Partai Demokrat merupakan satu di antara
banyak partai yang saat ini tengah dirundung masalah pelik. Citra partai
yang merajai pemilu terakhir demikian terpuruk dan telah cukup menimbulkan
kekhawatiran bagi para pengurus dan pendukungnya.
Beberapa survei
terakhir menunjukkan penurunan elektabilitas yang signifikan bagi partai
ini. Tidak itu saja, partai ini pun tengah mengidap faksionalisasi yang
cukup berat dan hingga kini belum terselesaikan. Sikap elite partai yang
cenderung saling serang,saat cobaan demi cobaan menghujam mengindikasikan
ada sesuatu yang salah dari pola hubungan antar elite dalam partai
berlambang mercyini.
Strategi Penyelamatan
Atas dasar
itulah, apa yang dilakukan oleh Presiden SBY dalam hari-hari terakhir dapat
dilihat sebagai bagian dari kekhawatiran atas nasib Demokrat. Sepulangnya
dari ibadah di Tanah Suci, SBY melakukan sejumlah manuver untuk membenahi
partainya. Dibuka pertama kali dengan mengundang dewan pembina pada Kamis,
yang kemudian disusul dengan majelis tinggi “plus” sehari sesudahnya dan
kemudian mengundang pimpinan DPD pada hari Minggu.
Sebelum
kemudian mengeluarkan pakta integritas, SBY telah mencanangkan
pengambilalihan partai dan mempersilakan Anas, meski tetap sebagai ketua
umum partai, untuk berkonsentrasi atas masalah yang dihadapinya. Meski
“masalah” di sini belum jelas benar, mengingat jika kasus korupsi yang
dimaksud, Anas hingga saat itu belum menjadi terduga apalagi tersangka. Pun
demikian, pengambilalihan itu jelas tidak memiliki landasan konstitusi
partai yang kuat.
Semua peristiwa
itu terjadi di Cikeas. Dari tempat yang diambil, SBY ingin menunjukkan atau
menegaskan kembali siapa sesungguhnya dirinya dalam partai ini. Dijadikannya
Cikeas,dan bukan Kantor DPP Partai Demokrat sebagai tempat pertemuan, pun
memperlihatkan bagaimana urusan partai menjadi urusan personal seorang SBY.
Sepintas, apa yang diambil terasa signifikan.
Bagi sebagian
kalangan, langkah SBY cukup telah mengunci Anas yang dipandang sebagai
sumber masalah, dan dijadikan kambing hitam bagi terus meluncurnya suara
demokrat. “Faksi Cikeas”, demikian beberapa kalangan menyebutnya,
menggunakan hasil survei dari SMRC, sebagai modal untuk menyerang Anas.
Pakta integritas juga dipandang menjadi pembuka atau kanal bagi
dikeluarkannya Anas secara elegan.
Mengingat pada
poin kedelapan, terdapat klausul kesediaan untuk mengundurkan diri jika
mendapatkan status terduga, tersangka atau terpidana dalam kasus korupsi. Kebetulan
pula, tidak lama setelah itu sprindik Anas bocor ke tangan publik. Dari
sini, pakta integritas menjadi terlihat demikian relevan.
Tidak Menunjang Penyelesaian Masalah
Namun demikian,
sebagai bagian dari upaya penyelamatan partai, langkah SBY termasuk adanya
pakta integritas seharusnya bekerja lebih lama dan jauh ke depan, dalam
makna tidak diabdikan hanya untuk atau dalam rangka menyingkirkan Anas dan
kelompoknya saja. Namun, semakin terlihat bahwa langkah-langkah
penyelesaian yang ditempuh oleh SBY bersifat tanggung, untuk mengatakan
tidak menyelesaikan masalah.
Hal ini karena
pada dasarnya manuver SBY belum menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar
yang ada di partai ini yang mencakup tiga hal yakni: (1) kohesivitas elite
yang lemah, (2) persoalan pelembagaan atau pemodernan partai yang tidak
kunjung terselesaikan, dan (3) kinerja kader partai yang biasabiasa saja. Ketiganya
berpotensi besar memberikan kontribusi negatif pada elektabilitas partai
pada Pemilu 2014 dan kelangsungan partai ini.
Pada soal yang
pertama, manuver SBY sama sekali tidak mampu menjembatani faksionalisasi
yang ada. Bahkan, terkesan langkah yang didukung penuh Kelompok Cikeas itu
justru mengeraskan atau menguatkan perbedaan itu. Kelompok Anas merasa
sebagai korban persekutuan buruk yang melibatkan pihak-pihak yang selama
ini tidak mau legawa dengan kepemimpinan Anas. Sementara bagi yang
menentangnya, Anas dipandang tidak mampu melihat pesan simbolik
penyingkirannya.
Kenyataannya,
pascamanuver SBY, masing-masing kubu tetap saja tidak menunjukkan gejala
saling mendekat. Dalam soal yang kedua, yakni pelembagaan partai, langkah
personal SBY yang kemudian diikuti oleh seluruh jajaran partainya, justru
makin menunjukkan kebergantungan yang demikian besar Partai Demokrat pada
figur SBY.
Pengurus,
elite, dan kader seolah masuk dalam labirin kebingungan untuk dapat
menyelesaikan persoalan tanpa SBY. Sistem pun tidak dapat diharapkan,
sehingga diperlukan lagi seorang SBY untuk membenahinya. Padahal, indikator
sebuah partai yang terlembaga adalah dihormatinya aturan main dan semakin
minimnya ketergantungan partai pada figur. Atau dalam bahasa Huntington: “theprocessby whichorganizations and
procedures acquire value and stability”(1968: 394).
Sayangnya,
langkah yang ditempuh oleh SBY secara fundamental mencerminkan sebuah
kebimbangan. Di satu sisi, SBY tidak ingin terlihat dengan kentara menabrak
konstitusi partai, namun di sisi lain tetap ada kesan kuat ingin
menyingkirkan Anas secepatnya. Langkah SBY untuk mengakomodasi dua
kepentingan itu berujung pada “pengambilalihan kewenangan” sementara, yang
sayangnya pula tidak termaktub dengan jelas aturannya dalam AD/ART partai.
Keputusan yang
“semikonstitusional” ini jelas menjadi sebuah preseden negatif bagi partai,
terutama dalam hal digunakannya perhitungan strategis individu dan bukan
kelembagaan untuk menyelesaikan persoalan internal partai.
Dan yang
terakhir, langkah yang ditempuh tetap tidak bisa memaksimalkan kinerja
kaderkader partai, yang justru amat diharapkan dapat mendongkrak
elektabilitas partai. Langkah yang ditempuh oleh SBY juga tidak serta-merta
membuka sebuah peluang untuk terjadinya perubahan kepengurusan secara cepat
dan terkendali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar