Gus Dur
Politik Kultural
Tedi Kholiludin ; Direktur Lembaga Studi Sosial dan
Agama (eLSA) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 16 Januari 2013
DUKUNGAN Nuril Arifin (Gus Nuril) kepada
Hadi Prabowo sebagai calon gubernur Jateng dengan mengatasnamakan Gusdurian,
memunculkan polemik. Alissa Wahid, putri pertama KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) menjelaskan latar belakang di balik dukungan Gus Nuril.
Menurutnya, Gusdurian yang
dimaksud Gus Nuril adalah Gusdurian Nusantara, bukan Jaringan Gusdurian yang
ia deklarasikan. Jaringan Gusdurian yang ia bentuk lebih menekankan pada
upaya penyebaran ide-ide Gus Dur melalui jalur kultural. (SM, 13/01/13) Meski
demikian Alissa tidak bisa menampik bahwa Gus Dur Politik menghadirkan
sebuah preseden. Yeni Zanuba Wahid, salah satu putri Gus Dur juga
terlibat dalam aktivitas politik. Dua
jalur itu, tidak perlu saling menegasikan satu dengan lainnya. Para Gusdurian
yang ada di dua ruang itu harus menghargai pilihan yang berbeda.
Politik
Kekuasaan
Selepas reformasi, Gus Dur
yang menjadi lokomotif penguatan masyarakat sipil pada era sebelumnya memang
terjun di dunia praktis. Reformasi politik pada 1998, sesungguhnya masih
belum sepenuhnya dianggap Gus Dur sebagai ruang yang demokratis. Kepada Greg
Barton, penulis biografinya, Gus Dur mengomentari ikhwal era reformasi itu, ”Saya tercabik antara harapan dan
keputusasaan.” (Barton: 2010, 323). Menurut Gus Dur, perbandingannya
masih 50-50 antara keberhasilan dan kegagalan memanfaatkan momentum itu.
Hingga kemudian lahir
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan Gus Dur menjadi Ketua Dewan Syuro dan
Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Tanfidziyah. Karier Gus Dur dalam politik
makin moncer setelah ia terpilih menjadi presiden keempat negeri ini pada 20
Oktober 1999. Padahal, sebagai ketua partai pemenang pemilu (33%) Megawati
diperkirakan memenangi kontestasi tersebut.
Adalah KH Mustofa Bisri
yang menangkap sinyal bahwa Gus Dur sebagai presiden merupakan ”pelajaran”
atau ”pengajaran” paling keras dari Tuhan kepada bangsa yang tak kunjung bisa
berbeda dan bersikap adil. Mengapa dia merupakan berkat dari Tuhan? Bukannya
fakta politik menunjukkan Gus Dur dipilih secara demokratis oleh anggota MPR?
Gus Mus berkeyakinan bahwa
Gus Dur menjadi presiden karena berkat rahmat Tuhan, bukan melulu karena
kecemerlangan poros tengah memainkan kartu politik. Pasalnya, sesungguhnya
gerbong politik yang mengantarkan Gus Dur menjadi presiden pun belum tentu
sepenuh hati mendukungnya. Naiknya
Gus Dur di panggung kuasa inilah yang membukakan pintu bagi
”santri-santrinya” untuk turut berkecimpung dalam dunia politik.
Preseden ini yang dirasa
sangat legitimated bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) karena Gus Dur sendiri yang
membuka jalan untuk bertarung di lanskap politik (kekuasaan).
Tetap
Kritis
Jika dibandingkan dengan
Gus Dur Politik jelas usia Gus Dur Kultural jauh lebih lama. Tapi pada saat
Gus Dur berada pada jalur kultural, ia tetap memainkan peran-peran politik, lebih
tepatnya politik kebangsaan dan kerakyatan. Saat Gus Dur memutuskan untuk
menarik NU dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ia pun tidak memilih
jalur konfrontasi dengan negara, meski tetap menjalankan fungsi-fungsi
kritisnya.
Gus Dur tetap memperkuat
masyarakat sipil, terutama pondok pesantren, melalui pelbagai pelatihan dan
penguatan ekonomi. Kekuatan itulah yang ditunjukkan oleh NU saat pemerintah
gagal mendelegitimasi Gus Dur melalui Muktamar 1994 di Cipasung Tasikmalaya
Jabar.
Meski Gus Dur tetap kritis terhadap negara,
ia tidak pernah menjauhi atau memusuhinya. Muktamar Situbondo pada 1984,
memutuskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Bahkan pada
1987, Gus Dur dilantik sebagai anggota MPR mewakili Golkar. Mungkin terkesan
sangat simbolik tetapi simbolisme itu penting (Barton, 183)
Barangkali itulah yang
menjadikan seolah-olah NU tidak pernah tegas dalam hubungannya dengan negara.
Nahdliyin seperti memainkan dua sisi, menjaga jarak tapi tidak meninggalkan
negara, sehingga selalu ada warna nahdliyin dalam pemerintahan meski tidak
dominan.
Sekarang ini, santri-santri ideologis Gus
Dur berdiaspora. Bahkan keluarga Gus Dur mencoba menerjemahkan ide
ayahandanya tidak hanya melalui satu pintu. Yang paling penting sesungguhnya
adalah kedewasaan masing-masing kelompok dalam memaknai artikulasi pemikiran
Gus Dur.
Dari cara berpikir,
bertindak, dan berperilaku, Gus Dur sebenarnya telah memberi banyak teladan
kepada kita. Dia menjaga kebhinnekaan, melindungi kelompok minoritas, menebar
Islam sebagai agama yang ramah, kesetiaan terhadap negara itu mungkin itu di
antara sedikit prinsip fundamental yang dita-namkan oleh Gus Dur.
Bagi saya secara pribadi, yang menjadi
persoalan adalah ketika salah satu pihak merasa menjadi paling Gusdurian, dan
menganggap yang lain tidak Gusdurian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar