Target penerimaan pajak tahun 2012 yang meleset dari ekspektasi
APBN-Perubahan ternyata membuat pemerintah galau. Menteri Keuangan beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa sampai
akhir Desember 2012, penerimaan pajak mencapai Rp 980,1 triliun atau 3,6
persen lebih rendah dari target sebesar Rp 1.016,2 triliun. Kegagalan
tersebut antara lain disebabkan oleh tidak tercapainya target penerimaan PPh
nonmigas, pajak lainnya, dan bea keluar.
Permasalahan tersebut membawa dampak yang tidak menyenangkan
bagi pelaku Usaha Kecil dan Menegah (UKM). Lihat saja, dengan dalih
penerimaan pajak yang tidak mencapai target, maka denganarogansinya
pemerintah merencanakan membebankan permasalahan tersebut kepada pelaku UKM.
Rencananya, pemberlakuan pajak mencapai satupersen dari total
omzet pada akhir tahun. Besaran tersebut diberlakukan pada pajak pertambahan
nilai (PPN) maupun pajak penghasilan (PPh).
Meskipun rencana pajak tersebut diberlakukan untuk UKM dengan
omzet Rp0 hingga Rp4,8 miliar dan UKM dengan omzet dibawah Rp300 juta dengan
tarif setengah persen, tetap saja kebijakan yang masih dalam tahap pengodokan
tersebut hanya menambah masalah baru dari masalah yang telah ada dalam
realitas bisnis dan kegiatan UKM.
Masalah perizinan, permodalan, pungutan liar, banjirnya produk
impor yang murusak tata niaga pemasaran dalam negri, dan lain sebagainya juga
masih belum mampu diselesaikan dengan baik oleh pemerintah untuk membantu
peningkatan kualitas dan kuantitas usaha mikro kecil dan menengah yang
merupakan usaha padat karya yang telah menopang pertumbuhan nasional selama
ini.
Pemerintah berdalih, pemberlakukan pajak bagi UKM selain untuk
peningkatkan pendapatan negara juga untuk memenuhi azaz keadilan yaitu perlu
ada kesetaraan pajak bagi seluruh wajib pajak. Meskipun sebenarnya pemerintah
sendiri selama ini juga masih belum mampu memaksimalkan potensi pendapatan
pajak dari sektor-sektor yang jelas ada.
Masalah korupsi dan pengelapan pajak yang seharusnya dapat
meningkatkan nilai tambah pendapatan negara, juga terkesan tidak serius di tangani
oleh pemerintah. Seolah-olah pemerintah lemah menghadapi korporasi besar
pengempalang pajak di negeri ini.
Banyak pihak khususnya dari kalangan pengusaha kecil
menyayangkan sikap pemerintah dalam rencana pungutan pajak tersebut. Karena
jika rencana tersebut dilakukan secara sepihak dapat mengangu semangat
kewirausahan yang telah tumbuh.
Dan ketika rencana tersebut dilakukan tanpa dibarengi dengan
kegiatan penguatan dan pemberdayaan UKM dari sisi yang lain secara
komprehensif, maka hal ini justru akan menjadi masalah baru yang menghantui
semangat kewirausahaan dan menjadi teror baru bagi pengusaha kecil.
Sosiolog David McClelland berpendapat, Suatu negara bisa menjadi makmur
bila ada entrepreneur (pengusaha) sedikitnya 2 persen dari jumlah penduduknya. Jangan
sampai rencana pungutan pajak UKM justru berlawanan dengan semangat untuk
melahirkan entrepreneur baru yang lebih progresif, kreatif, inovatif, dan
idealis untuk menompang kemakmuran suatu bangsa.
Dan kita semua tahu jumlah pengusaha indonesia sampai saat ini
masih belum mampu mencapai angka minimal yang distandarkan tersebut untuk
menuju kemakmuran yang sesungguhnya. Oleh karena itu harusnya pemerintah
berterimakasih terhadap para pelaku usaha kecil menengah bahkan mikro, yang
baru tumbuh maupun yang sudah eksisting. Karena dari merekalah perekonomian
negeri ini masih mampu tumbuh dengan baik.
Reaktif
Saat ini ketika penerimaan negara dari sektor pajak turun,
pemerintah terkesan reaktif dan mengelurkan kebijakan yang spontanitas. Oleh
karena itu jika pemerintah ingin menjalankan kebijakan tersebut dengan lebih
baik tanpa menciderai dan menghantui semangat kewirausahan yang ada dan
tumbuh dibenak para pelaku UKM, maka pemerintah harus melakukan beberapa
langkah strategis. Jika tidak maka pajak tersebut hanya akan menjadi teror
baru bagi dunia usaha kecil.
Pertama, tentu perlu ada kajian yang lebih mendalam tentang
dampak regulasi tersebut bagi UKM existing dan para pelaku usaha baru. Jangan
sampai kebijakan tersebut membuat semangat wirausaha dari para pelaku UMK
kendor dan bahkan gulungtikar. Selain kajian juga pendataan terhadap para
pelaku UKM yang bankabel.
Data ini penting untuk memetakan sebaran UKM dan menargetkan
penerimaan yang diharapkan.Kedua, perlu ada sosialisasi yang konperhensif
mengenai regulasi pajak UKM tersebut. setidaknya dalam kurun waktu tahun 2013
ini digunakan sebagai tahun sosialisasi. Dan tahun depan sebagai tahun
implementasi.
Hal ini penting untuk memberikan waktu dan kesempatan kepada
para pelaku UKM untuk beradaptasi dan membenahi manajemen serta struktur
usahanya agar mempersiapan regulasi tersebut. Ketiga, perlu ada pembinaan
yang lebih intensif kepada para pelaku UKM. Jumlah UKM indonesia yang lebih
dari 95 persen tidak semuanya bankable, oleh karena
itu jika pemerintah ingin ada pemasukan dari pajak UKM, maka pemerintah juga
harus fair. Jangan hanya menuntuk hak, tetapi juga harus menunaikan
kewajibanya untuk melakukan pembinaan bagi UKM yang kurang produktif.
Terakhir, kebijakan pemberlakukan pajak UKM juga harus di
imbangi dengan regulasi yang meringankan dan lebih memberdayakan, seperti
mempermudah perizinan, meringankan syarat kredit perbankan, memfasilitasi
pemasaran agar lebih kompetitif dan reward and punisment bagi UKM, misalnya
pemberian platform kredit yang lebih besar bagi UKM yang padat karya dengan
bunga yang lebih ringan.
Seandainya rencana kebijakan pemberlakukan
pajak tersebut dilakukan secara baik dan diimbagi dengan regulasi lain yang
menguatkan sektor UKM, maka kebijakan pajak UKM tidak akan pernah menghantui
pelaku UKM baik eksisting, newcomer¸ maupun para perintis.
Justru sebaliknya,kebijakan tersebut akan di dukung penuh oleh
masyarakat dan berbagai stakeholders.Dan keberadaan UKM dan pertumbuhannya
yang sehat, kondusif, dan kompetitif di Indonensi dapat membantu mengurangi
beban negara dan memberikan akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar