Pola Korupsi
Era Otonomi Daerah
Syarif Maulana ; Dosen Ilmu Budaya, Filsafat
dan Komunikasi, Universitas Padjajaran |
SUARA
KARYA, 16 Januari 2013
Sejak era reformasi, korupsi
menjadi salah satu isu besar yang terus-menerus dikampanyekan untuk dilawan.
Meski kampanye berlangsung di berbagai tingkat mulai dari pusat hingga
daerah, namun sepertinya tidak ada perbaikan yang signifikan. Korupsi seolah tetap
bertahan dan bahkan terus membiakkan diri. Baik Indonesia Corruption Watch
(ICW) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kedua lembaga pengawas
tersebut mencatat fenomena menjamurnya korupsi di tingkat daerah.
Ada sejumlah data terbaru yang
mendukung argumen ini. ICW, misalnya, telah mempublikasikan bahwa 285 kasus
korupsi terjadi di tingkat pusat maupun daerah pada periode 1 Januari hingga
31 Juli 2012. Terdapat 597 orang dijadikan tersangka oleh penegak hukum.
Selain itu, dari laporan tahunan KPK tahun 2011, tercatat ada 29 kasus yang
melibatkan kepala daerah dan 8 gubernur. Statistik ini juga didukung oleh
data yang dipublikasikan Mendagri pada Mei 2012: terdapat sekitar 173 kepala
daerah yang tersangkut kasus hukum. Dengan kata lain, sepertiga kepala daerah
di Indonesia bermasalah.
Korupsi di daerah tidak bisa
terlepas dari cacatnya perangkat hukum yang ada. Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Otonomi Daerah tidak mengatur hierarki jelas antara pemerintah
pusat dan daerah. Gubernur adalah wakil pemerintah karena bertanggung jawab
kepada menteri dalam negeri, namun tidak memiliki kuasa untuk memberhentikan
kepala daerah yang bermasalah.
Kebanyakan pola
korupsi di daerah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pola yang terjadi
di pemerintah pusat, yakni kongkalikong hingga mengarah ke pemerasan. Di
pusat, praktik kongkalikong hingga pemerasan terjadi saat terjadi permintaan
suntikan modal. Di pusat, dalam hal ini DPR memiliki peranan kunci karena
memiliki otoritas dalam mengucurkan dana.
Korupsi di
daerah memiliki ciri serupa, namun terpusat di kepala daerah. Karena minimnya
check and balance, kepala daerah bersikap seperti raja kecil. Pola korupsi
yang umumnya dilakukan adalah mengorupsi APBD ataupun melakukan kongkalikong
atau 'pemerasan' kepada pihak swasta. Salah satu contoh kasus yang bisa
disorot adalah kontroversi kasus Buol yang melibatkan Bupati Amran Batalipu
dan pengusaha Siti Hartati Murdaya.
Kasus kepala
daerah korup juga tidak terlepas dari lenggangnya pengawasan di daerah hingga
membuat orang berlomba-lomba menjadi kepala daerah. Hal ini diperparah dengan
mahalnya biaya pilkada. Kepala daerah terpilih menjadi tidak berkualitas,
karena terdapat potensi korupsi, kepala daerah ini akan menggunakan posisi
mereka untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan saat kampanye. Imbas dari
pola korupsi ini adalah pertumbuhan ekonomi dan risiko berbisnis. Korupsi
membuat anggaran pembangunan infrastruktur berkurang sehingga merugikan
masyarakat daerah karena praktik pungli membuat ekonomi berbiaya tinggi
Praktik
kongkalikon dan pemerasan harus menjadi sorotan khusus. Kecurigaan
kemungkinan adanya kongkalikong dan atau pemerasan BUMN yang diduga dilakukan
oleh oknum anggota DPR harus diseriusi, karena hal tersebut juga terindikasi
terjadi di daerah-daerah. Hal ini akan bermasalah karena praktik pemberian
uang atau imbalan dapat diartikan sebagai penyuapan. Pebisnis di daerah
memiliki risiko ganda. Jika tidak membayar pungli, bisnis tidak akan jalan.
Jika membayar, ada risiko dianggap sebagai penyuap.
Pola korupsi di
pusat dan daerah sebetulnya berakar dari permasalahan yang sama, yakni
lemahnya pengawasan. Saat ini, tidak ada mekanisme yang memberikan efek jera.
Ada sejumlah langkah yang bisa diambil untuk mengatasi hal ini.
Pertama,
meningkatkan fungsi pengawasan KPK pada tataran nasional dan regional. Saat
ini KPK adalah satu-satunya penegak hukum yang dapat diandalkan dan memberi
efek takut pada koruptor. Revisi Undang Undang KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) perlu dipertimbangkan, karena fakta di lapangan memperlihatkan
adanya ketidaharmonisan antara KPK, Polri dan Kejaksaan agung. Revisi
diperlukan untuk mencegah overlapping di antara penegak hukum.
Kedua, memberikan jaminan keamanan
kepada swasta. Praktik kongkalikong hingga pemerasan merupakan momok
tersendiri bagi swasta karena menambah biaya investasi. Banyak kasus tidak
dilaporkan karena adanya kekhawatiran akan diartikan sebagai upaya penyuapan.
Adanya perbedaan persepsi ini membuat pihak swasta menjadi pihak yang paling
dirugikan. Perlu diberikan adanya jaminan hukum bagi para whistle blower
sehingga pihak pebisnis tidak akan takut melaporkan adanya praktik
kongkalikong yang bisa menjurus ke praktik pemerasan dari pemerintah daerah.
Ketiga, merevisi UU Otonomi
Daerah. Saat ini pemerintah tidak memiliki kekuasaan untuk mengontrol kepala
daerahnya. Gubernur hanya terbatas memberikan pembinaan. Revisi UU Otonomi
Daerah terbaru haruslah memberikan kekuasaan kepada gubernur untuk
memberhentikan kepala daerah, sehingga dapat meredam gejala 'raja kecil' di
daerah.
Keempat, menghentikan pemekaran
daerah. Tiadanya perangkat hukum dan fungsi pengawasan membuat otonomi daerah
menjadi tambang emas baru bagi koruptor. Tanpa adanya perangkat hukum jelas
yang dapat mengontrol perilaku kepala daerah, otonomi daerah justru akan
menjadi sumber korupsi baru. Tidak perlu ada pemekaran daerah baru sampai
revisi UU Otonomi Daerah diterbitkan. Langkah-langkah di atas tentu saja
tidak akan berjalan efektif jika masyarakat di daerah tidak kompak
berpartisipasi dalam pengawasan. Kesadaran untuk mengawasi ini datang tidak
hanya dari kampanye yang masif dan kontinyu, tapi juga melalui edukasi secara
perlahan tapi mantap tertanam dalam kesadaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar