DALAM buku The Nature of the Non-Western World,
ahli sejarah lulusan Universitas Cornell, Dr Harry J Benda (1919-1971),
menyampaikan kekagumannya tentang perkembangan demokrasi di Asia Tenggara.
Menurut pendapatnya, negara-negara baru itu mampu mengatasi berbagai
pemberontakan, krisis ekonomi, dan sengketa politik. Lembaga-lembaga
demokratik yang dibangun berhasil mengadakan reformasi sosial.
“Miraculous,” katanya. Kesimpulan itu didapat setelah pengalaman bekerja di
perusahaan dagang Belanda di Jawa. Dia sempat bertemu dan banyak berdiskusi
dengan para cendekiawan setempat.
Ketertarikannya pada masyarakat setempat
makin mendalam dan membuat dia mengambil keputusan membangun karier atas
dasar studinya tentang itu. Benda menulis demokrasi di wilayah itu bisa
sukses karena terdapat banyak pemimpin yang penuh pengabdian. Keyakinan
para pemimpin itu akan cita-cita demokrasi dihargai dan dihormati sebagian
terbesar rakyatnya.
Lebih dari 55 tahun berlalu sejak Benda
mengungkapkan kekagumannya itu. Benda pasti nya tak bisa percaya bahwa
demokrasi Indonesia sedang mengalami cobaan sebesar sekarang. Cita-cita
demokrasi terganggu. Materialisme dan pragmatisme membalikkan arah
perjuangan demokrasi. Ada kegusaran dan kegelisahan dalam tahun politik
2013 yang situasinya makin panas.
Saling menjatuhkan antartokoh maupun
antarpartai politik, serta politik transaksional dan korupsi besar-besaran
yang mengiringinya, membuat demokrasi gonjang-ganjing. Dana kampanye luar
biasa besar lebih dibutuhkan, antara lain karena ibaratnya tak ada jabatan
tinggi publik tanpa suapan.
Politik
Transaksional
Skandal korupsi dianggap musibah bergilir
yang singgah ke partai politik masing-masing. Tokoh-tokoh partai
`kecipratan dosa'. Wajar bahwa perkembangan ini membangkitkan sinisme
masyarakat dan melemahkan posisi partai yang dibebani musibah. Korupsi
makin marak karena politik transaksional makin membudaya. Tanpa KPK,
kelemahankelemahan ini bisa lewat dari pengamatan dan terbebas dari
tindakan. Lebih-lebih bila hukum tidak peka terhadap kecenderungan ini.
Musibah itu lebih-lebih mengagetkan publik
bila partai yang tidak disangka-sangka ikut terkena. Dalam wawancara dengan
Metro TV beberapa waktu lalu, pernyataan psikolog bidang politik Hamdi
Muluk mengandung tafsiran, bagi partai politik yang mengatasnamakan agama
dalam menjalankan visi dan misinya, musibah itu justru ibarat peringatan
dari Allah. Itu bila dilihat dari sisi spiritualnya.
Korupsi bukan gejala baru. Bentuk korupsi
seperti suapan, pemerasan, dan nepotisme sudah ada sejak zaman dulu. Masyarakat
semaju apa pun mengenalnya. Yang serakah, yang pintar dan yang licik justru
pandai mengutak-atik taktik untuk mendapatkan dana besar dengan mudah.
Sebenarnya tidak kurang tokoh-tokoh sejarah
yang berusaha memberantas korupsi. Mereka ada di berbagai belahan bumi,
termasuk di Timur Tengah: seperti Imam Ahmad Ibnu Hanbal (780-855), tokoh
terkenal dalam ajaran Islam yang sering dianiaya dan dipenjara oleh
penguasa di zamannya dan yang memandang rendah jabatan hakim yang di
zamannya menjadi sasaran suapan. Juga Abdul Rahman Ibnu Khaldun
(1332-1406), ahli sejarah yang terkenal sebagai penentang korupsi, yang
pernah menjadi hakim dan berusaha menghapuskan korupsi, tetapi gagal dan
malahan dia dipecat. Tokoh yang disebut terakhir itu berkesimpulan, korupsi
menyebar karena reaksi berantai sikap ingin mewah.
Restorasi
Demokrasi Pancasila
Bila direnungkan, sebenarnya tidak ada
pembiaran atas perkembangan akhir-akhir ini. Pemerintah, masyarakat,
ataupun dunia politik tentu menyesalkan merebaknya politik transaksional. Korupsi
yang pada mulanya bangkit karena sikap mengejar kemewahan, sekarang
merajalela bukan demi kepentingan pribadi semata. Pendanaan kehidupan
politik membutuhkan biaya luar biasa; di luar kemampuan pelaku-pelaku
politik.
Mungkin itu yang menimbulkan asumsi bahwa
sistem perpolitikan di mana-mana cenderung menimbulkan praktik korupsi. Pun
memang benar bahwa partai-partai politik memerlukan dana besar. Menjadi
kewajiban partai politik, sebagai tiang demokrasi, untuk memberikan
pendidikan politik kepada jutaan kader dan puluhan juta konstituen. Ini
bagian idealisme dan komitmennya.
Namun, pendanaan yang berlebihan telah
menyelewengkan idealisme partai dan menzalimi demokrasi murni. Demokrasi
kemudian menjadi transaksi dagang kekuasaan. Dua tokoh pimpinan DPR,
Marzuki Alie dan Priyo Budi Santoso, dalam wawancara di Metro TV beberapa
waktu lalu ini mengajukan berbagai pendapat untuk mengatasi kecenderungan
memprihatinkan ini. Antara lain harus dipikirkan sistem pendanaan partai
politik dan strategi kampanyenya.
Dengan pemikiran bersama, diharapkan muncul
suatu sistem yang bisa meredam heboh di dunia perpolitikan kita. Seandainya
tidak terjadi campur aduk antara keserakahan untuk memuaskan kepentingan
pribadi dan dorongan kebutuhan politik, mungkin situasinya tidak separah
sekarang. Perkembangan yang menyalahi idealisme politik ini jelas menyalahi
demokrasi Pancasila.
Pada awalnya semua partai politik memiliki
idealisme luhur, masing-masing dengan cara yang dirasanya tepat untuk
mengusung visi dan misinya. Dalam perjalanan waktu, keluhuran dan sisi
spiritualnya berangsur terabaikan. Padahal sepanjang sejarah peradaban
politik semua bangsa, sisi-sisi itu menjadi bagian penting.
Bung Karno ketika dalam pidato pertamanya
di forum PBB memperkenalkan lima sila falsafah bangsa, dia mendapat
sambutan luar biasa. Khususnya pada saat menyebut sila pertama ‘Belief in God’. Dalam kehidupan
politik kita, demokrasi Pancasila mengandung pesan yang menunjukkan tujuan
bersama bangsa. Seharusnya demokrasi Pancasila selalu kita junjung tinggi;
bukan sebaliknya: kita menjadi larut dalam keserakahan mengejar kekuasaan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar