SURAT yang diduga berisi perintah penyidikan terhadap Anas
Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, bocor ke media. Sampai saat ini
belum jelas benar apakah surat itu sengaja dibocorkan atau tidak. Namun
melihat sebuah institusi besar seperti KPK, agak mustahil rasanya surat
perintah dimulainya penyidikan (sprindik) itu tidak dengan sengaja bocor.
Jika demikian, pertanyaannya adalah siapa yang membocorkan dan apa
motifnya?
Setelah Susilo Bambang Yudhyono, Ketua
Dewan Pembina Partai Demokrat, berpidato mengenai situasi terakhir,
tampaknya lahir dua kubu dalam internal partai. Satu kubu seakan-akan pro
dengan sikap Yudhoyono. Kubu satunya seperti berdiri kukuh di belakang
Anas. Ada aroma perang antara ketua majelis tinggi dan ketua umum, yang
setelah pidato itu berada pada posisi wakil ketua majelis tinggi.
Dari informasi yang beredar lewat media,
ada sangkaan keterlibatan staf khusus presiden dalam kasus kebocoran
sprindik Anas (SM, 15/02/13). Keterangan ini makin menguatkan anggapan
jangan-jangan sprindik itu memang sengaja dibocorkan.
Motifnya sederhana, pertama; bila sudah
diketahui oleh publik bahwa sebenarnya ada keyakinan di antara pimpinan KPK
mengenai status Anas maka dorongan kepada komisi antikorupsi itu
untuk memerkarakan Anas akan mengalir sangat deras.
Mau tidak mau KPK harus mengikuti arus
kemauan masyarakat. Pasalnya, bila komisi itu menempatkan diri pada posisi
vis a vis terhadap rakyat, niscaya tidak akan bernasib baik. Bukankah
selama ini rakyatlah yang berada di belakang KPK ketika lembaga antikorupsi
itu dirongrong oleh banyak kekuatan busuk? Kebocoran sprindik itu bakal
menggiring KPK ke jalan persidangan Anas.
Namun patut pula memikirkan, kelihatannya
ada motif kedua yang mungkin kurang terbaca yakni, Anas beruntung atau
diuntungkan. Bagaimana bisa? Kebocoran sprindik yang ditengarai dilakukan
oleh aktor di lingkaran Yudhoyono membuat Anas berada pada kursi sosok yang
terzalimi. Pada titik inilah sebenarnya Anas sangat diuntungkan.
Masih ingat politik terzalimi Yudhoyono
yang kala itu di bawah mantan Presiden Megawati sebelum Pemilihan Umum
2004? Tanpa diperkirakan sebelumnya, Yudhoyono melejit memenangi kontentasi
pemilihan presiden karena salah satunya adalah ada politik terzalimi.
Begitulah adanya sekarang. Kasus kebocoran sprindik Anas, menurut saya,
apakah kebetulan atau telah direncanakan, terjadi juga menjelang Pemilu
2014.
Jadi sebenarnya, dengan kebocoran sprindik
itu, permainan politiknya adalah ingin mengerek suara Partai Demokrat, baik
melalui sikap Yudhoyono yang ingin bersih-bersih partai dari korupsi atau
melalui posisi terzaliminya Anas. Artinya, jangan-jangan kebocoran sprindik
Anas memang diskenariokan dari awal.
Dugaan korupsi Anas sudah menjadi bahan
obrolan tiap kalangan masyarakat. Bahkan, hampir semua media cetak ataupun elektronik
meliput dan meng-up-date berita terkait dugaan itu. Dalam situasi kebocoran
sprindik dan status pemeriksaan tersangka korupsi, saya ingin mengajak
pembaca untuk tidak terseret dalam arus politik elite Demokrat. Kita mesti
menggunakan kacamata hukum untuk membaca situasi supaya tidak terjebak
dalam permainan yang dirangkai oleh elite partai.
Tiga Kriteria
Kita harus membidik kebocoran sprindik
secara tepat, sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada tiga hal yang harus
digarisbawahi. Pertama; katakan kalau kebocoran sprindik adalah bagian dari
skenario dan ada oknum yang membocorkan, tuntutan hukum terhadap pembocor
dokumen patut diajukan. Langkah menggelar pemeriksaan etik terhadap
pimpinan KPK atau staf internal komisi antikorupsi itu penting digelar.
Tujuannya supaya ke depan tidak terjadi lagi kasus serupa.
Kedua; dalam menetapkan seorang sebagai
tersangka korupsi, secara hukum acara pidana, minimal cukup diberikan dua
alat bukti. Berdasarkan putusan Nazaruddin Nomor
69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dugaan kasus gratifikasi terhadap Anas terjadi
antara waktu Agustus dan September 2010. Kalau pada waktu itu, Anas masih
menjadi anggota DPR maka unsur Pasal 12B Ayat (1) Huruf b UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 bisa digunakan untuk menjeratnya. Keterangan
saksi dan surat jual beli mobil dapat dipakai sebagai bukti.
Ketiga; tidak ada alasan bagi KPK untuk
tidak memeriksa kasus Anas. Berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK, ada tiga kriteria kasus yang bisa ditangani badan antirasuah
tersebut. Kasus korupsi itu melibatkan aparat hukum atau penyelenggara
negara atau orang yang terkait dengan keduanya, atau kasus korupsi itu
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, atau kasus itu menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Andaikan nilai gratifikasi dalam dugaan
kasus korupsi Anas tidak mencapai angka Rp 1 miliar, masih ada celah lain
untuk memerkarakannya.
Bukankah kita, sebagai masyarakat, resah
dibuatnya, dan ini cukup sebagai dasar untuk melanjutkan pemeriksaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar