Memperkuat
Social Entrepreneur
Setyo Pamuji ; Entrepreneur Muda pada
IAIN Sunan Ampel Surabaya |
SUARA
KARYA, 16 Januari 2013
Kegiatan kewirausahaan
(entrepreneurship) tidak dapat disangkal lagi menyumbangkan harapan baru bagi
kemajuan masyarakat. Di tengah sempitnya lapangan kerja, terlebih lagi
peluang menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS), entrepreneurship membawa
angin segar. Kewirausahaan memberikan alternatif untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat, terbentuknya insan mandiri yang berujung pada bangsa
mandiri bahkan menjadi emerging economy country. Negara memiliki kekuatan
ekonomi yang luar biasa guna menyejahterakan rakyatnya.
Tak mengherankan, jika
negara-negara besar menjadikan entrepreneurship sebagai salah satu pilar
perekonomian bangsanya. Amerika, negara besar dan berpengaruh di dunia ini
jumlah pelaku usahanya mencapai 12 persen dari jumlah penduduk keseluruhan,
Jepang 10 persen, dan China memiliki 10 persen pengusaha. Ini mempertegas
bahwa kegiatan kewirausahaan bukan lagi keinginan, namun kebutuhan.
Sosiolog
David McCleiland membuat pernyataan tegas perihal kunci kemajuan suatu
negara. Menurutnya, untuk membangun ekonomi bangsa, menjadi bangsa yang maju,
maka setidaknya dibutuhkan 2 persen pengusaha dari populasi penduduknya.
Senada dengan David McCleiland, Ciputra juga menjelaskan bahwa untuk bangkit
dari keterpurukan, bangsa ini minimal harus mempunyai 2 persen pengusaha. Konkretnya,
Indonesia harus memiliki sekitar 4,8 juta wirausaha.
Ada
banyak jenis kegiatan entrepreneurship. Semua sangat baik untuk
dimplementasikan. Namun, ada jenis usaha yang berpeluang dan cocok digarap
serius di Indonesia. Suatu usaha yang sangat sesuai dengan jati diri bangsa.
Jati diri bangsa yang ramah tamah dan memiliki semangat sosial tinggi.
Sekaligus, usaha ini juga memiliki kekebalan terhadap krisis global, yakni
social entrepreneur.
Social
entrepreneurship sendiri berkembang sejak era 1980-an yang diawali para tokoh
seperti Rosabeth Moss Kanter, Bill Drayton, Charles Leadbeater, dan Profesor
Daniel Bell dari Universitas Harvard yang sukses dalam kegiatan social
entrepreneurship karena sejak 1980 berhasil membentuk 60 organisasi yang
tersebar di seluruh dunia. Pengertian sederhana dari social entrepreneur
adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan
entrepreneurship untuk me-lakukan perubahan sosial (social change), terutama
meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan, dan kesehatan
(healthcare), (Seputar Indonesia, 13/12/2010). Mereka mempunyai jiwa sosial
tinggi. Mereka bekerja untuk mengangkat saudara-saudaranya untuk menjadi
insan produktif.
Berbeda
dengan business entrepreneur yang keberhasilannya diukur dari keuangan atau
pendapatannya, social entrepreneur memiliki parameter keberhasilan lain,
yakni sejauh mana ia dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Urgensi
social entrepreneur dapat dilihat dari kemapuannya mengangkat kelas sosial
ekonomi masyarakat, atau menurunkan tingkat kemiskinan. Dianya merupakan
wadah mengekspresikan kepedulian terhadap sesama. Usaha jenis ini berusaha
untuk mengangkat saudara-saudaranya secara bertahap. Warga yang sangat miskin
diangkat menjadi miskin, sedangkan yang miskin menjadi kelompok menengah dan
begitu seterusnya.
Jika
saat ini dengan ker-ja keras dari pemerintah dapat merangkak menaikkan atau
mengangkat kelas bawah atau sangat bawah, maka dengan munculnya social
entrepreneur ini dapat menjadi partner pemerintah dalam mempercepat
pembangunan bangsa. Apalagi, negara ini bukanlah milik segelintir orang
(baca: Pemerintah), namun milik bersama. Sehingga, sewajarnya semua elemen
masyarakat yang merasa mampu harus turut tangan membantu saudaranya. Ini
dapat menjadi katalisator kemajuan bangsa supaya lebih cepat.
Ketika
masyarakat Indonesia sudah sedikit, bahkan nihil dari kelompok sangat miskin,
maka mimpi menjadi emerging economy country bukanlah sebuah bualan, namun
kenyataan. Pasalnya, pertumbuhan yang paling lambat dan sulit adalah kelas
sangat miskin tersebut. Ini jauh berbeda dengan kelas menengah yang
kebanyakan telah memiliki modal dan inisiatif un-tuk membuka usaha sendiri.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat meroket.
Ada fakta yang cukup
memprihatinkan, sehingga perlu untuk dikaji bersama, yakni perihal pola pikir
atau cara pandang seseorang, khususnya para pemuda dalam menilai sebuah
pekerjaan. Bahwa PNS adalah satu-satunya pekerjaan yang menjanjikan. Ini tak
lain juga sebagai implikasi pengajaran yang diberikan orang tua, maupun guru sewaktu
kecil. Hasil penelitian menunjukan bahwa 83,18 persen lulusan perguruan
tinggi di Indonesia masih berorientasi untuk menjadi PNS dan hanya 6,1 persen
yang berminat wirausahawan.
Pola pikir semacam ini
sebisa mungkin harus dirubah, apalagi bagi para pemuda, khususnya mahasiswa.
Mereka harus termotivasi untuk menciptakan lapangan kerja, bahkan bekerja
untuk sosial seperti social entrepreneur ini. Atau, setidaknya, mereka dapat
menjadi social investor kelak, yakni donatur bagi pengusaha-pengusaha sosial ke
depannya.
Singkat kata,
penguatan social entrepreneur dapat
menjadi pilihan strategis untuk memperkokoh ekonomi bangsa. Akselerasi
pembangunan dapat terus ditingkatkan. Ini tidak lain karena kerjasama dari
semua elemen masyarakat untuk saling membahu. Tentu semua itu berawal dari
pola pikir yang positif dan optimis.
Selain itu, hal
penting yang tersirat dengan adanya kegiatan entrepreneurship, termasuk social
entrepreneur adalah adanya usaha dikotomisasi antara politik dan ekonomi.
Sektor ekonomi akan semakin bebas dari hegemoni kepentingan politik.
Bahkan, pada akhirnya
nanti, bangsa ini berharap dengan semakin menguatnya sektor ekonomi, bukan
ekonomi yang mengikuti politik, tapi justru sebaliknya politik yang mengikuti
ekonomi. Dengan begitu, mimpi menjadi emerging
economy country benar-benar terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar