Pecandu Agama
Moh Faiz Maulana ; Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam
Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta, Pengelola Komunitas Waria (Wacana Riang dan Gembira), Jakarta |
SUARA
KARYA, 18 Januari 2013
Agama adalah fenomena
sosial yang selalu menarik bagi penyelidikan keilmuan, dan agama bukan hanya
kebutuhan psikologis manusia. Agama juga bukan hanya gejala keilahian yang
dapat dipertanggungjawabkan secara teologis belaka. Agama juga suatu lembaga
sosial, yang mempunyai fungsi sosial dan kiranya juga mempunyai asal usul
sosial pula. Agama bukan hanya gejala adikodrati tapi juga gejala kodrati.
Agama sebagaimana istilahnya
Shidunata, adalah institutio divina, yang menyimpan keilahian, kesucian,
misteri, bahkan irasionalita, yang tidak dapat begitu saja diterangkan secara
ilmiah dan rasional. Namun, sebagai institutio humana, agama dapat juga
dikupas dan diterangkan secara ilmiah dan rasional.
Dua aspek ini bisa memancing para
ahli untuk berdiri pada dua ekstrem. Pertama, seseorang akan memperlakukan
agama sama seperti memperlakukan fenomena sosial yang ada. Seseorang tidak
lagi mampu menerima hal yang tabu. Menjadi terlalu rasional, sampai-sampai
"seakan tak percaya" terhadap segala macam keilahian Tuhan.
Kedua, seseorang telah pasrah atau
bahkan telah menyerah pada pendirian bahwa agama adalah misteri keilahian
belaka, semua tergantung pada Tuhan (ortodoks). Jelas dengan demikian, tidak
jarang banyak orang selalu membawa-bawa nama agama pada setiap aktivitasnya,
baik hal-hal yang bersifat positif, lebih-lebih lagi yang bersifat negatif.
Misal kekerasan
yang mengatas namakan agama. Tidak melaksanakan ajaran Tuhan dalam agama itu
adalah kekafiran, kedzaliman, dan kefasikan. Kita tahu bahwa prinsip para
penganut agama adalah dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran
Tuhan.
Kiranya tidak
sulit untuk menunjukkan bahwa setiap kekerasan adalah implementasi dari
adanya legitimasi Tuhan tersebut.
Karena
pemahaman agama telah memunculkan dua ekstrem yang pasti, dan salah satunya
adalah pendirian bahwa agama adalah urusan Tuhan, baik menurut Tuhan harus
dijaga, dan jelek menurut Tuhan harus disingkirkan, maka muncullah kekerasan
yang mengatasnamakan Tuhan (agama). Padahal, agama berfungsi untuk
menundukkan kekerasan, dan menjaga supaya kekerasan itu tidak liar. Bukan
malah melegitimasi kekerasan guna menjaga keutuhan agama.
Sebenarnya ada
pertanyaan mendasar dari banyaknya kekerasan yang mengatasnamakan agama
akhir-akhir ini. Sebab, dua kata itu merupakan kata yang kontradiktif, saling
berlawanan. Umumnya kekerasan menampilkan stigma yang negatif, kotor, sedang
agama adalah hal yang suci, sakral.
Bagaimana bisa
sebuah kejelekan bisa masuk ke dalam agama yang notabenya mengajak untuk
menjauhi kejelekan. Toh, menolak kemafsadatan lebih diutamakan dari pada
melakukan kemaslahatan. Kekerasan mulai merejalela, dan agama beserta praktik
ritualnya mandul menghadapinya. Atau, bisa dikatakan sebaliknya, karena agama
dan praktik ritualnya mandul, maka kekerasan mulai merajalela.
Padahal kita
semua tahu, jika sendi-sendi agama mulai goncang, bukan hanya keamanan fisik
masyarakat yang terancam, melainkan juga seluruh dasar kultural masyarakat
berada pada saat yang membahayakan. Institusi-institusi kehilangan
vitalitasnya, bentuk-bentuk luar perlindungan masyarakat menjadi kabur,
nilai-nilai sosial digerogoti, dan seluruh struktur sosial berada diujung
tanduk kehancuran.
Sama halnya
dengan kekerasan yang memakai nama agama. Pencuri pun tidak kalah dalam hal
menjunjung tinggi nama agama di atas kesalahannya. Kenyataan ini telah
ditampakkan oleh para koruptor di negeri ini.
Mendadak
menjadi agamis, memakai peci, memakai baju kokoh, dan memakai hijab yang
dilakukan tatkala dia telah benar-benar bersalah dengan apa yang
dilakukannya. Mereka seolah-olah memberikan keyakinan bawa dirinya tidak
bersalah, dia orang yang taat beragama, dan orang yang bertaqwa kepada Tuhan.
Ketaqwaan
seseorang bukanya rahasia Tuhan yang tidak dapat diukur dengan angka dan
tidak dapat di uji sesama manusia?
Dalam hal itu
kita melihat banyak orang dari berbagai kalangan yang menunjukkan kesenjangan
antara yang dilakukan dan diucapkan.
Bahkan banyak
orang merasa, atau mengaku telah bertaqwa kepada Tuhan, namun bertingkah laku
seolah-olah tidak ada Tuhan. Tetapi, itulah yang merupakan suatu bentuk
kekafiran yang nyata.
Dari sudut pandang itu pulalah
muncul satu paradigma bahwa kita sedang mengalami kemerosotan moral yang
sangat drastis. Tampak bahwa pengetahuan tentang keagamaan kita masih
berkutat pada simbol-simbol semata, tanpa melihat subtansinya.
Kiranya semua kegiatan kita
esensinya memang harus selalu berlangsung dibawah sinar ketuhanan yang maha
esa, dan tidak tergantung pada simbol-simbolnya saja. Dengan begitu kita
memiliki dasar ketaqwaan yang jelas, untuk menjadi pribadi yang tak
"ketergantungan" terhadap agama, yang tidak senantiasa menempatkan
agama disisi terakhir pada setiap kegiatan kita.
Semoga kita semua tidak menjadi
"pecandu" agama, berlindung dibalik nama agama, justru memanfaatkan
agama untuk hal-hal yang dilarang oleh agama. Semoga, kita semua bisa menjadi
seorang agamawan yang baik, menjunjung tinggi nilai-nilai agama dengan sebaik
mungkin untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar