“Politicians are
the same all over. They promise to build a bridge even where they is no
river.“ (Nikita Khrushchev)
PARTAI Demokrat telah menggelar rapat pimpinan nasional
(rapimnas), Minggu (17/2). Meski merebak isu rapimnas boleh jadi
menggelinding ke kongres luar biasa (KLB) yang berujung pada pergantian
ketua umum, tekanan politik di internal partai dari kubu Anas Urbaningrum
sangat ofensif sehingga berbagai isu miring belum terbukti. Kubu Anas,
menjelang rapimnas tersebut, mengancam walk-out, demo besar-besaran, dan
membuat kerusuhan jika rapimnas keluar dari AD/ART partai.
Anas diminta mundur banyak pihak karena dugaan keterlibatannya dalam
kasus korupsi. Satu sisi dalam kacamata politik untuk menyelamatkan partai
dan sisi lain ketidakpercayaan publik itu sendiri yang memuncak pada sosok
Anas yang selama ini telah menjadi `incaran' KPK. Pascamundurnya Andi
Mallarangeng sebagai menpora dan penetapan dia sebagai tersangka oleh KPK,
tampaknya kasus korupsi kompleks olahraga Hambalang boleh jadi akan melebar
ke elite-elite Partai Demokrat lainnya.
Gerbong HMI
Kekhawatiran banyak pihak bahwa Anas akan melakukan langkah kuda-kuda
seandainya dirinya memang akan `disingkirkan' memang menjadi poin penting,
mengingat mungkin saja dia akan `membawa' gerbong Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) untuk melakukan perlawanan politik kepada SBY secara langsung dan
melakukan upaya-upaya delegitimasi secara masif terhadap Partai Demokrat.
Kekhawatiran itu beralasan, mengingat di internal kader Demokrat
sendiri memang banyak b bercokol alumni HMI sehingga s tampaknya Partai
Demokrat akan memiliki kendala yang cukup signifikan jika berkeinginan
`menyingkirkan' Anas.
Namun percayalah, intinya politik pun akan ditopang dengan
sendi-sendi dasar seperti nilai kebenaran. Dalam arti, jika memang Anas
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atau menjadi `tersangka' KPK,
memang sudah sepatutnya dia harus tergeser secara otomatis. Apalagi jika
Partai Demokrat ingin kembali menarik simpati massa di Pemilu 2014.
Pembangunan kepercayaan tampaknya harus dimulai dari sekarang.
Tak ada lagi gerbong-gerbong politik seperti HMI, yang mencoba
`membela' kebatilan politik, jika Anas memang bersalah, karena publik atau
siapa pun akan menghakiminya secara otomatis. Kebatilan politik tak akan
bisa bertahan meski ditopang sebuah kekuatan atau gerbong politik yang
kukuh karena akan berhadapan secara langsung dengan publik.
Kasus Hambalang yang melibatkan nama Anas dimulai saat kicauan mantan
Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan semakin
dikuatkan dengan pengakuan Mindo Rosalina Manulang saat sidang di
pengadilan. Seperti publik mengetahui, Partai Demokrat diterpa badai
politik yang bertubi-tubi akibat kicauan Nazaruddin. Yang paling serius
tentu saja soal `dana haram' yang mengalir saat Kongres Partai Demokrat,
ketika Anas Urbaningrum terpilih sebagai ketua umum. Bagi Nazaruddin, Anas
seakan menjadi musuh utama.
Dengar saja percakapan Nazaruddin saat diwawancara salah satu
televisi swasta. “Keluarga saya
hancur. KPK boleh periksa adakah dana APBN barang sepeser pun yang masuk ke
rekening pribadi saya. Ini semua atas perintah Anas, dia menang di kongres
menggunakan dana APBN dari proyek Jakabaring dan Hambalang. Saya kecewa
pada Anas Urbaningrum, padahal saya dukung dia saat kongres.”
Nada emosional dan sentimental Nazaruddin itu tak urung membuat Anas
Urbaningrum menanggapinya. Anas meyakini Nazaruddin telah ditunggangi
seseorang yang bertujuan mencemarkan dan menjelekkan nama baiknya.
Politik
Arus Bawah?
Di
kalangan pemerhati, sebetulnya apa yang disangka dan didikte Nazaruddin
soal tim sukses Anas telah melakukan `politik uang' saat Kongres
Partai Demokrat bukan merupakan hal yang aneh. Justru saat Anas melakukan
apologidefensif bahwa haram baginya melakukan politik uang, hal itu
menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, apakah Anas sedang berbohong? Kedua,
ataukah dia memang terlalu suci dalam arus kekuasaan politik sehingga
keterpilihannya sebagai ketua umum memang melalui proses yang dia sebut
sebagai dari `arus bawah'?
Kemungkinan
terpilihnya Anas dari `arus bawah' atau dalam bahasa lain melalui mekanisme
bottom-up sangat sulit untuk bisa
diterima logika di tengah perilaku politik bangsa ini yang sangat
memprihatinkan. Jangankan semacam pemilihan ketua umum dalam partai besar,
untuk pemilihan pengurus DPD atau DPC saja, aroma politik uang itu sangat
kental terasa. Siapa yang punya duit dimungkinkan akan berkuasa, itu logika
dan budaya politik yang publik pahami sekarang ini.
Argumen itu diperkuat lagi melalui testimoni beberapa mantan pengurus
daerah dan cabang Partai Demokrat di beberapa daerah, yang sempat
diwawancarai stasiun televisi swasta. Dalam pengakuan mereka, jelas bahwa
Anas dan tim suksesnya menggunakan `politik uang'. Salah satu mantan
pengurus dari Jawa Tengah bahkan menyebut politik uang yang dimainkan tim
sukses Anas dianggap tidak wajar; meski beberapa elite Demokrat menepis itu
hanyalah golongan atau kelompok sakit hati saja.
Melalui hantaman politik dari Nazaruddin, pertanyaannya ialah
mampukah Anas dapat keluar dari situasi politik yang kini tengah
membelitnya? Pasalnya, Partai Demokrat tampaknya mengalami perpecahan
internal, antara mereka yang masih menginginkan Anas meneruskan kinerjanya
sebagai ketum dan mereka yang menghendaki Anas mundur saja.
Banyak pihak di Demokrat berharap isu yang terus menerpa
partai tersebut terkait dengan apa yang terungkap dalam persidangan kasus
hukum terhadap Nazaruddin cepat selesai. Dengan demikian, itu bisa
mengembalikan kepercayaan publik terhadap citra positif partai yang selama
ini sudah terbangun dalam kesadaran mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar