Angie, Creto,
dan Socrates
Mariyadi Faqih ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum di
Universitas Brawijaya, Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Januari 2013
DALAM tataran formal, kita sebetulnya tidak
meragukan political will
penyelenggara negara dalam memberantas korupsi. Pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)
merupakan dua contoh betapa hebat komitmen politik negara ini dalam membabat
habis korupsi. Kita juga memiliki sejumlah regulasi yang menjadi landasan
bagi penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi kepada para koruptor.
Kita memiliki regulasi terkait dengan
pemberantasan korupsi, mulai UU, peraturan pemerintah, keputusan presiden,
hingga surat edaran Mahkamah Agung dan Jaksa Agung. Akan tetapi,
penyelenggara negara dan penegak hukum sepertinya tidak memiliki moral dan
nurani yang memadai untuk serius memberantas korupsi. Tanpa moral dan nurani,
komitmen politik pemberantasan korupsi hanya gaduh dengan urusan formal, tapi
miskin substansi dan keseriusan (Media Indonesia, 14/1).
Memang kalau aparat penegak hukum serius
memberantas korupsi, tentulah putusan yang dijatuhkan hakim terhadap Angelina
`Angie' Sondakh tidaklah 4 tahun 6 bulan penjara. Idealnya putusan yang
dijatuhkan hakim ialah hukuman penjara yang tidak jauh berbeda dengan
tuntutan jaksa (12 tahun penjara) dan hukuman penyitaan kekayaan negara yang
mencapai Rp 32 miliar.
Sayangnya, hakim dinilai publik masih
memenangkan diskriminasi dalam penanganan perkara hukum. Pola tebang pilih
masih dijadikan opsi yang dimenangkan daripada pola egaliter. Hakim masih
menilai siapa yang diperiksa dan bukan berlandaskan pada prinsip kebenaran,
kejujuran, dan kesamaan derajat di depan hukum. Gerakan politik yuridis
penanggulangan korupsi, yang salah satunya terfokus pada pengembalian
kekayaan negara, tidak dijadikan solusi extraordinary.
Pola tebang pilih yang sangat kentara terbaca
pada kasus Angie itu membuat wajah hukum dan peradilan di Indonesia semakin
karut-marut. Komunitas hakim tampaknya perlu belajar banyak dalam ranah moral
(etika). Dalam soal tebang pilih tersebut, para hakim Indonesia wajib belajar
dari filsuf kenamaan Socrates.
Socrates pernah ditahan aparat kepolisian
karena didakwa melakukan suatu tindak kejahatan. Dalam kasus Socrates itu,
aparat teguh pendirian, independen, dan tidak mau menerima alasan atau
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Socrates tidak bersalah. Akibat
terpojoknya Socrates, Creto, sang pengusaha yang pernah menjadi murid
Socrates, merasa kasihan. Kala melihat gurunya ditahan seperti
kriminalis-kriminalis pada umumnya, Creto menganggap itu perlakuan tidak
adil.
Dengan maksud membebaskan sang guru, Creto
hendak menyuap petugas penjara yang menahan gurunya. Namun di luar dugaan,
Socrates menolaknya sambil berujar, “Keadilan memang harus ditegakkan, tetapi
keadilan harus berlaku pula untuk semua (justice
for all) atau yang lainnya. Mereka yang ditahan ini bukan tidak mungkin
juga seperti aku, yang belum tentu bersalah, di samping cara (menyuap) demikian
akan membuka peluang bagi masyarakat di kemudian hari untuk menempuh cara
yang sama, yakni menegakkan keadilan dengan cara-cara kejahatan.“
Idealisme Socrates itu sejalan dengan apa yang
dituangkan dalam konstitusi kita (UUD 1945) yang menganut prinsip equality before the law atau persamaan
kedudukan dan pertanggungjawaban di depan hukum, yang maknanya setiap orang
dituntut, diperlakukan, dan dikontrol dengan mekanisme kesederajatan dan
pertanggungjawaban, tanpa membedakan atau mendiskriminasikan di antara
lainnya. Siapa saja yang menyelingkuhi prinsip tersebut, ia ibarat
menghancurleburkan identitas keindonesiaan yang berbasis hukum.
Sikap Egaliter
Kita juga diingatkan Artikel 6 UDHR (Universal Declaration of Human Rights)
bahwa di mana pun, semua orang berhak mendapat pengakuan sebagai seseorang di
depan hukum (recognition everywhere as
a person before the law) atau siapa pun yang diduga bersalah wajib
diperlakukan secara egaliter, bukan dengan paradigma dan gaya diskriminasi.
Dalam Artikel 10 UDHR juga ditegaskan juga
ditegaskan bahwa semua orang berhak, dalam kedudukan yang sama, untuk
menuntut agar urusannya bisa diperiksa se cara adil dan terbuka oleh
pengadilan yang bebas dan imparsial (tidak memihak) untuk menentukan hak dan
kewajibannya atau memeriksa semua dakwaan pelanggaran kriminal (any criminal charge) yang ditujukan
kepadanya.
Sayangnya, berbagai sistem hukum yang berlaku
di negeri ini sering kali tidak dihormati aparat penegak hukum sendiri.
Sistem itu kerap, kalau tak dibilang akrab, berada dalam pasungan
praktik-praktik pembusukan hukum (legal
decay). Artinya ada produk yuridis yang secara idealis mengatur suatu
kontrol perilaku aparat, tetapi ketika kontrol hukum itu dicoba diberlakukan
atau diberdayakan menjadi kekuatan hukum dalam aksi (law in action), dengan gampangnya dimentahkan, dirapuhkan, atau
dibuat `memihak kepentingan' oleh dan untuk tangan-tangan yang berkuasa atau
kelompok tertentu yang sangat superior.
Masih kuatnya `main belakang' di `rezim
peradilan' dengan jargon `ada uang, ada barang, ada uang, hukum
ditanggalkan', seperti jual beli putusan atau penempatan institusi peradilan
layaknya `swalayan'. Kondisi itu, suka ti dak suka, menjadi berbagai indikasi
yang menunjukkan kontrol secara yuridis terhadap perbuatan melanggar hukum
yang aktornya berasal dari kalangan elite struktural, korporasi, atau orang
kuat di masyarakat, yang notabene kapitalis elite dan selebritas kekuasaan
atau pemain-pemain dengan link kuat tidaklah gampang dan cenderung jadi
mission impossible. Pun peradilan `tanpa pandang bulu' masih belum
menyejarah.
Setidaknya di 2012, misalnya, beberapa orang
dari jajaran elite yang diduga kuat sebagai pelaku korupsi ternyata dapat
mengucapkan `sayonara' terhadap jeratan hukuman penjara setelah divonis bebas
oleh pengadilan. Para sindikat bahkan diduga mampu menjadikan hakim sebatas
sebagai mesin yang berani menyulap vonis atau membuat jagat peradilan
kehilangan kinerja objektif dan jujur.
Dalih yang dikonklusikan hakim-hakim
pengadilan yang menjatuhkan vonis bebas atau hukuman ringan sangat enteng. Dalih
itu di antaranya perkara yang diperiksa atau diajukan ke pengadilan bukan
perkara korupsi, dakwaan jaksa penuntut umum kabur (obscuur libel), pasal-pasal yang dipasang jaksa penuntut umum
mengan dung alternatif, atau alat-alat bukti yang diajukan tidak bisa
berkategori meyakinkan dan objektif. Padahal, apa yang disampaikan itu
berkaitan dengan sosok elitis istimewa yang jadi terdakwa.
Makin Suram
Kondisi itulah yang membuat masa depan dunia
peradilan di negara ini layak digolongkan masih berada di simpang jalan. Jagat
hukum, meski diperkuat lembaga sehebat KPK dan MK, tetap sulit menemukan
keberdayaan dan titik benderang. Itu disebabkan masih berlombanya kekuatan
kolaborasi elitis hukum dan politik lainnya dalam mencabik-cabik dan
mematikan prinsip `tanpa pandang bulu'. KPK, misalnya, masih sulit dipercaya
mampu menyelesaikan kasus Hambalang, Century, simulator, mafia pajak, dan
kasus-kasus besar lainnya dengan objektif dan egaliter serta tepat waktu
akibat kurangnya `energi' yang menopang kinerja mereka.
Secara moral, itu suatu tuntutan supaya
politik tebang pilih tidak diberlakukan dalam manajemen penanganan perkara.
Prinsip egaliter merupakan jalan membumikan keadilan yang memanusiakan dan
progresif. Keadilan wajib menjadi milik semua etnik, golongan, dan kelas
sosial apa pun.
Keadilan tersebut bisa terwujud dengan jalan
tiadanya perbedaan dalam memperlakukan orang yang sedang beperkara. Kasus
Angie dan lainnya tidak ditempatkan dalam ranah disparitas dan diskriminasi,
tetapi dalam ranah kesamaan akuntabilitas yuridis sesuai dengan posisi
objektivitas dan kebenaran kasusnya.
Berbuat yang terbaik untuk negara hukum
merupakan bagian dari pembuktian sosok manusia Indonesia pembaru, khususnya
seluruh aparat penegak hukum dari institusi mana pun yang di dalam dirinya
punya semangat atau tekad untuk menunjukkan perlindungan kepada diri,
keluarga, masyarakat, dan bangsa, baik yang berkaitan dengan kewajiban maupun
hak.
Ketika berkenaan dengan kewajiban, berarti
setiap aparat penegak hukum harus merasa dituntut untuk menegakkan
norma-norma, baik norma susila, budaya, hukum, maupun agama. Di dalam norma
tersebut aparat penegak hukum terikat untuk taat, konsisten, dan teguh dalam
prinsip-prinsip yang mengarahkan ke nilai-nilai yang mengantarkan kepada
bangunan keagungan dan keadaban hidup. Salah satu fondasi bangunan itu
terletak pada pembumian prinsip egalitarianisme yang menjadi roh konstruksi
negara hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar