Belanja
Mitigasi Bencana Daerah
Gunawan Setiyaji ; Pengamat Ekonomi Bidang Fiskal,
Master Bidang
Kebijakan Ekonomi dari the Australian National University (ANU)
|
|
SUARA
MERDEKA, 07 Februari 2013
BENCANA banjir yang melanda
sejumlah daerah, terutama DKI Jakarta, memberikan peringatan pada sejumlah
daerah tentang perlunya menganggarkan pos belanja mitigasi bencana melalui
APBD. Bencana tidak hanya berupa banjir, tetapi juga pengalaman seperti
tsunami yang melanda Aceh Nanggroe Darussalam pada pengujung 2004 dan gempa
bumi di sejumlah daerah yang berdampak sangat fatal, seperti di Yogyakarta
pada Mei 2006 dan di Padang pada September 2009.
Respons
sejumlah pemda terhadap kebijakan fiskal terkait mitigasi bencana alam di
negeri ini masih jauh dari memadai. Pemprov DKI Jakarta sebagai contoh,
tidak mengalokasikan dana khusus untuk mengantisipasi bencana. Ini sungguh
aneh mengingat Jakarta adalah provinsi dengan tingkat kerawanan bencana
yang cukup tinggi.
Hingga saat ini
baru dua provinsi yang memasukkan anggaran penanggulangan bencana dalam
APBD, yaitu Jabar dan Jatim, keduanya mengalokasikan dana secara khusus
untuk mitigasi bencana Rp 100 miliar. Sementara daerah lain bila pun
menganggarkan hanya mengalokasikannya pada pos belanja tidak terduga yang
pemakaiannya bisa menyimpang dari tujuan mitigasi.
Berkaca dari
pengalaman ini, kini saatnya sejumlah daerah dengan tingkat kerawanan
bencana yang tinggi memikirkan penganggaran untuk mitigasi bencana. Secara
umum perlu dipahami bahwa tidak mungkin bagi setiap daerah mengharapkan
pusat menalangi keseluruhan biaya bila terjadi bencana alam, apalagi
manajemen mitigasi tidak dapat dikendalikan secara menyeluruh oleh
pemerintah pusat.
Ditinjau dari
segi keuangan publik, permasalahan ini juga telah diatur dalam UU Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan PP Nomor 22 Tahun 2008
tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Dalam hal ini telah
diatur tanggung jawab tiap pihak antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Jelaslah bahwa menurut UU, pemda harus mengalokasikan dana
penanggulangan bencana melalui APBD yang memadai.
Pembagian
wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebenarnya cukup jelas. Bagaimanapun pemerintah pusat telah menggariskan
bahwa skala bencana akan ditangani secara proporsional, sedangkan
pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama harus mengalokasikan
kebijakan yang memadai dengan tidak semata-mata mengandalkan tindakan dan
pembiayaan dari pusat.
Secara umum,
manajemen keuangan daerah perlu mengantisipasi masalah ini dalam kerangka
kebijakan integral. Setidak-tidaknya tiap daerah perlu merumuskan tindak
lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
dengan membuat kebijakan yang baik.
Untuk itu, dari
sudut pandang manajemen publik, tiap pemda, baik provinsi maupun kabupaten/
kota harus mengantisipasi 5 aspek penting, yaitu assessment risiko, pembangunan kapasitas institusi, investasi
pada pengurangan risiko, persiapan kondisi darurat dan pengalokasian dana
bencana berikut pembiayaannya.
Asuransi Bencana
Secara khusus
mungkin perlu diberikan perhatian lebih pada aspek keuangan daerah dalam
alokasi belanja dan pembiayaan mitigasi bencana. Dalam kenyataannya,
sejumlah pemda melakukan alokasi tradisional berupa belanja asuransi
bencana. Sebagai contoh adalah Pemprov Sumbar yang mengasuransikan kekayaan
daerah dari kemungkinan gempa bumi sejak 2008.
Dengan mata
anggaran ’’Belanja Asuransi atas
Aset-Aset Pemda’’ sebesar Rp 200 juta mereka dapat mengklaim dana
asuransi Rp 20 miliar pada Mei 2010 atau hanya 7 bulan sesudah gempa bumi
terjadi. Demikian juga DIY yang mengasuransikan aset-aset publik sejak
2003, sesudah gempa bumi 2006 menerima pembayaran Rp 3,4 miliar yang
merupakan 14 kali premi tahunan yang dibayarkan. Jumlah ini tentu tidak
memadai dibanding kerugian Yogyakarta yang mencapai lebih dari Rp 29
triliun.
Sejumlah
inisiatif dari sebagian kecil pemda dengan menciptakan belanja asuransi
untuk mengantisipasi risiko fiskal daerah akibat bencana mungkin merupakan
contoh baik yang bisa diadopsi daerah lain. Meski demikian, terdapat pro
dan kontra secara keuangan negara. Dalam
UU mengenai keuangan negara dan anggaran, memang tidak ada pengaturan yang
secara eksplisit tidak memperbolehkan asuransi.
Untuk itu,
pendanaan mitigasi bencana dalam skema ex-ante
yang mengantisipasi sejak dini terjadinya bencana alam perlu dipikirkan,
yaitu mengalokasikan belanja daerah terkait sebelum terjadi bencana. Skema ini adalah format
yang paling sesuai dengan pola yang dianut dalam kebijakan manajemen
mitigasi bencana, yaitu mengurangi risiko fiskal daerah yang dapat timbul
karena bencana.
Kalangan
perumus kebijakan di tiap daerah perlu menyiapkan infrastruktur legal agar
aspek pendanaan ini dapat diciptakan secara memadai sesuai ketentuan
keuangan negara. Masalah asuransi cukup krusial, dalam hal ini yang sesuai
dengan ketentuan keuangan negara adalah bentuk asuransi itu mungkin bisa
berupa self insurance, unit-link insurance, atau local disaster insurance, namun
semuanya harus merupakan pembayaran yang dapat diakumulasikan dan mencakup
kepentingan publik secara umum. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar