Sungguh, Tahun
Ular Air 2013 bakal menjadi tahun penuh tantangan bagi bank nasional.
Mengapa? Karena Bank Indonesia (BI) bagai tiada henti menggebrak dengan
aneka aturan, sekaligus sebagai ajakan untuk terus mengerek tingkat
efisiensi.
Pada 27
Desember 2012, BI telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal
Inti Bank. Secara garis besar, PBI tersebut mengatur mengenai pengelompokan
bank berdasarkan kegiatan usaha sesuai dengan besarnya modal inti, kewajiban
bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif dan pembukaan
jaringan kantor bank yang harus didukung oleh alokasi modal inti yang
mencukupi.
Penerbitan PBI
tersebut untuk meningkatkan ketahanan, daya saing, dan efisiensi industri
perbankan nasional dalam rangka menghadapi dinamika regional dan global
serta mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara optimal dan
berkesinambungan. Aturan tersebut yang sering disebut aturan izin
berjenjang (multilisensi) membagi empat kelompok bank umum dengan kegiatan
usaha (BUKU).
BUKU 1 adalah
bank yang memiliki modal inti (tier I) dari Rp100 miliar sampai Rp1
triliun. BUKU 2 mempunyai modal inti dari Rp1 triliun sampai Rp5 triliun.
BUKU 3 bermodal inti dari Rp5 triliun sampai Rp30 triliun dan BUKU 4 memeluk
modal inti di atas Rp30 triliun.
Indikator Efisiensi
Kini ekspansi
atau pembukaan kantor baru dikaitkan dengan modal inti dan tingkat
efisiensi bank nasional.Dengan bahasa lebih bening, ekspansi tidak semudah
seperti selama ini. Pencapaian tingkat efisiensi bank nasional antara lain
diukurmelaluirasiobeban( biaya) operasional terhadap pendapatan operasional
(BOPO) dan rasio net interest margin
(NIM) atau rasio net operating margin
(NOM).
Lantas, apa
yang patut dipertimbangkan oleh BI mengingat sesungguhnya kalangan
perbankan nasional agak keberatan dengan penetapan indikator efisiensi
tersebut. Pertama, laporan keuangan bank nasional. Saat ini, bank nasional
telah menyampaikan BOPO dan NIM dalam laporan keuangan. Tetapi tidak ada
NOM. Tingkat efisiensi bank tercermin pada rasio BOPO.
Data terakhir
menurut Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 12 Februari 2013
menunjukkan bahwa BOPO rata-rata industri mencapai 74,10% per Desember
2012. Hal yang melegakan,Kelompok Bank Persero memegang BOPO terendah
70,53% yang berarti paling efisien. Kemudian menyusul bank umum swasta
nasional (BUSN) devisa 74,88%, bank pembangunan daerah (BPD) 75,29%, bank
campuran 77,86%, BUSN nondevisa 79,30%, dan bank asing 80,78%.
Data itu
menegaskan bahwa seluruh kelompok bank telah mengantongi rasio BOPO ideal
70–80%.Tetapi itu belum paripurna. Mudah diduga, BI akan terus menekan BOPO
agar lebih rendah lagi menjadi 60–70%. Hal ini bertujuan untuk mendekati
BOPO bankbank Asia Tenggara yang mencapai 40–60%. Pada hakikatnya, ada cost to income ratio (CIR) selain
rasio BOPO.
Apa bedanya?
Rasio BOPO bersumber dari beban operasional (operational expenses/opex) ditambah cadangan (penyisihan
kerugian aktiva produktif/PKAP atau penyisihan penghapusan aktiva
produktif/ PPAP) dan beban bunga lalu dibagi pendapatan bunga plus
pendapatan nonbunga (fee-based income).
Sementara CIR berasal dari beban operasional dibagi pendapatan bunga bersih
(net interest income/NII) plus fee-based income. Kedua rasio itu
amat mirip, tetapi tidak persis sama.
Perbedaan
terletak pada pembilangnya. BOPO mempunyai pembilangnya lebih banyak
daripada CIR sehingga hasilnya pun berbeda, yakni BOPO akan jauh lebih
besar daripada CIR. Hingga kini, BI lebih memilih untuk menekan BOPO
daripada CIR. Kedua, indikator efisiensi. BOPO dan CIR memang sudah lama
dinilai sebagai indikator efisiensi. Itu tidak masalah.
Tetapi kini BI
menetapkan NIM atau NOM sebagai indikator efisiensi.Apa perbedaan antara
NIM dan NOM? NIM berasal dari suku bunga yang diterima dikurangi suku bunga
yang dibayar dibagi rata-rata aset investasi. Boleh pula dikatakan bahwa
NIM dihasilkan dari selisih antara suku bunga kredit dan suku bunga
simpanan kemudian dibagi investasi. Suatu bank akan selalu mengusahakan
supaya NIM positif.
NIM negatif
akan menunjukkan bahwa biaya investasi lebih tinggi daripada hasilnya yang
berarti merugi. Untuk itu, sudah barang tentu bank akan mengupayakan agar
NIM positif dan tinggi. Hal ini akan menghasilkan buah manis berupa
pendapatan yang berujung pada laba tinggi. Dengan demikian, semakin tinggi
NIM akan semakin tinggi pula pendapatan bank.
Celakanya, BI
justru akan menekan NIM bank nasional supaya semakin rendah mendekati NIM
bank-bank Malaysia, Filipina dan Thailand yang berada sekitar 2-3%.Wah!
Hingga Desember 2012, NIM rata-rata industri 5,49%. Repotnya, NIM justru
cenderung naiknaik ke puncak gunung.Tengoklah data berikut. Mulai April
2012, NIM mendaki pelan namun pasti dari 5,31% menjadi 5,33%, 5,38%, 5,41%,
5,43%, 5,45%, 5,48%, tetap 5,48% dan 5,49% per Mei– Desember 2012.
Bagaimana NIM
masing-masing kelompok bank? Kelompok BUSN nondevisa memiliki NIM tertinggi
9,34% disusul oleh BPD 6,70%. Lalu menyusullah bank persero dengan NIM
5,95%, BUSN devisa 5,17%, bank campuran 3,63% dan bank asing 3,47%. Apa itu
NOM? NOM tidak tersurat dalam laporan keuangan bank nasional.NOM bersumber
dari pendapatan operasional bersih dibagi penjualan bersih. Rasio ini
bermanfaat untuk melihat seberapa besar suatu bank mampu meraih berapa
rupiah dari setiap produk atau jasa yang dipasarkan.
Solusi
Tetapi
“tiba-tiba” BI menetapkan NIM atau NOM sebagai indikator efisiensi. Bagaimana
alternatif solusinya? Dengan memanfaatkan suku bunga dasar kredit (SBDK).
Sejatinya, akan lebih baik kalau penurunan NIM dilakukan melalui penurunan
SBDK (prime lending rates) yang
sangat mirip dengan base lending
rates di Malaysia. Dengan bahasa lebih lugas, BI dapat menurunkan SBDK
pada jenis kredit yang disasar.
Kita ambil
contoh. Dengan Surat Edaran Nomor 15/1/DPNP, tanggal 15 Januari 2013
tentang Transparansi SBDK, BI menetapkan SBDK untuk kredit mikro yang
sebelumnya hanya untuk kredit korporasi, kredit ritel, kredit konsumsi (KPR
dan non-KPR). Hal ini bertujuan final untuk menurunkan suku bunga kredit
mikro yang masih bertengger tinggi sekitar 30%. Penurunan ini tentu saja
akan membuat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan makin bergairah.
Hal itu juga
terkait dengan aturan baru yang mewajibkan bank nasional untuk mengucurkan
kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan
kredit investasi) atau kredit UKM minimal 10% dari total portofolio
kredit.Dengan demikian, bank nasional akan memperoleh insentif tambahan
dalam menambah jaringan kantor.
Akibat
logisnya, semua bank nasional akan berlomba-lomba menyalurkan kredit ke
segmen tersebut untuk meraih target minimal 20% itu. Lahirnya SBDK kredit
mikro tersebut secara bertahap akan menurunkan suku bunga kredit mikro.
Hal ini
dipandang lebih terukur (measurable),
masuk akal (reasonable) dan
menantang (challenging) untuk
menipiskan NIM daripada ”memaksa” bank nasional untuk langsung menurunkan
NIM. Langkah strategis tersebut akan membuahkan panen raya kredit UMKM dan
UKM. Buah manis lainnya, NIM akan dapat didorong untuk menurun secara pelan
tetapi pasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar