Menjelang
1 Mei 2013 di mana Hari Buruh akan dirayakan lagi secara besar-besaran oleh
kalangan serikat pekerja, kita sudah mulai melihat dan masih akan
menyaksikan rangkaian demonstrasi pekerja di tempat-tempat strategis di Ibu
Kota.
Salah satunya
dikabarkan akan dilakukan akhir bulan ini. Isu yang diusung adalah
kebutuhan hidup layak,upah,jaminan sosial, serta penghapusan outsourcing. Secara khusus, saya
ingin mengupas permasalahan outsourcing,
terutama dari sudut komparatif yang lebih makro. Harapan saya, hal ini bisa
membantu melihat isu tersebut secara lebih holistis dan jernih.
Outsourcing
adalah istilah teknis bagi perusahaan yang memutuskan untuk melakukan
subkontrak bagi fungsifungsi tertentu dalam perusahaan itu. Outsourcing
maksudnya adalah “outside resourcing”, jadi perusahaan mendapatkan sumber
daya dari luar (Troaca & Bodislav 2012). Dalam banyak kasus, istilah
ini dicampuradukkan dengan praktik offshoring,
yakni pencarian penyedia fungsi yang disubkontrakkan tadi di luar negeri.
Memang, karena
negara kita sudah membuka diri seluasluasnya untuk masuknya investasi dan
modal asing,belum lagi teknologi informasi dan komunikasi sudah demikian
pesatnya, maka kegiatan offshoring tadi meluas juga di Indonesia. Contohnya
PT Tae Kwang Industri Indonesia (PT TII) yang memegang merek sepatu Nike,
sedang membangun pabrik berkapasitas 15.000 pegawai di tiga desa di Subang,
Jawa Barat.
Ada juga
Foxconn yang merakit barang elektronik dan hardware penting untuk perusahaan besar seperti Apple, yang
berencana membuka pabrik baru di Indonesia demi mengurangi biaya produk dan
mendekat pada konsumen. Ini semua adalah offshoring yang merupakan bagian dari outsourcing bagi pemilik merek, baik untuk merakit maupun
menembus pasar baru. Sesungguhnya outsourcing
dan offshoring adalah komponen
tak terpisahkan dari bisnis dan perekonomian modern abad ke-21.
Perusahaan
raksasa yang telah berhasil membangun merek dan mesin-mesin yang
memungkinkan economy of scale
akan terus berupaya memperluas bisnisnya ke negara-negara baru. Karena
perkembangan teknologi dan komunikasi berjalan pesat, konsumen latah ingin
membeli produk-produk yang mencerminkan gaya hidup modern. Permintaan
meningkat, harga cepat meroket.
Alhasil, harga
produk perlu ditekan serendah mungkin dengan pasokan yang cukup tapi
berbiaya relatif murah, apalagi karena ada saja perusahaan lain yang
sekadar ingin meniru teknologi yang ada. Kalau konsumen sedikit saja merasa
bahwa merek tidak menentukan gengsi, habislah pangsa pasar produk tersebut,
tergerus perusahaan peniru. Persaingan sangat ketat.
Risiko yang
kemudian perlu diambil adalah mendirikan pabrik di negara yang dekat dengan
konsumen atau mengundang pabrik tertentu untuk menyuplai jasa tertentu bagi
perusahaan tersebut. Studi yang ada tidak satu suara dalam hal prediksi
tren outsourcing dan offshoring. The Economist (11/5/2012) menyatakan bahwa praktik ini akan
melemah. Sejumlah merek besar di bidang software, elektronik, dan
telekomunikasi, kini menemukan “tenaga kerja” di dalam negeri.
Dengan harga
yang lebih murah daripada harga tenaga kerja di negara berkembang,
orang-orang ini bisa melayani konsumen dengan bahasa ibu masing-masing. Mereka
menyebut fenomena ini sebagai unsourcing, di mana perusahaan membentuk
komunitas-komunitas online untuk melayani kebutuhan konsumen.
Kabarnya
perusahaan bisa memotong biaya hingga 50% karena ini. The Economist juga menyebutkan kekhawatiran perusahaan terhadap
ongkos tersembunyi dari outsourcing. Misalnya perusahaan media BSkyB yang
terjebak tuntutan hukum dan harus menghadapi peradilan negara berkembang
yang dianggap lamban dan tidak jelas,atau ketika Boeing, perusahaan pembuat
pesawat terbesar di Amerika Serikat, harus menghadapi kasus keterlambatan
pengantaran komponen pesawat karena perusahaan yang disubkontrakkan
ternyata menyubkontrakkan lagi ke perusahaan lain.
Namun, kita
juga perlu ingat bahwa outsourcing
dan offshoring adalah praktik
yang terbukti menghasilkan laba besar bagi perusahaan, terutama ketika
perekonomian di negara induk melemah. Lagi pula, sejumlah pekerjaan dari
perusahaan di negara maju harus dilakukan oleh orang-orang yang
berketerampilan tinggi, sehingga sebenarnya sulit untuk dioper ke
perusahaan lain di negara berkembang.
Selain itu,
untuk mengurangi risiko outsourcing, perusahaan kemudian memilih cara untuk
melakukan kontrak-kontrak kecil jangka pendek yang lebih rileks dalam hal
hukum (The Economist 30/7/11).
Data dari Gartner (2011) menyatakan bahwa pasar outsourcing masih akan berkembang 4% per tahun.
Yang perlu
dipahami adalah bahwa offshoring
outsourcing terjadi karena perusahaan mencari tenaga-tenaga spesialis
untuk menghasilkan barang setengah jadi (intermediate goods) atau barang jadi (final goods). Artinya, outsourcing
sebenarnya tidak semata mencari tenaga kerja murah.
Di negara
berkembang, outsourcing bahkan
sering kali terjadi karena perusahaan-perusahaan lokal cuma punya kemampuan
memoles atau merakit barang setengah jadi dari negara lain. Teknologinya
tetap pinjam dari negara lain. Akibatnya, ketika pemerintah menerapkan tarif
impor bagi barang setengah jadi, yang akan ditekan bukanlah jumlah
impornya, atau biaya urusan logistik, melainkan upah pekerja.
Di negara mana
pun, tenaga kerja tidak terampil punya nilai tawar yang lebih rendah
dibandingkan pekerja yang terampil. Itu sebabnya Afrika Selatan, misalnya,
kini fokus memperkuat tenaga aktuaris mereka untuk menjawab kebutuhan
industri asuransi, atau Turki yang memperkuat jajaran tenaga kerja yang
fasih berbicara bahasa Jerman. Itulah strategi mereka untuk mengikat modal
yang masuk dari perusahaan asing di Eropa.
Di Indonesia,
kita bisa lihat bahwa problem outsourcing sebenarnya berputar pada pusaran
yang sama. Perusahaan lokal tidak menambah kemampuan sebagai industri
berbasis teknologi dengan paten industri karya anak bangsa.Tenaga kerja
kita pun masih harus berswadaya penuh untuk meningkatkan kapasitas dan
produktivitasnya.
Rata-rata
kantor tidak punya (atau kalaupun punya sangat kecil nominalnya) biaya
pengembangan sumber daya manusia.Balai-balai latihan kerja yang dikembangkan
pemerintah pun terbatas dengan pembekalan keterampilan yang biasa-biasa
saja. Tidak ada grand strategy atau
rencana jangka panjang tentang daya saing tenaga kerja kita. Padahal, kita
tahu persaingan antarnegara berkembang adalah suatu keniscayaan.
Bahkan kini
pasar outsourcing yang biasanya
dirajai oleh India dan Filipina, kini mulai direbut oleh tenaga kerja
Thailand, yang selain berpendidikan tinggi juga serius memperkuat kemampuan
bahasa Inggrisnya. Kalau kita bertopang pada kemampuan buruh, siklus outsourcing itu akan berkembang
menjadi lingkaran setan.
Di negeri ini
ada UU Ketenagakerjaan yang mengharamkan sistem kontrak jangka pendek yang
lebih dari 3 tahun. Tapi karena pekerja butuh pekerjaan, perusahaan lokal
bergantung pada pemodal besar dari negara maju dan perusahaan pemodal ingin
memperkecil risiko outsourcing,
terjadilah pelanggaran terhadap UU Ketenagakerjaan secara terus menerus
tetapi sulit ditindak.
Pekerja pasrah
saja dipekerjakan sebagai pekerja musiman (misalnya di sektor tekstil).
Gerakan buruh juga sebenarnya melemah. Gerakan turun ke jalan semata upaya
akhir mereka untuk membela diri, itu pun karena sudah terlanjur bernasib
buruk. Negosiasi prakejadian lebih sulit dilakukan. Ayolah kita keluar dari
lingkaran nasib buruk bagi pekerja di negeri ini.
Selama tenaga
kerja semata dianggap buruh dan bukannya mitra bagi bangsa untuk maju dan
tangguh dalam persaingan global, maka selama itu pula kita akan berteriak-teriak
di pusaran masalah yang sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar