Di tengah gerakan politik yang seolah menjadi sebuah
gerakan suci memperjuangkan nilai-nilai transendental, Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) mau tidak mau masuk nalar kerja-kerja imanensi, terlibat
dalam persekongkolan merkantilis yang terkomodifikasi dalam kelembagaan
partai politik. Penangkapan mantan Presiden PKS, LHI, menjadi gambaran
penting bagi publik bagaimana sebenarnya partai-partai di negeri ini
dikelola. Penetapan tersangka terhadap presiden partai mengkonfirmasi nalar
pengelolaan partai yang merkantilistik setelah kasus Nazaruddin yang terus
merembet hingga saat ini.
Dalam merkantilisme politik, sebuah partai
akan menjadi kuat jika mempunyai harta atau logistik politik yang
berlimpah. Artinya, kekuatan kelembagaan partai politik tidak hanya dilihat
melalui jumlah suara yang diperoleh, atau basis massa loyal yang dimiliki,
tapi juga penting bagi mereka untuk memiliki cadangan logistik yang
berlimpah agar secara maksimal menggunakan ruang-ruang kompetisi dalam
agenda elektoral yang demikian liberal dan transaksional.
Merkantilisme partai politik terjadi karena
dua alasan penting. Pertama, demokrasi elektoral yang terjadi di Indonesia
dilihat sebagai sebuah agenda jual-beli musiman. Layaknya dalam tradisi
musim ataupun periode perdagangan dalam relasi sosial kita. Seperti, ketika
warga desa berbondong mengerumuni persimpangan jalan untuk memperdagangkan
barang-barang yang dimiliki tiap hari pasar Pon, Wage, Kliwon, Legi,
Pahing, dalam penanggalan Jawa. Periode perdagangan elektoral diadakan
setiap lima tahun. Hasilnya, kalender menuju musim jual-beli adalah kalender
merkantilistik yang paling sibuk dengan merampas dan menjarah APBN di
setiap pos kementerian yang dimiliki masing-masing partai berdasarkan jatah
kementeriannya. Inilah politik kartel karena partai sudah berdamai untuk
tidak saling mengganggu lapak di tiap kementerian yang dimiliki.
Kedua, perilaku pemilih yang semakin
pragmatis sehingga menyebabkan kian rendahnya pemilih loyal. Dalam banyak
survei perilaku memilih sepanjang 2012, angka pemilih mengambang lebih dari
50 persen, dan mencapai angka 60 persen dari total responden. Dalam kondisi
seperti ini, partai politik memerlukan modal yang tidak sedikit untuk
menarik pemilih secara instan menjelang pemilu. Penghimpunan dana melalui
mekanisme internal hanya cukup untuk memastikan aktivitas organisasi partai
tetap berjalan, tapi sangat tidak cukup untuk menggerakkan partai bertarung
di dalam ruang-ruang demokrasi yang demikian traksaksional. Alhasil, logika
merkantilisme dengan pengumpulan modal sebanyak-banyaknya adalah cara
terbaik untuk mengamankan pertarungan dan menciptakan bargaining politik
antarpartai. Soal massa dan pemilih dilihat sebagai konsekuensi dari
mobilisasi dan distribusi logistik ke publik.
Walaupun demikian, jika kita melihat, pada
dasarnya PKS adalah partai santri perkotaan yang dikenal justru mempunyai
militansi gerakan, karena semangat ikhwah (persaudaraan) dibangun melalui
jejaring-jejaring kaderisasi sel di banyak institusi, seperti lembaga
pendidikan (sekolah, perguruan tinggi), institusi pekerjaan (perusahaan,
perkantoran, dan lembaga negara), serta institusi sosial (rumah, kelurahan,
masjid). Berbeda dengan partai-partai Islam berbasis santri pedesaan (PKB,
PPP) yang meletakkan loyalitas kader pada ceramah-ceramah kiai di setiap
pesantren. Jadi, baik dalam bayangan publik maupun deklarasi partai, PKS
adalah partai jemaah yang sebenarnya mampu menghimpun pendanaan organisasi
partai melalui loyalitas anggota. Namun masuknya PKS di “ruang penjagalan
sapi” mau tidak mau menciptakan kesadaran publik terhadap sifat
merkantilistik partai.
Kasus yang terjadi dalam sengkarut proyek
Menteri Pertanian adalah bentuk penjatahan dan negosiasi antarpartai.
Artinya, koalisi bukan soal pembagian jatah posisi menteri, melainkan
pembagian jatah insentif politik melalui pos kementerian yang dimiliki tiap
partai. Hal inilah yang menjelaskan hampir tidak ada politikus di luar PKS
yang bermain dalam impor daging. Hal ini pulalah yang menjelaskan hampir
tidak ada politikus lain dalam kasus Wisma Atlet dan Hambalang di luar
Partai Demokrat.
Negara dibajak dengan menggunakan logika tribalistik.
Artinya, kasus daging sapi dilihat sebagai destruksi eksternal terhadap
sebuah kelompok politik yang bersifat komunal. Komunalisme tercipta karena
sistem kekerabatan di dalam partai telah dibangun dengan menggabungkan
doktrin agama soal siyasah Islamiyah (berpolitik dalam Islam) dan ukhuwah
(relasi “persaudaraan”) melalui sel-sel kaderisasi yang sangat ketat dari
level kader tingkat akar rumput dalam institusi-institusi pendidikan dan
perkantoran hingga di level pusat dalam bilik-bilik gedung Senayan.
Model kekerabatan dengan acuan doktrin agama
digunakan untuk memastikan loyalitas massa. Akhirnya, hal ini menciptakan
respons komunal layaknya sebuah tribal atau suku yang merespons adanya
musuh yang mendekat dan mengobrak-abrik harmoni kekerabatan para kader. Tak
ubahnya, penangkapan LHI oleh KPK disebut sebagai sebuah konspirasi. Kader
seolah tetaplah suci dan bersih dari bentuk-bentuk penistaan politik apa
pun, sehingga konspirasilah yang paling bersalah. PKS, yang mendeklarasikan
sebagai partai dakwah dan partai bersih, akhirnya justru merespons dengan
gegap-gempita dan tidak terima kader terbaiknya disebut sebagai koruptor. Jamak
kita ketahui bahwa PKS bergerak menggunakan dua motif utama: agama dan
persaudaraan.
Partai menjadi jalan dakwah dalam doktrin
ini, tapi perilaku partai ternyata tetap. Artinya, sekuat apa pun doktrin
agama yang digunakan sebagai dasar operasionalisasi partai, kanal keuangan
partai mengalir melalui orang per orang. Personalisasi akhirnya menjadi
lumrah dalam budaya politik kita. Setiap kader partai dengan jatah jabatan
publik adalah agen-agen merkantilis yang terus berusaha mengumpulkan koin,
tapi di sisi lain selalu ada komisi yang ditentukan secara individual.
Sekuat apa pun mendeklarasikan diri sebagai
partai dakwah yang bersih dan peduli, PKS tetap masuk interdependensi
perdagangan elektoral antara supporter
dan player, sementara voter
tinggal sebagai basis legitimator pemenang tender dan lelang jabatan
publik, baik di level legislatif maupun kursi eksekutif. Partai politik
akhirnya menjadi aktor-aktor merkantilis yang memperdagangkan merek ataupun
komoditas dalam pasar-pasar pemilu lima tahunan sebagai arena vox mercari ataupun arena untuk
mempertukarkan rupiah dengan suara.
Partai yang bernasib seperti PKS akhirnya
berpotensi menjadi melting pot party
karena akan menciptakan migrasi politik dalam pengelolaan partai yang
semakin akomodatif terhadap variasi masyarakat yang multi-aliran dan paham.
Dalam kondisi seperti ini, demokrasi konsesional ala Arend Lijphart (1968)
tidak akan kita temui, karena pemilahan sosial tidak serta-merta terefleksi
dalam praktek politik kepartaian. Masyarakat Islam tidak sedang
direpresentasikan oleh partai Islam, karena entitas politiknya tak lebih dari
legitimator kekuasaan melalui
suara dalam pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar