SEBAGAI tokoh sentral partai yang menguasai tiga posisi
penting dan strategis--Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua
Dewan Kehormatan partai Demokrat--bahkan status sebagai pendiri dan patron
tunggal partai, ternyata SBY tak cukup punya kesaktian untuk melumpuhkan
Anas-seorang political disciple yang ia besarkan sendiri. Psikologi politik
yang dibangun SBY ketika menyampaikan pidato penyelamatan Partai Demokrat
dengan mewajibkan para kader untuk menandatangani pakta integritas sangat
jelas menunjukkan bahwa SBY berupaya mengamputasi otoritas Anas selaku
ketua umum. Ketika berpidato, dengan tegas SBY mengatakan seluruh kewenang
an ketua umum diambil alih oleh majelis tinggi partai, yang oleh publik
dipahami sebagai tindakan political disarmament.
Jika ada hal yang membuat SBY sedemikian yakin dalam pengambilalihan
kewenangan ketua umum melalui langkah terselubung--penyelamatan partai dan
penandatanganan pakta integritas--adalah ketika SBY mengetahui kebocoran
draf sprindik KPK yang menyebut Anas telah berstatus tersangka sebagai
penerima gratifi kasi dalam skandal Hambalang. Karena itu, dalam pidato
penyampaian pakta integritas, SBY mempersilakan Anas untuk sepenuhnya
konsentrasi dalam menghadapi kasus hukum yang sedang ditangani KPK, yang
diduga kuat melibatkannya. Untuk memelihara fatsun politik, SBY bahkan
menyebutkan dewan pimpinan partai akan menyediakan bantuan hukum bilamana
diperlukan.
Dalam konteks pertarungan politik, pidato penyelamatan partai oleh
SBY sejatinya merupakan pre-emptive strike untuk menaklukkan Anas. Namun,
kesalahan fatal justru terjadi ketika draf sprindik disebarluaskan ke media
massa, yang diduga dilakukan lingkaran dalam istana. Tak pelak,
penyebarluasan sprindik itu memicu turbulensi politik nasional yang arahnya
sama sekali di luar kontrol para elite Demokrat dan para punggawa istana.
Di pihak lain, gejolak politik di internal Demokrat kian memuncak seperti
desakan dari elemen-elemen fungsionaris partai dan elite-elite senior
Demokrat agar Anas mundur.
Dengan penuh keyakinan dan sikap tenang yang luar biasa—kerap mengundang
decak kagum-Anas melakukan manuver politik menawan melalui dua langkah
taktis. Pertama, memobilisasi para loyalis dan DPD untuk bersuara keras dan
melakukan perlawanan sengit terhadap setiap upaya melengserkan dirinya dari
posisi ketua umum, melalui cara-cara yang bertentangan dengan AD/ ART
partai. Kedua, sehari menjelang rapat pimpinan nasional (rapimnas), Anas
menyempurnakan manuver politik cantiknya dengan menggerakkan perwakilan DPD
untuk mengajukan petisi politik, yang salah satunya berisi ancaman walk-out bila rapimnas diarahkan
menuju KLB untuk menggusur Anas.
Manuver politik cemerlang yang ditempuh Anas membuat SBY berpikir
ulang. Ia pun memutar haluan ketika rapimnas berlangsung Ahad (17/2) lalu,
yang sama sekali tidak menindaklanjuti isi pidato pengambilalihan otoritas
Anas selaku ketua umum. Bahkan Ulil, Rachlan, Didik, dkk, yang menyerukan
penggantian nakhoda partai, pun dikabarkan mendapat teguran dari majelis tinggi
partai.
Serangkaian manuver politik Anas itu berlangsung sangat efektif dan
mampu menangkal serangan lawan-lawan politiknya yang berusaha menggulung
Anas dengan menunggangi kasus skandal Hambalang yang melilitnya. Namun,
mengingat mereka tak punya cukup keterampilan politik, bahkan kemampuan
berpolitik mereka jauh di bawah Anas, mereka meminjam tangan dan memanfaatkan
kewibawaan SBY untuk bertarung melawan Anas.
Gejolak politik internal Demokrat ini sejatinya merefleksikan
pertarungan tingkat tinggi Anas versus SBY, dan Anas secara brilian mampu
menetralisasi preemptive strike
yang dilancarkan elite-elite senior Demokrat yang berlindung di balik
kekuatan SBY.
Setelah pertarungan politik berujung di rapimnas yang berakhir dengan
`kemenangan' di pihak Anas, pertanyaan selanjutnya: seberapa lama daya
tahan Anas dan sampai kapan ia mampu menghadapi kekuatan-kekuatan politik
internal Demokrat yang terus berupaya menggesernya? Saksikan, Anas telah
mendemonstrasikan kepiawaiannya dalam berpolitik dan membuktikan betapa
dirinya sangat kuat di akar rumput sehingga kekuatan setingkat SBY pun tak
mampu melumpuhkannya. Meskipun DPD-DPD telah diundang ke Cikeas untuk
menetralisasi pengaruhnya, Anas mampu mempertontonkan betapa dirinya adalah
pemimpin partai yang efektif mengontrol organorgan partai sampai di tingkat
DPD dan DPC.
Apakah ini berarti Anas tak terkalahkan bahkan oleh SBY sekalipun?
Dalam pertarungan politik tingkat tinggi, tentu saja Anas dapat
dikalahkan--bukan oleh SBY, melainkan oleh KPK. Bila KPK dapat segera
memastikan status Anas sebagai tersangka, karier politikus belia bertalenta
tinggi itu akan berakhir pada 2013. Namun, pertarungan politik tersembunyi
tampaknya akan berpindah ke kantor KPK terkait status hukum Anas.
Indikasinya dapat dibaca dari perubahan sikap salah seorang pemimpin
KPK--Adnan Pandu Praja--yang mencabut tanda tangan persetujuan sprindik
atas nama Anas. Sekalipun bukti-bukti penerimaan gratifikasi oleh Anas
diakui sudah di tangan KPK dan dianggap telah memenuhi unsur untuk
dilakukan penyidikan, KPK belum bulat menyepakati status Anas sebagai tersangka.
Bahkan Adnan berargumen bukan level KPK untuk menangani gratifikasi mobil
Toyota Harrier yang (hanya) senilai Rp500-an juta. Tak ayal, publik
berspekulasi ada kekuatan tersembunyi (invisible
power) yang berusaha mencegah agar Anas tidak sampai berstatus
tersangka.
Di sini, KPK menghadapi ujian integritas ketika
menangani kasus-kasus korupsi politik yang melibatkan high profile politicians seperti skandal Hambalang. Bila KPK
lolos ujian integritas dengan menunjukkan sikap imparsialitas pada Anas
Urbaningrum seperti halnya pada Andi Mallarangeng, lembaga antirasywah itu
akan menjadi pahlawan di mata publik. Dalam perang melawan korupsi, KPK
merupakan satu-satunya kekuatan yang mampu mengalahkan tokoh politik
tangguh, yang bahkan seorang Presiden Yudhoyono sekalipun tak mampu
menaklukkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar