudah menegaskan bahwa siapa pun di
antara kadernya yang menentang keputusannya dipersilakan untuk mundur.
Meskipun tak memiliki hak intervensi, publik memiliki hak pilih dan caranya
sendiri dalam memberikan sanksinya. Bagi publik, media adalah penebar
keadilan, representasi suara hati publik. Sejauh ini banyak parpol yang
ditinggalkan publik karena dinilai tak melaksanakan tugas pokok fungsinya
dan tak memperlihatkan sikap demokratis.
Pelajaran pahit jelas harus diberikan publik pada partai yang lebih
mengedepankan “sok kuasanya” dan sifat “autisnya” (sibuk dengan kepentingan
dan kekuasaan saja) yang membuatnya ingkar janji dan mengabaikan aspirasi
rakyat sehingga keadilan dan kesejahteraan dilupakan. Pileg dan Pilpres
2014-lah yang akan membuktikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar