Jelang
Pemilihan Umum 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga Wakil Ketua
Partai Golkar Sharif Cicip Sutardjo makin memperlihatkan kualitasnya.
Belakangan, Pak Menteri bahkan memberi kemudahan bagi kapal-kapal ikan
asing mencuri ikan Indonesia.
Keputusan
tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 30
Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia.
Di
Pasal 69, kapal-kapal ikan berukuran di atas 1.000 GT boleh melakukan
praktik transhipment atau mengalihkan muatan kapal di tengah laut. Bahkan,
membawa ikan tangkapannya langsung ke luar negeri.
Cicip
beralasan, hal itu untuk meningkatkan kontribusi pendapatan sektor
perikanan tangkap. Argumentasi lainnya, karena kapal-kapal ikan berbendera
Indonesia dianggap belum mampu beroperasi di perairan Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia (ZEEI). Dengan asumsi itu, diizinkanlah kapal-kapal ikan asing
untuk menangkap, melakukan transhipment, serta membawa ikan tangkapannya
langsung ke luar negeri.
Pro Asing
Mari
kita rujuk Pasal 38 peraturan menteri tersebut. Sesungguhnya, kapal-kapal
ikan Indonesia dengan bobot lebih dari 30 GT telah diberikan izin untuk
beroperasi di perairan kepulauan dan ZEEI. Bahkan, bagi kapal-kapal yang
berukuran lebih dari 100 GT, diberi izin khusus untuk beroperasi di
perairan ZEEI.
Karenanya,
berdasarkan publikasi “Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Angka
2011”, diketahui Indonesia telah memiliki sekitar 4.487 kapal ikan yang
dapat beroperasi di perairan ZEEI. Dari jumlah tersebut, 2.745 adalah kapal
berbobot 30 hingga 100 GT. Sementara sisanya 1.742 kapal dengan bobot di
atas 100 GT. Terhadap kapal-kapal tersebut, pemerintah mewajibkan pendaratan
ikannya di pelabuhan Indonesia.
Fakta
itu sekaligus menyisakan pertanyaan yang mengganggu akal sehat publik:
mengapa Cicip ngotot mengizinkan kapal-kapal berbobot lebih dari 1.000 GT
melakukan transhipment dan boleh membawa langsung ikan tangkapannya ke luar
negeri?
Bukankah
untuk mengelola perairan ZEEI tidak harus menggunakan kapal berukuran lebih
dari 1.000 GT? Bahkan semakin janggal ketika ternyata Indonesia juga belum
memiliki kapal ikan berukuran 1.000 GT.
Maka
pantaslah diduga, kebijakan tersebut hanya untuk memfasilitasi kapal-kapal
asing, seperti China, Jepang, Spanyol, Taiwan, dan negara-negara lain yang
sudah memiliki kapal-kapal ikan berbobot 1.000 GT—untuk menangkap bahkan
mencuri ikan di perairan Indonesia.
Sementara
kemungkinan lainnya, untuk memfasilitasi bisnis impor kapal penangkap dan
pengangkut ikan, baik baru maupun bekas, dengan ukuran lebih dari 1.000 GT.
Kekhawatiran tersebut justru diperparah dengan buruknya kinerja pengawasan
tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Karenanya,
selain ceroboh, kebijakan ala Cicip ini sekaligus mempertontonkan sikapnya
yang lebih pro kepada investasi asing dan pencuri ikan, ketimbang
menyejahterakan rakyat Indonesia.
Anasionalis
Di
tengah kian menipisnya optimisme rakyat Indonesia, bagi saya, laut
Indonesia haruslah dikelola oleh tangan-tangan nelayan Indonesia, serta
menggunakan kapal-kapal berbendera dan pengetahuan kemaritiman khas
Indonesia. Dengan begitu, pada akhirnya, mampu memberikan manfaat untuk
sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Oleh
sebab itu, pemerintah harus segera melindungi perairan nelayan tradisional.
Ini karena lebih dari 90 persen armada dan nelayan Indonesia adalah
tradisional. Ikhtiar ini dapat dilakukan dengan mendorong kapal-kapal ikan
Indonesia berbobot lebih dari 50 GT beroperasi di ZEEI.
Penegakan
hukum juga harus dijalankan secara profesional guna menjamin kapal-kapal
ikan berbendera Merah Putih tidak berkompetisi dengan kapal-kapal ikan
asing yang jamak mencuri ikan di ZEEI.
Sejalan
dengan itu, pemerintah perlu mendorong revitalisasi terhadap seluruh
armada-armada perikanan tangkap berbendera Indonesia. Ini karena sampai
2011, peningkatan jumlah kapal ikan Indonesia justru terpusat pada
kapal-kapal berbobot 10 hingga 30 GT. Sementara armada kapal ikan di atas
30 GT cenderung menurun.
Di
sinilah peran pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi
sangat strategis untuk memastikan kapal-kapal berbendera Indonesia menjadi
tuan rumah di negeri sendiri.
Termasuk,
untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya ikan di ZEEI secara berdaulat.
Semua tindakan konstitusional tersebut harus diawali dengan membatalkan
seluruh unsur kebijakan pro asing di dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No 30 Tahun 2012.
Sampai
pada akhirnya Pak Menteri yang harus memutuskan. Hendak dikenang sebagai
pemimpin nasionalis nan berdaulat dan menyejahterakan. Atau sebaliknya,
anasionalis yang merampok kekayaan sumber daya laut Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar