Banjir
akan segera berlalu. Begitu ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG). Meski hujan diperkirakan masih terus turun pada Februari
ini, langit Jakarta memang mulai cerah.
Orang-orang dan
media mulai lebih banyak membicarakan hal lain. Banjir akan segera
terlupakan. Sebagaimana orang lupa bahwa banjir sesung-guhnya merupakan
tanggung jawab pemerintah pusat. Tanggung jawab inilah yang belum berjalan
dengan baik. Pada kasus banjir besar Jakarta, misalnya. Pemerintah pusat
merespons dengan rencana pengalokasian anggaran sebesar Rp2 triliun.
Perincian
penganggaran ini masih ditunggu kelanjutannya. Namun, respons ini
menunjukkan cara berpikir penanggulangan bencana banjir yang berorientasi
pada akibat, bukan penyebab. Padahal, dalam kasus banjir menahun dan
berulang, penanganan harus secara komprehensif. Sorotan terhadap banjir
yang cenderung pada sisi tanggung jawab pemerintah daerah pasti tak akan
menyelesaikan masalah, sebagaimana yang selalu terjadi selama ini.
Pemda mempunyai
keterbatasan dalam menangani bencana yang penyebabnya bersifat
antarwilayah. Fokus mereka akan lebih banyak pada mengatasi akibat dan
terbatas pada sisi sebab. Yakni, sebab-sebab yang berada di wilayah mereka
sendiri. Selebihnya, tanggung jawab pemerintah pusat. Banjir Jakarta
disebabkan oleh curah hujan yang turun di Jakarta dan yang turun di wilayah
Jawa Barat.
Jakarta dapat
mengatasi masalah genangan air dengan sanitasi, resapan, kanalisasi,
rehabilitasi sungai, danau, hujan buatan, dan sebagainya. Pemda juga berkewajiban
mendidik masyarakat agar berperilaku yang sesuai dengan kondisi alam,
antisipatif terhadap banjir, penghijauan, dan sebagainya. Seluruh
penanganan yang dilakukan oleh Pemda Jakarta berada pada sisi tengah dan
akhir, tak sampai ke hulu yang terkait dengan akibat hujan yang turun di
wilayah Jawa Barat dan rusaknya daerah konservasi serta tangkapan air di
wilayah ini.
Air dari
wilayah ini mengalir ke Jakarta, terutama dari daerah Bogor. Penanganan
tengah dan hilir akan selalu terbebani oleh kondisi di hulu. Secara
alamiah, Jakarta terletak di wilayah yang lebih rendah dan langsung
berhadapan dengan laut. Di beberapa wilayah tepi pantai, tanahnya lebih
rendah dari permukaan air laut. Maka, Jakarta tak dapat menangani masalah
banjir sendirian. Kerja sama dengan Jawa Barat dan Banten menjadi wajib.
Kedua wilayah
ini juga punya kepentingan ekonomi dan kemasyarakatan dengan Jakarta.
Koordinasi mereka akan berhadapan dengan dua hal,yakni lingkungan alam dan
lingkungan buatan. Kedua bagian ini sekarang dalam kondisi saling
melemahkan. Lingkungan buatan mengakibatkan gangguan pada lingkungan alam,
balasannya lingkungan alam memberi gangguan pada lingkungan buatan. Jawa
Barat dan Banten sudah lama menghadapi masalah ini dan belum berhasil
menyelesaikannya. Kondisi pun terus bertambah buruk.
Diperlukan
sebuah perencanaan menyeluruh bagi ketiga wilayah ini. Di titik inilah
pemerintah pusat mestinya berperan besar pada pelaksanaannya. Pemerintah
punya rencana umum tata ruang (RUTR) disertai dengan turunan dan berbagai
persyaratan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Tujuannya, agar
pembangunan selaras dengan kepentingan alam yang disebut pembangunan
berkelanjutan, agar lingkungan buatan tidak merusak lingkungan alam, dan
agar pembangunan sesuai dengan daya dukung alam, sehingga saling
menguatkan. Khusus untuk wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur terdapat
kekhasan penanganan tata ruangnya yang dikenal dengan RUTR Wilayah Bopunjur
melalui tiga Keputusan Presiden (Keppres No.48/1983,Keppres No.79/1985,
Keppres No.144/1999),Peraturan Pemerintah (PP No.47/1997), dan Peraturan
Presiden (Perpres No.54/2008).
Secara umum,
keppres tersebut menyatakan kawasan Bopunjur sebagai wilayah konservasi dan
tangkapan air yang harus ditangani secara khusus. PP No.47/1997 memperkuat
peruntukan wilayah Bopunjur dengan menyebutnya sebagai kawasan tertentu
yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai
nilai strategis.
Kawasan yang
memberikan perlindungan bagi kawasan bawahnya, wilayah Provinsi Jawa Barat
dan DKI Jakarta. Tangerang di Provinsi Banten masuk klasifikasi yang sama
dalam PP ini. Perpres No.54/2008 kemudian memasukkan Bopunjur dalam konteks
yang lebih luas dan penanganan yang lebih strategis melalui penataan ruang
kawasan.Perpres ini bernama Pepres tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur yang menetapkan Jabodetabekpunjur
sebagai kawasan strategis nasional.
Sekaligus,
menetapkan pola perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
ruang secara terpadu. Porosnya sama. Bopunjur adalah kawasan sangat
strategis bagi kawasan di bawahnya dan, karena itu, harus diatur secara
ketat. Seluruh peraturan dan fakta-fakta ini menunjukkan amanat tanggung
jawab pemerintah pusat yang sangat besar dalam usaha mencegah bencana
banjir melalui penjagaan dan perbaikan di wilayah hulu. Kesadaran terhadap
tanggung jawab dan pemahaman yang cukup terhadap persoalan juga tecermin
dengan jelas dalam berbagai peraturan di atas.
Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) dalam kesaksiannya mengenai kawasan Bopunjur dewasa
ini, yang disampaikan Heru Waluyo dari Tata Lingkungan KLH di Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI pada tanggal 3 Agustus 2012 lalu, mengatakan
bahwa kerusakan lingkungan dan tata ruang kawasan ini makin memprihatinkan.
Seolah seluruh peraturan itu tak punya arti sama sekali. Dari sisi ini,
jelas terlihat bahwa bencana banjir Jakarta masih akan terus terjadi bila
pemerintah pusat tidak bekerja.
Menyatakan akan
mengalokasikan dana Rp2 triliun, tidak otomatis menunjukkan pelaksanaan
tanggung jawab yang sesungguhnya. Tanpa perlu dialokasikan lagi,dana
tersebut telah tersediadansiapdigunakan. Yakni, sesuaiketeranganKementerian
Keuangan, berupa sisa dana cadangan bencana alam tahun 2012 sebesar Rp2
triliun lebih dari total Rp4 triliun. Dana tersebut mestinya dapat
digunakan untuk pencegahan dari hulu dengan tujuan jangka panjang. Antara
lain, menjalankan peraturan yang telah ditetapkan untuk wilayah Bopunjur.
Dana tersedia
dan tidak terserap. Akibat tak terserapnya dana Rp4 triliun itu, dana
cadangan bencana alam tahun 2013 dianggarkan sama dengan tahun 2012 oleh
Kementerian Keuangan, yakni Rp4 triliun. Entah, janji pemerintah
mengalokasikan Rp2 triliun yang disampaikan Presiden itu termasuk yang
mana. Masuk dalam Rp4 triliun tadi atau merupakan tambahan hingga tersedia
dana sebesar Rp6 triliun di tahun 2013 ini.
Penggunaan dana
tersebut untuk pencegahan bencana alam dijamin oleh UU No.24/ 2007 tentang
Penanggulangan Bencana yang menyatakan tujuan utama penanggulangan bencana
adalah memberikan perlindungan masyarakat dari ancaman bencana. Yang
dimaksud ancaman bencana dalam UU tersebut yaitu suatu kejadian atau
peristiwa yang bisa menimbulkanbencana. Kerusakan yang terus terjadi di
Bopunjur masuk dalam konteks ini.
UU ini juga
menjelaskan penanggung jawab penanggulangan bencana, yakni pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Dalam konteks kewenangan menghadapi bencana banjir
Jakarta, kerja Pemda DKI Jakarta dapat terlihat jelas. Dalam hal pengawasan
dan perbaikan daerah Bopunjur, kerja Pemda Jawa Barat tampak memerlukan
tindakan nyata pemerintah pusat menegakkan aturan yang berlaku secara
konsekuen.
Secara
keseluruhan, bencana banjir Jakarta dan kerusakan Bopunjur merupakan contoh
bagi bencana banjir dan masalah lingkungan di seluruh daerah. Penanganannya
tak dapat difokuskan hanya pada pemda. Tak boleh dilupakan, pemerintah
pusat harus bekerja menyelesaikan secara komprehensif. Meskipun, banjir
telah berlalu dan hujan telah reda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar