“Namun, belum
10 tahun beroperasi, Museum Adam Malik mulai sesak napas. Pasalnya, politik
Orde Baru tak ingin ada legenda baru yang bakal mengalahkan sosok Presiden
Soeharto. Lalu, pemerintah menghentikan dukungan, sehingga museum pun
bangkrut.”
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari E. Pangestu
pernah berkata bahwa pengelolaan pariwisata sangat membutuhkan sinergi kuat
antar-institusi. Sebab, baik di Indonesia maupun di negeri mana saja,
pariwisata adalah wilayah yang sangat rentan sehingga mudah sekali dilukai.
Keamanan yang lengah akan menyayat hasrat pelancong yang akan bertamasya.
Infrastruktur yang lemah akan memotong niat pelancong untuk datang. Sikap
politik yang ekstrem akan merobek harapan para wisatawan.
Atas luka pariwisata Indonesia itu, begitu banyak
contoh yang bisa diajukan. Namun beberapa amsal di bawah ini mungkin paling
bisa menegaskan.
Koran Tempo edisi 9 Januari 2013 menulis informasi dari
Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas
Besar Polri itu mengatakan sekarang teroris semakin mengincar tempat
wisata. Dan terakhir yang diincar adalah Bima (Nusa Tenggara Barat) dan
Tana Toraja (Sulawesi Selatan), setelah Pantai Kuta dan Ubud di Bali
disasar pada beberapa tahun lalu. Sasaran di Bima adalah sebuah hotel.
Sedangkan yang di Tana Toraja adalah lokasi wisatanya. Ihwal sasaran
teroris ini terkuak setelah Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap empat
terduga teroris dan menembak mati dua lainnya.
Pantai
Sebagai negeri lautan, Indonesia mempunyai sangat
banyak pantai indah tiada terbilang. Sehingga Tempo Media Group menerbitkan
buku 17 Destinasi Favorit -Wisata Bahari Indonesia. Namun, sejauh ini,
lantaran keterbatasan anggaran dan rumitnya birokrasi, hanya pantai di
sekitar Bali, Lombok, Jakarta, Derawan, dan Bunaken yang digarap. Puluhan
pantai lain, dari Kupang sampai Meulaboh, cenderung dibiarkan. Cerita di
bawah ini adalah contoh sepotong luka pariwisata yang sesungguhnya gampang
disembuhkan.
Babel (Bangka dan Belitung) diakui sebagai provinsi
yang memiliki pantai sangat estetik. Dari Pantai Parai Tenggiri dan Pantai
Pasir Padi di Bangka sampai Pantai Tanjung Tinggi, Pantai Tanjung Pendam,
Pantai Tanjung Kelayang, dan Pantai Tanjung Bungo di Belitung. Pasirnya
putih bersemu merah muda. Batu-batu raksasa berbagai ukuran bertebaran
secara ajaib di tengah laut dan daratannya, sehingga pantai memiliki
dinamika, dengan tekstur tak ada duanya di bumi. Tapi sejauh ini kecantikan
pantai-pantai itu hanya jadi longokan penduduk lokal.
Banyak kelemahan infrastruktur yang bisa ditengarai. Di
antaranya moda transportasi yang kurang memadai. Angkutan darat minim.
Pesawat terbang terbatas jadwalnya dan kurang serius pelayanannya. Percaya
atau tidak, pada 26 April 2012 sebuah pesawat swasta yang terbang dari
Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka,
ternyata membawa tiga keranjang lipan (kaki seribu). Keranjang itu jebol,
dan ratusan lipan itu menyeruak keluar dan sebagian memasuki kokpit! Tak
ayal, para penumpang bersama di antaranya sejumlah wisatawan ngeri
dibuatnya (Radar Bangka, 27 April 2012).
Kekurangan lain, di tepian pantai itu sangat sedikit
restoran dan kafe yang memenuhi syarat. Tidak ada penginapan semacam motel
atau hotel. Tahun 1996 memang ada hotel besar yang dibangun di tepian
Pantai Tanjung Tinggi. Namun baru berupa struktur, krisis moneter tiba,
proyek pun ambruk. Kini bangunan berupa rangka itu bagai rongsokan sisa
perang yang mengganggu pemandangan.
Lebih jauh, karena kurang sepenuh hati disentuh sebagai
obyek wisata, sebagian pantai di Bangka tercemar buih pasir akibat ulah KIP
(kapal induk pengisap) Timah. Akibatnya, kegemilangan biru laut jadi
sedikit butek bagai tercampur susu.
Museum yang hilang
Indonesia pernah melahirkan seorang Adam Malik. Selain
dikenal sebagai mantan Menteri Luar Negeri, Ketua DPR/MPR, dan wakil
presiden, Adam Malik adalah seorang kolektor benda seni dan benda ilmu
pengetahuan yang luar biasa. Ketika ia wafat, seluruh benda koleksinya
dipresentasikan dalam sebuah museum yang jadi obyek pariwisata. Namun virus
politik membunuh museum ini. Lalu muncullah segores luka pariwisata yang
sungguh sulit dipahami.
Pada 1985, Museum Adam Malik berdiri dengan menempati
rumah tinggal Adam Malik di Jalan Diponegoro 29, Jakarta. Ribuan benda
memorabilia dipajang. Dari lukisan Cina klasik, lukisan seniman ternama
Indonesia, ikon Rusia, keramik, aneka senjata tradisional, patung batu dan
logam, peralatan fotografi, sampai puluhan arloji. Wisatawan Indonesia dan
dunia sudah berdatangan ke obyek wisata budaya dan pengetahuan ini.
Namun, belum 10 tahun beroperasi, Museum Adam Malik
mulai sesak napas. Pasalnya, politik Orde Baru tak ingin ada legenda baru
yang bakal mengalahkan sosok Presiden Soeharto. Lalu, pemerintah menghentikan
dukungan, sehingga museum pun bangkrut. Menjelang tahun 2000, jajaran
koleksi itu ditawar-tawarkan kepada siapa saja (termasuk kepada saya!).
Bangunannya yang besar dijual kepada pengusaha Hary Tanoesoedibjo. Prasasti
batu Sankhara, sebuah koleksi spektakuler yang memuat gagasan pendirian
Candi Borobudur, dijual kepada tukang loak yang sengaja terus mendatangi
museum penuh nestapa itu. Untuk selanjutnya, si tukang loak menjualnya
kepada seorang kolektor asal Italia. Padahal Museum Adam Malik diprediksi
akan menjadi obyek wisata unggulan Jakarta Raya pada masa-masa depan.
Sedangkan di Magelang, dua obyek wisata seni dan
edukasi andalan juga ambruk citranya oleh sejumlah hal yang sulit
dipercaya. Museum OHD di Jalan Jenggolo kehilangan muka setelah memajang
puluhan lukisan palsu pada 2012. Museum Widajat pada Januari 2013
kehilangan napas ketika 141 lukisan dicopoti "maling" dan
disembunyikan entah di mana.
Dari beberapa amsal luka di atas, kita jadi
sedikit mafhum mengapa dunia pariwisata Indonesia yang sungguh potensial
ini seperti pasien yang berurusan dengan rumah sakit melulu. Kerja berat
untuk Kementerian Mari E. Pangestu. ●
|
pariwisata indonesia adalah pariwisata yang dapat kita banggakan...
BalasHapusselalu jaga tempat - tempat pariwisata di indonesia demi indonesia di masa depan...